Khawatir

2.2K 172 5
                                    

7 PM

Jevon menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat tinggal Yuna.

Selama dalam perjalanan, tak banyak kata terlontar dari biasanya. Rencana mereka untuk melabrak Caesar pun bubar jalan karena Heidi memergoki mereka.

Yuna diam-diam menoleh menatap pria itu. Seharusnya ia merasa senang karena paling tidak, apa yang diharapkannya sudah terjadi; hubungan antara Jevon dan Heidi berakhir.

Tapi entah mengapa masih ada perasaan mengganjal dalam diri Yuna mengingat dirinya dan Heidi masih akan bertemu di kantor. Sementara Jevon sepertinya belum bisa sepenuhnya merelakan Heidi.

"Heidi--"

"Tolong jangan bahas itu sekarang," sambar Jevon cepat.

Keduanya terdiam selama beberapa saat hingga akhirnya Jevon angkat bicara, "Tolong kasih aku waktu untuk sendiri sementara waktu."

"Oke...call me when you feel better," ucap Yuna.

"Eum," balas Jevon singkat. Ia memejamkan matanya sesaat ketika Yuna mengecup singkat pipinya sebelum turun dari mobil.

Jevon menghela nafas panjang selepas kepergian Yuna dan membenamkan wajahnya pada setir mobil. Mungkin akan terasa lebih baik  mengakhiri ini semua dengan bicara empat mata pada Heidi.

Namun semua terjadi begitu cepat hingga ia tak punya kesempatan untuk menjelaskan meskipun Jevon sendiri tak yakin jika Heidi mau mendengarkannya.

***

Di lain tempat, Caesar turun dan mengunci otomatis mobilnya. Ia melangkah lesu menuju gedung apartemen. Entah mengapa, hari ini terasa begitu panjang baginya.

Sembari berjalan, Caesar tak bisa berhenti memikirkan kondisi Heidi setelah apa yang terjadi hari ini. Pastilah sulit baginya karena semua terjadi begitu tiba-tiba.

Perhatiannya sedikit teralihkan oleh sebuah taksi yang melintasinya lalu berhenti tepat di depan lobby gedung apartemen.

Caesar mengernyitkan dahinya dan melangkah pelan mendekat ketika melihat supir taksi harus turun dari mobil lalu membuka pintu belakang mobil. 

"Ada yang bisa dibantu pak?" Ujar Caesar mendekati sang supir yang terlihat bingung.

"Ah ini! Mbak ini lagi mabuk kayaknya mas! Dari tadi saya bangunin nggak mau bangun! Saya juga bingung harus antar kemana."

Caesar merunduk sejenak dan menghela nafas pelan ketika melihat siapa sang penumpang; Heidi.

"Udah dibayar kah?"

"Belum mas."

Caesar menghela nafas pelan dan mengeluarkan dompetnya lalu memberikan selembar uang seratus ribuan pada sang supir, "Biar saya yang bawa."

"Makasih ya mas!"

Caesar sedikit membungkuk dan menarik perlahan Heidi dari dalam taksi. Gadis itu terhuyung namun pria itu menahannya dan membiarkan supir taksi untuk pergi lebih dulu setelah memastikan jika tidak ada barang yang tertinggal.

Caesar merubah posisinya berada di depan Heidi dan menarik tangan gadis itu agar melingkar di pundaknya sebelum menggendong Heidi di punggungnya sementara kedua tangannya penuh membawa tas kerja milik Heidi, juga miliknya sendiri.

Ia lekas membawa gadis itu menuju unitnya yang ia ketahui berada di lantai 7.

Sesampainya di lantai 7, Caesar keluar dari lift dan sedikit mengangkat Heidi, memperbaiki posisinya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tak tahu di nomor berapa gadis itu tinggal.

"Hei."

"Hngh--" balas Heidi.

"Kamu unit berapa?"

"7...S--"

Setelah mempelajari urutan unit lantai 7, Caesar pun lekas bergerak menuju unit yang dimaksud Heidi.

Sesampainya di sana, Caesar menurunkan sejenak gadis itu lalu merogoh tas milik Heidi, mencari kunci unit apartemen gadis itu.

Setelah menemukannya, Caesar meletakkan barang-barang Heidi terlebih dahulu, lalu keluar lagi untuk memapah gadis itu ke dalam kamarnya dan membaringkannya di sana.

"Hah--" pria itu menghela nafas karena kelelahan. Ia memperhatikan sejenak seisi kamar Heidi yang baru pertama kali ia masuki.

Kamar Heidi tidaklah sebesar kamarnya; tipikal ruangan yang memang ditempati oleh satu orang. Namun layaknya kamar wanita pada umumnya, kamar gadis itu ditata rapi dan se-estetik mungkin sehingga terlihat nyaman.

Pandangan Caesar tertuju pada sebuah frame foto yang terpajang di samping tempat tidur gadis itu.

Caesar duduk di atas karpet di samping tempat tidur Heidi, di mana gadis itu tengah tertidur pulas di sana, dan meraih frame tersebut yang berupa hasil jepretan photo box Heidi dan Jevon.

Keduanya terlihat ceria dan penuh cinta di foto tersebut. They used to be a happy couple, tapi kini semua berakhir begitu saja tepat di depan matanya.

Hal ini membuatnya menyadari bahwa manusia bukanlah makhluk yang konstan. Mereka begitu cepat berubah karena satu dan lain hal.

Nyatanya hubungan empat tahun Heidi dan Jevon kandas begitu saja hanya karena kehadiran orang lain di antara mereka.

Caesar menghela nafas pelan dan meletakkan kembali frame foto itu di tempatnya seperti sedia kala.

Pandangannya kemudian tertuju pada Heidi yang tertidur pulas. Aroma alkohol tercium dari gadis itu, entah di mana ia minum-minum sehingga harus kembali dalam keadaan seperti ini.

"Padahal kamu bisa minum aja di tempatku and i'll make sure to bring you home safely," gumam Caesar menghela nafas pelan lalu bangkit dari posisinya.

Ia menarik selimut dan menutupi tubuh gadis itu lalu menatapnya lekat sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana.

***

Yuna tiba di kamarnya. Ia melemparkan tasnya begitu saja dan berbaring lalu melamun, menatap nanar langit-langit kamarnya.

"Semua udah berakhir...ini awal yang baru buatku dan Jevon," gumamnya sambil mengusap lembut perutnya sendiri.

"Maafin aku Heidi, tapi kayaknya kamu udah cukup ngerasain bahagia sama seseorang yang seharusnya jadi milikku sejak dulu," ucap Yuna datar.

[COMPLETED] WINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang