[4] Pulang Bareng Lagi

19 9 1
                                    

~H a p p y R e a d i n g~


“Udah sana, aku mau tidur bentar. Nanti bangunin Lea okay!”

Aya berdecak kesal lalu meninggalkan Lea, ia melihat-lihat buku yang tersusun rapi di rak buku perpustakaan. Enaknya minjam buku apa ya? Pikirnya.

Aya mengambil satu buah buku fisika kemudian mencari kumpulan novel yang tersedia. Aya berpikir keras, kenapa kak Tina bisa ada disini? Dan apa urusannya?

Karena terlalu sibuk dengan pikirannya Aya tidak menyadari bahwa ada seseorang yang mengamatinya sedari tadi.

“Itu kak Tina, bang Ayub ke mana? Kok gak ada di samping kak Tina,” gumamnya, ia melihat Tina sedang mengambil beberapa buku.

“Eh itu bukannya buku bahasa Arab?”

“Jangan-jangan kak Tina ngajar di sini?”

Aya tidak dapat membayangkan hal itu terjadi, bagaimana nanti Tina makin dekat dengan Ayub. Bisa-bisa posisinya akan tergeser, tetapi kalau iya dia harus mencari cara agar mendapatkan hati Ayub.

Sudah beberapa tahun ia lewati, hubungannya dengan Ayub biasa saja, masa ia kalah karena kedatangan orang lama. Tapi kan Ayub dengan Tina itu sahabatan, gak mungkin kan mereka menjalin hubungan? Pikirnya.

Mungkin saja sih. Aku, kamu, dulu berteman, sahabatan lalu dekat eh jadian. Astaghfirullah jangan sampai deh, Aya bakal patah hati banget jika melihat mereka bersama.

Aya mengingat quotes yang tak sengaja ia baca. Sekuat apapun menolak yang datang akan tetap datang. Sekuat apapun menahan yang pergi akan tetap pergi. Jadi, sederhanakan lah kita dalam menyikapi takdir.

Kata sederhana itu terdengar dan terlihat biasa saja, namun melakukannya begitu luar bisa perjuangannya.

Ayub sedari tadi mengamati ekspresi Aya yang berubah-rubah. Apa yang dipikirkan oleh anak itu?

Aya kesal pada dirinya sendiri karena berpikir yang tidak-tidak, ia mengucapkan istighfar di dalam hati.

“Jodohku!” pekiknya reflek saat membalikkan tubuh.

“Kenapa kesini, gak temenin kak Tina? Tuh dia nungguin nanti,” sindirnya pada Ayub yang berada dihadapannya.

“Saya guru kamu, bicara yang sopan,” kritik Ayub saat mendengar suara sinis Aya.

Aya mendelik tak suka, lalu pergi meninggalkan Ayub. Dasar gak peka, masa gak tau kalau orang lagi ngambek!

“Nilai akhlak kamu saya kurangi,”

Aya membalikan badan lalu menghadap Ayub, “Yasudah silahkan, itu hak bapak,” balasnya diakhiri senyum terpaksa.

“Tadi kenapa ngintipin saya?”

“What? Ngintipin bapak?” beo-nya.

“Dih jangan kege'eran. Ngapain juga ngintipin bapak, kayak gak ada kerjaan! Buang-buang waktu!” sanggah Aya tak terima.

Ayub mengangkat sudut bibirnya, “Gak usah senyum-senyum!” pekiknya tidak terima saat Ayub tersenyum, bagi Aya senyum Ayub tersebut merupakan senyuman mengejek.

“Pulang sekolah nanti, kita pulang bareng ya,”

Aya tersenyum mendengar ucapan dari Ayub, lalu dengan cepat ia mengubah ekspresinya.

“Jangan senyum,” ujar Ayub tenang.

“Kenapa? Itu mah hak Aya dong, pengen senyum cemberut masam. Itu hak Aya, toh wajah-wajah Aya. Dan juga senyum itu kan sedekah!”

Reinata Ayana [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang