Han Sora.
Nama itu tertulis pada kertas yang digenggam erat seorang bayi perempuan yang ditingalkan di depan pintu panti asuhan Hee Rim. Membuang anak yang tidak diinginkan adalah hal kejam, tapi bukan lagi sesuatu yang baru, dan kebetulan saja hari itu adalah giliranku.
Hidup sebagai seorang anak yatim piatu tidaklah mudah. Setelah dibuang oleh orang tua yang membawaku ke dunia, anak-anak sepertiku harus mencari cara untuk bisa bertahan hidup. Sebagian mungkin cukup beruntung karena diadopsi oleh keluarga yang baik, lebih beruntung lagi jika itu keluarga kaya. Tapi sebagian lain yang tidak cukup menonjol akan tinggal di panti asuhan hingga dewasa, dan akhirnya diusir karena batas usia.
Para pengasuh bilang, semakin anak-anak tumbuh dewasa, semakin kecil kemungkinan mereka akan diadopsi. Usiaku saat itu sudah menginjak 7 tahun. Aku sudah hampir kehilangan harapan dan bersiap menerima takdirku untuk menetap di panti asuhan dan diusir saat usiaku 18 tahun. Hingga tanpa disangka, takdir mempertemukanku dengan Park Boram.
Saat pertama kali bertemu dengannya, ku kira dia adalah seorang peri. Wajahnya kecil dan berseri, mengenakan gaun merah muda yang indah, dan tiara berkilau di kepalanya. Kemudian ku dengar dia memanggil 'ayah' pada Presdir Park, orang kaya yang menjadi donatur besar panti asuhan Hee Rim. Rupanya Boram bukan peri, tapi dia adalah seorang tuan putri.
Boram punya hampir semua hal yang diinginkan anak perempuan, tapi tampaknya dia tidak punya banyak teman. Jika punya, tidak mungkin setiap hari dia datang ke panti asuhan hanya untuk bermain denganku. Anak-anak panti yang lain tidak senang melihat kami bersama. Beberapa pengurus panti juga menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan Boram. Tapi anak itu adalah yang pertama membuatku berani bermimpi. Aku ingin berteman dengannya meskipun itu membuatku dihukum setiap hari.
Suatu hari akhirnya Presdir Park menyadari kedekatan kami. Ku kira itu adalah akhirnya. Aku tidak akan lagi bisa bertemu dengan Boram. Tapi siapa yang menduga, orang kaya itu justru menawarkanku kesempatan untuk pergi dari panti asuhan dan tinggal bersama Boram di rumahnya. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan tawaran itu. Sejak itulah hidupku sebagai figuran dimulai.
***
"Huaahmm.."
"Apa kau kerja lembur lagi?" tanya Boram. Gadis itu duduk di depanku dengan raut wajah kesal. "Bukannya aku sudah bilang untuk berhenti bekerja sampai ujian masuk perguruan tinggi selesai?"
Omelannya empat tahun terakhir tidak berubah. Sejak kami lulus SMA hingga hari ini, Boram adalah satu-satunya orang yang mendorongku untuk kuliah. Sekeras apapun aku menolak, dia akan mendorongku lebih keras lagi. Aku sudah mencoba berbagai macam cara untuk menolaknya, bahkan kabur ke pulau terpencil untuk menghindari ujian masuk. Tapi Boram selalu bisa menemukanku. Gadis kaya itu cukup nekat. Saat aku menghilang, dia mengerahkan pasukan khusus dari kepolisian Korea Selatan untuk menemukanku. Sejak itu aku berhenti kabur dan menuruti keinginannya untuk belajar dan mempersiapkan kesempatan terakhirku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.
"Ayolah Boram, ini tidak akan berhasil. Usiaku sekarang sudah 22 tahun, meskipun aku lolos tes kali ini, aku tidak yakin kehidupan kuliahku akan berjalan lancar. Belum lagi kalau lolos, bagaimana aku akan membayar uang kuliah dan keperluan lainnya?" sebutku mencoba memberi gadis keras kepala itu tamparan kenyataan.
Meskipun sudah berkali-kali ku katakan alasanku tidak ingin kuliah, Boram tidak pernah menyetujuinya. Dia tidak pernah berubah. Sejak dulu gadis itu adalah tkoh utama dan penulis skenarionya.
"Lagi-lagi masalah uang. Sudah berapa kali ku bilang, biar aku yang menanggung semua biayanya."
"Tidak boleh!" tolakku tegas. "Aku sudah bersumpah tidak akan menyentuh sepeserpun uang keluargamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heroine's Back
FantasyAku hidup sebagai seorang figuran hanya untuk membuat sahabatku yang seorang heroine bersinar lebih terang. Hingga suatu hari aku tewas setelah menyelamatkannya dari kecelakaan. Ku kira hidupku yang tidak berarti ini akhirnya berakhir, tapi aku just...