Meskipun bukan terlahir dari pasangan selebritis, Park Sehun sudah terbiasa dikelilingi wartawan sejak kecil. Fakta bahwa ia cucu keluarga konglomerat membuatnya disorot banyak media. Terlebih ketika nama Park David naik sebagai direktur utama yang mengharuskannya dikenal banyak orang, putra mereka pun akhirnya ikut menjadi orang terkenal.
Sehun tidak masalah dengan para wartawan itu. Selama ini ia tidak pernah merasa dirugikan. Lagipula, ia memang tidak melakukan pelanggaran apa pun yang akan membuat namanya tercoreng buruk. Namun, sekarang ia harus mengeratkan genggamannya di jemari sang ayah ketika ada beberapa orang mengenalinya.
Keberadaan David dan Sehun mudah terendus media. Hanya dengan beberapa cuitan netizen di media sosial yang memberi tahu lokasi mereka saat itu, sekawanan wartawan akan berhamburan memotret dalam jarak dekat. Niat pergi hanya bersama beberapa pengawal agar tidak menarik perhatian ternyata menjadi keputusan yang salah. David harus menarik tubuh Sehun agar lebih merapat ke badannya.
"Kita pulang saja?" bisik David, paham bahwa mungkin Sehun belum siap menghadapi suasana ini lagi.
Lelaki muda itu menggeleng. Ia hanya menurunkan topi depannya dan tetap melangkah ke arah eskalator yang akan membawanya ke lantai atas. "Aku. Baik," ucapnya di dekat bahu sang ayah sebab takut orang-orang di sekitarnya akan mendengar caranya bicara.
"Seharusnya Appa kosongkan mal dulu tadi, ya," sesal David.
"Aku. Harus. Terbiasa." Sehun mengembuskan napas sepelan mungkin ketika kembali berdiri di lantai putih bercorak cokelat. Ia tidak mau terkurung di rumah sakit. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa dunia akan merindukan absennya, dan sebagian yang lain ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia bukan lelaki lemah.
David mengusap bahu kiri Sehun. "Appa di sisimu. Jangan khawatir," katanya seraya sedikit menoleh ke belakang untuk berbicara pada Jaeson. "Tambah pengawalnya. Jangan sampai ada wartawan di bioskop," pesannya.
"Sudah dalam perjalanan, Tuan. Bioskop akan berstatus hijau," lapor Jaeson.
David tersenyum bangga pada asistennya. "Terima kasih," ucapnya tulus.
"Dengan senang hati, Tuan." Jaeson sedikit menundukkan kepala lalu mengekori langkah bosnya lagi.
Di antara belasan wartawan yang mengarahkan kamera kepadanya, dan juga ratusan pengunjung mal yang ikut-ikutan memotret selayaknya sedang bertemu idol, Sehun melihat seorang wanita bersurai panjang di sebuah toko pakaian ternama. Senyumnya perlahan mengembang hingga ia berani mengangkat dagu. Ia terus melangkah ke arah toko itu sembari memastikan penglihatannya tidak salah mengenali orang.
"Sehun-ah, bioskopnya tidak lewat jalan—"
"Bibi!" Sehun melambaikan tangan sangat tinggi ketika wanita bermantel abu-abu itu keluar dari toko. Seketika kawanan wartawan itu mengalihkan pandangan mereka.
"Oh?" David dan Mercy sama-sama terkejut.
Sehun melepas genggaman sang ayah. Berlarian pelan lalu memeluk wanita beriris biru muda itu dengan erat. "Bibi. Masih. Di sini," ucapnya tenang.
Mercy sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya dari bidikan kamera wartawan. "Bibi baru akan ke rumah sakit," jawabnya lalu menarik mundur tubuh Sehun sejauh lengan. "Kau sudah membaik, Sayang," pujinya. Dibanding beberapa waktu lalu ketika ia menjenguk di rumah sakit, Sehun terlihat jauh lebih segar saat ini.
"Aku. Berlatih." Sehun sudah lupa pada kondisi afasianya. Ketika sedari tadi ia berusaha memelankan suara, ia tidak lagi peduli pada hal itu. Cara Mercy menepuk lembut kepalanya terasa seperti dukungan sang ibu yang selama ini selalu ia dapat.
"Kau mau belanja?" tanya Mercy.
Sehun menggeleng. "Menonton," balasnya. Bohlam kecil tiba-tiba menyala di atas kepalanya. "Bibi. Ikut."
KAMU SEDANG MEMBACA
I am so Lucky to Have You [OSH] Complete | Sudah Terbit
FanficPark Sehun mengidap afasia broca akibat kecelakaan besar yang dialami keluarganya. Ia menjadi pendiam dan jarang berinteraksi dengan siapa pun karena malu pada kondisinya. Terlebih ketika ia adalah putra seorang pengusaha ternama di Korea Selatan, P...