9 | Makan Siang

417 68 10
                                    

Satu playlist berjudul Mozart : Classical Music for Studying dari Halidon Music di sebuah platform musik belum habis memutarkan puluhan lagu. Sehun baru mendengarkan tiga jam dari total empat jam untuk menyelesaikan kumpuluan itu. Sejak tiga jam lalu itu pula, ia masih duduk di meja belajar khusus yang ada di ruangannya. Jendela kamar dibuka sedikit mengantarkan embusan aroma musim gugur.

Dua kamus tebal terbuka lebar di sisi buku catatan berisi tulisan tangan rapi. Beberapa pena warna-warni tersebar di atas meja itu. Terdapat pula sebotol air mineral, mainan bola salju, dan ponsel dari Dokter Kim yang hanya dipakai untuk merekam suara. Sehun tahu ia kesulitan berbicara. Maka dari itu, ia berusaha mengasah kemampuannya lagi agar tidak cacat seumur hidup.

Sehun menulis kata-kata dalam bahasa Inggris yang ada di kamus, lalu menutup kamus itu dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Korea. Pada hari-hari sebelumnya juga seperti itu. Ia akan sibuk menerjemahkan banyak hal agar kemampuan otaknya dalam memproses bahasa tetap lancar. Selain itu, ia tetap memaksa lidahnya bekerja dengan mengaktifkan alat perekam. Ponsel canggih itu akan menjadi saksi perjuangannya berusaha keluar dari belenggu afasia.

"Masih belajar?" David tiba-tiba muncul dari pintu membawa kotak donat ke dekat meja.

"Hmm," deham Sehun tanpa menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku.

"Tidak mau makan donat dulu?"

Si lelaki muda membuka mulutnya dengan lebar. Beberapa detik kemudian, ia merasakan tekstur donat lembut menyentuh bibirnya. Wajahnya perlahan melengkungkan garis tipis di bibir selagi menggigit dan mengunyah makanan bertabur cokelat dan kacang itu.

"Enak?"

"Ung!" Sehun mengangguk. Setelah menelannya, ia berkata, "Terima. Kasih."

"Sama-sama." David mengusak surai hitam putranya lalu mengambil kursi lain dan duduk di sisi kanan. Ia menengok ke buku cacatan. "Mau Appa bantu?"

"Tidak," tolak Sehun. Kedua matanya masih fokus ke deretan kalimat berbahasa Inggris yang baru saja ia tulis. Ia mengambil pena berwarna hijau tua kemudian menuliskan Hangeul di bawah huruf alfabet.

"Sehunnie boleh bekerja keras, tapi jangan lupa istirahat." David mengambil bando hitam kecil dan memasangkannya ke kepala Sehun agar poni hitam itu tidak menghalangi pandangan. "Kapan Sehunnie ada waktu buat Appa kalau sibuk belajar terus?"

Sehun berhenti sebentar. Lidahnya bergelung di dalam mulut. Dulu, sesibuk apa pun David pada pekerjaannya, sang ayah selalu menetapkan waktu sendiri untuk bersamanya. Namun, ia tidak melakukan hal yang sama sekarang. Ia sibuk memaksa diri agar lekas sembuh.

Selama beberapa detik, keduanya hanya diam membiarkan Piano Sonata no.5 in G Major K.283 : II. Andante yang dimainkan Luke Faulkner mengisi ruang dengar. Embusan angin dari luar makin kuat. Hingga menit kelima, Sehun mematikan musik itu lalu beratensi pada sang ayah.

"Hmm?" sambut David.

Sehun bangkit dari kursi menuju meja lain. Mengambil buku dongeng. "Aku. Mau. Baca," katanya.

David tersenyum lebar atas respons si anak menanggapi permintaannya. "Sehunnie ingin mendengarkan dongeng siang-siang begini?"

"Tidak." Si anak menggeleng. Ia duduk di sofa dekat dinding kaca lalu membuka buku dongeng tebal itu. "Aku. Baca. Untuk. Appa."

"Sehunnie ingin mendongeng?" David ingat bahwa ia harus mengikuti jalan pikiran Sehun, maka dari itu ia mengangguk antusias dan menyusul duduk bersisian dengan si muda. "Cerita apa yang akan Appa dengar?" tanyanya, menantikan sebuah judul yang akan didongengkan Sehun untuknya.

I am so Lucky to Have You [OSH] Complete | Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang