"Aku mencintai kamu. Jauh sebelum status adik-kakak kita terjalin."
Gracia langsung berfikir. Apakah dulu ia pernah berjumpa dengan Shani? Jika iya, kapan? Ahh, Gracia ingat. Dulu sebulan sebelum Papa Gracia mengenalkan Shani sebagai kakak tirinya, Gracia pernah berjumpa dengan sang kakak. Di sebuah cafe.
Itu pun, hanya sebuah kebetulan dimana Shani kehabisan tempat duduk dan meminta izin pada Gracia untuk gabung pada mejanya. Saat itu, Gracia seorang diri duduk di meja untuk dua orang. Setelah Gracia mempersilahkan Shani, tidak ada percakapan diantara mereka. Hanyut dalam keheningan tersendiri.
"Di ... cafe?" Gracia bertanya ragu. Tangannya menahan Shani yang sudah kembali mendekat. Agar Shani tak terlalu menempel padanya. Ada jarak yang tersisa.
Shani menggeleng. Jarak mereka agak dekat. Shani dengan tatapan teduhnya, memandangi Gracia yang juga fokus ke Shani.
"Dulu." Shani mendekatkan kepala, namun badannya masih berjarak dengan Gracia.
Wajah mereka berdua sudah dekat. Hembusan dari saluran pernapasan keduanya terasa. Mint dari nafas Shani, dan bau sushi, jus, takoyaki dari nafas Gracia.
"Anak SMP yang nemanin anak SD menunggu temannya di taman," bisik Shani, namun terdengar jelas.
Kening Gracia berkerut, berusaha melintasi seluruh ingatannya. Mencari sepotongan kejadian diantara berjuta-juta kejadian lainnya. Hingga, ingatan Gracia berhenti di beberapa tahun lalu.
Tahun dimana Gracia masih sangat polos dan lugu. Masih sangat imut dan tidak lebay.
"Ingat?"
Gracia mengangguk.
Kembali memasuki masa lalu.
Pada saat itu ...
Tanggal 27 Januari, 2010
Gracia duduk sendirian diantara keramaian taman kota. Kakinya berayun-ayun menendang tanah, padahal sepatu Gracia putih. Tapi demi membunuh bosan, ia nekat. Lagi pula, Gracia punya banyak koleksi sepatu lainnya.
Diedarkannya pandangan ke segala arah. Lalu kembali menunduk, menghela nafas.
Sudah hampir satu jam Gracia menunggu temannya. Mereka sudah janjian akan hadir di taman ini untuk mengerjakan tugas kelompok. Tapi, sampai saat ini pun temannya itu tak datang.
Gracia bahkan sudah menghabiskan empat bungkus es krim, sebungkus batagor, dan dua jagung bakar selama menunggu.
"Hei!" Seseorang menyapa, tersenyum pada Gracia. Lalu duduk di samping Gracia, menghadapnya. "Dari tadi aku liatin kamu disini terus. Lagi nungguin orang, ya?"
"Iya," jawab gracia ragu.
Gadis yang menghampiri Gracia memiliki wajah yang jelek. Mungkin karena beberapa luka yang menutupi wajah itu. Kulitnya juga kusam, tatapannya terlihat lelah. Tubuhnya selalu bergerak lesu. Seperti mayat.
Tapi, senyumnya manis. Terdapat lubang di pipi yang akan muncul setiap gadis itu berbicara. Baju yang digunakannya sangat lusuh. Jelek dan kotor. Bukan, bukan baju yang seperti tukang mulung. Terlihat kotor mungkin karna warnanya yang sudah hilang.
Gadis itu baik. Menemani Gracia menunggu temannya.
Hingga seorang lelaki berbadan besar datang. Dengan pakaian layaknya tukang palak. Tato di bagian tubuh yabg terbuka. Wajahnya sangar. Mengerikan.
Gracia takut hingga menggeggam tangan gadis disebelahnya.
"Gracia, temen kamu sepertinya sudah datang." Gracia menoleh ke ujung kanan. Disana segerombolan temannya mulai berdatangan. "Aku pulang dulu."
Lelaki tadi sudah sangat dekat dengan mereka. Langsung menjambak rambut sang gadis dan menyeretnya pergi. Gracia menatap ngeri.
Gadis itu dilontarkan kalimat-kalimat kasar dan diseret dengan kuat. Hingga kakinya tak berpijak sempurna ditanah.
"Kasian. Eh, namanya siapa ya?"
Kembali ke waktu semula.
Mata Gracia berkaca-kaca. Mengusap wajah cantik dan bersih Shani dengan lembut. Meneliti setiap bagian wajah itu, membandingkan dengan Shani beberapa tahun lalu.
Jauh berbeda. Pantas Gracia tak sadar jika Shani adalah gadis baik di masa lalu.
"K-kakak?" Gracia terbata. Bibirnya melengkung.
Entah kenapa, Gracia sangat ingin menangis. Karna, Gracia tahu semenjak pertemuan itu Shani kecil selalu melewati rumahnya. Duduk di trotoar depan rumah Gracia sambil memperhatikan Gracia yang sedang membaca buku di jendela. Dan berakhir, ia kembali diseret juga dipukul lelaki yang sama. Terjadi selama seminggu. Dan Shani kecil, tak pernah muncul lagi.
"Sstt." Shani menepis air mata yang mulai berani mengalir. "Iya, itu aku."
Setelahnya, Gracia memeluk erat Shani. Menangis tersedu-sedu di dada Shani.
Shani. Si gadis baik di masa lalu Gracia.
***
Feni ingin menginap di apart Shani. Tentu Shani mengizinkan.
Tapi, Gracia tampak lebih murung dari biasanya. Shani fikir, mungkin karna kejadian tadi.
Tapi Gracia sendiri ragu atas alasan sikapnya malam ini.
Ketiganya sedang duduk di sofa. Dengan televisi yang menyala, menampilkan film bergenre action. Saran dari Feni. Dengan posisi Shani memangku Feni. Dan Gracia duduk di ujung sofa, jaraknya jauh dari Feni dan Shani.
"Ihhh. Bego! Mau aja ditipu begitu!"
Gracia sensi dengan film. Melempar kulit kacang ke layar, seakan-akan kulit itu akan mengenai si pemeran. Kata-jata pedas juga terus terucap oleh Gracia. Tak peduli bahwa Shani dari tadi sudah mendelik padanya, tak suka dengan kata-kata kasar Gracia.
"Yaelah, Gre. Sensian amat. Kalau ga bego dia, ni film ga akan seru!" Feni membalas.
"Bacot lu!"
"Dih!"
Layar seketika menjadi hitam. Keduanya menatap Shani yang sudah mematikan televisi. Memberi isyarat untuk Feni turun dari pangkuan.
"Tidur." Shani berkata singkat. Langsung ke kamar mandi untuk bebersih.
Gracia sadar Shani seperti itu karna tingkahnya. Dan Gracia bingung sendiri dengan dirinya.
'Gue kenapa si?'
***
Gue knp si dri td typo mulu. Jd ga mood ngetik
Yudh pendek aj
Ga kuat mo pingsan aja
KAMU SEDANG MEMBACA
SIST
RomanceShania Gracia kedatangan anggota keluarga baru. Lebih tua darinya. Kakak baru, kehidupan baru. Shani Indira. dengan segala keajaibannya. *** "Stop ngatur gue!" Gracia berucap dengan lantang. Ada raut keputus-asaan di sela-sela ia mengambil nafas. Me...