[3] Perpustakaan

18 9 0
                                    

~H a p p y R e a d i n g~

Keesokan harinya Aya kesiangan sehingga membuat dirinya berdiri tegak hormat menghadap bendera sang merah putih. Peluh keringat membasahi tubuhnya, Aya sedari tadi mengelap keringat yang terus menetes di wajahnya.

Matahari pagi yang begitu terik menyinarkan cahayanya, Aya menghela nafas pelan ia melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan menunjukan pukul sembilan tepat.

Bel pergantian jam pelajaran pun sudah terdengar, Aya dengan semangat melangkahkan kakinya menepi di tempat teduh. Akhirnya hukumannya selesai, untung hari ini tidak ada ulangan sehingga Aya tidak terlalu khawatir takut ketinggalan.

Saat Aya membalikan tubuh, ia tidak sengaja melihat sosok wanita yang dia kenal. Kenapa orang tersebut datang
ke sini? Pikirnya. Aya mengendikkan bahu acuh, itu urusan nanti yang harus ia cari tahu. Sekarang Aya meninggalkan pinggiran lapangan menuju lantai dua tempat kelasnya.

“Pinjam,” Aya mengambil kipas mini dari tangan sahabatnya.

“Tumben telat?”

Aya menghela nafas berat, “Ya Allah Aya capek banget berdiri ditengah lapangan hampir dua jam.” Kepala Aya berdenyut nyeri, ia membuka tas ranselnya mengeluarkan buku pelajaran serta mengambil tisu.

“Apes banget hari ini, pertama kesiangan lalu di tengah jalan ban mobil Abang pecah. Untung disana ada bengkel, Lea tahu kan benerin ban mobil itu mayan lama jadi aku pesan ojek online,”

“Eh lalu pak satpam gak mau bukain pagar, padahal aku telat cuma lima menit doang,”

Aya menggerutu mengingat kejadian pagi tadi, “Dan guru piketnya ibu Dia, aku pikir cuma bersih-bersih apa gitu. Ternyata disuruh sama ibu Dia berdiri tengah lapangan,”

“Yang lebih kesel lagi tadi Aya kepanasan berdiri hormat bendera pak Ayub lewat cuma senyum doang,”

Lea mendengar tersebut hanya tertawa, “Lah bukannya Aya suka senyumannya?” Lea menggelengkan kepalanya heran, bukannya Aya senang saat Ayub tersenyum.

“Tapi tadi keadaannya beda Lea, coba tadi pak Ayub samperin Aya gitu kasih minuman apa lah,”

“Dih itu mah maunya kamu, sadar diri dong emangnya Anda siapanya dia?” sarkas Lea.

“Masalahnya aku bukan siapa-siapanya huft,” Aya tersenyum kecut mengingat hal tersebut.

“Udah jangan sedih dan jangan terlalu banyak berharap dengan hal yang tidak ada kepastian, okay.” Lea menepuk pelan bahu Aya, lalu mengeluarkan sebungkus roti didalam tasnya.

Lea memberikannya kepada sahabatnya, “Nih makan, capek kan?”

Aya tersenyum menampakkan deretan giginya, “Makasih Leleku muach,”

Lea memutar bola mata jengah.

“Guys karena ibunya gak masuk jadi kita dikasih tugas kerjain soal kimia halaman 270!” teriak sang pak ketua saat memasuki kelas.

“Ayaaaaa,” sapa Arif sang ketua kelas.

“Iyaaa,” Aya tersenyum saat Arif berada didepan bangkunya.

“Aya tadi kenapa telat?”

“Biasa kesiangan,” sahut Lea.

Aya menepuk lengan Lea. “Yang ditanya itu aku bukan Lea,”

“Tadi jam pertama matematika ada tugas, karena Aya gak masuk jadi kata ibu tugasnya nyusul, ngumpulnya bareng sama tugas kimia nanti,” jelas Arif.

Lea yang mendengarnya pun memberi kertas yang berisi lima buah soal matematika.

Reinata Ayana [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang