14. Dinner

325 19 0
                                    

Entah kata-kata apa yang Axel ucapkan pada Aza. Membuat perubahan sikap Aza benar-benar tak pernah aku bayangkan. Bagaimana ia bersedia membantuku menyiapkan kemeja dan perlengkapan lainnya untuk berangkat kantor. Bukan berarti sebelumnya ia tak membantu, hanya saja akhir-akhir ini rutin ia lakukan. Layaknya benar suami istri sungguhan? 

Tebakan Daniel, Aza juga punya perasaan yang sama denganku, lewat cara bagaimana Aza berperilaku  bahkan hal kecil lainnya. Sampai minggu lalu Axel keceplosan bilang ke Aza jika aku suka cemburu jika ia pergi dengan lelaki lain. 

Senyuman yang dulu sangat jarang ku temui, akhir-akhir ini bahkan sangat mudah aku dapatkan. Dalam setiap hal aku bisa menemukan Aza tersenyum. Saat ia memberikan kemeja padaku, atau menyiapkan serapan, dan masih bayak lagi. 

Jika begini terus, bisa-bisa aku kalah. Kalah dengan omonganku sendiri, kalah dengan ucapan yang sering sekali aku lontarkan di depan mami juga teman-temanku. Yah, bisa di bilang aku menjilat ludahku sendiri. 

Mami jelas sangat senang saat tahu hal itu, ohhh jelas saja gosip itu ia dapatkan dari kedua teman laknatku itu. Entah bumbu apalagi yang mereka tambahkan saat cerita ke mami. Yang jelas mami juga ikutan menggodaku saat kami berkunjung  ke rumah mami. 

"Kalo suka tuh di ungkapin bang!" Ujar mami yang entah sejak kapan ikut duduk di  kursi taman belakang rumah. 

"Ungkapin gimana mi? Kan temen-temen gue aja udah ngasih tau dengan cara melebih-lebihkan ke Aza." Balasku. 

"Aduh, pantesan aja jomblo karatan sebelum sama Aza, nih ya cewek mau di bilang di taksir sama seribu cowok sekalipun, entah itu fakta atau engga, kalo ga ada yang ungkapin, cewek tetap mikirnya ga ada yang suka sama dia, atau fakta itu boong." Ujar mami kesal.

"Aku belum terlalu yakin mi sama perasaan aku sendiri, bisa aja cuman perasaan sesaat." Jawabku jujur. Iya mungkin sekarang aku suka, atau bisa di bilang sedang jatuh cinta dengan Aza, tapi tidak ada yang bisa memastikan jika besok dan besoknya lagi perasaanku pada Aza tetap sama kan? 

"Pelan-pelan aja Kas, sekalian dinikmati, asal jangan sampai terlambat." Tutup papi yang ikut mendengar perdebatan kami malam itu. Papi bukan tipe yang senang ikut campur dengan urusan orang lain, apalagi menyangkut dengan masalah pribadi seperti cinta-cintaan. Selama itu masih di batas normal papi hanya akan duduk sebagai penonton. 

Papi memang tidak pernah mengucapkan jika ia suka dengan Aza sebagai menantunya, tapi lewat bagaimana ia memperlakukan Aza di rumah, caranya peduli dengan Aza lewat mami, bahkan ide agar bi Uma bekerja di apartment kami juga usul papi, hanya karena ia tidak mau membuat Aza kecapean selama kehamilannya.  

Dan masih banyak lagi, perhatian kecil yang papi sampaikan ke Aza lewat mami. Papi memang sejak dulu menginginkan anak perempuan lahir di rumah ini, namun saat mami melahirkanku terjadi masalah di rahim mami yang mengharuskan agar rahim mami diangkat, yang membuat harapan papi memiliki anak peremouan benar-benar pupus. 

Aza, menantu papi yang mau menginap, memasak bersama mami, atau melakukan hal-hal yang layaknya ibu dan anak sering lakukan, membuat papi senang. Ia bahkan sering berbincang dengan Aza, bertanya soal kehamilannya, pekerjannya, atau ia bertanya tentang aku pada Aza, agar Aza tidak sadar jika itu hanya alasan bagi papi agar ia bisa mengobrol dengannya. 

Enam bulan, usia kehamilan Aza, perutnya semakin besar. Ia tetap aktif ke kantor, padahal aku sudah memintanya untuk mengambil cuti. Tapi ia enggan, ia lebih tidak suka jika ia bisa tidak melakukan apapun di apartment. 

Bukannya apa-apa, di kantor aku tidak bisa mengawasinya dua puluh empat jam, bagaimana jika terjadi hal yang tak terduga, aku tak mampu. Namun ucapan dari Aza yang benar-benar meyakinkkanku berhasil membuatku luluh. Ditambah ia berjanji akan memberiku kabar secara berkala. 

Katanya sih ia mau ambil cuti saat usianya sudah bulan ketujuh atau menjelang ke delapan. Meski awalnya aku menolak karena itu terlalu lama, namun lagi dan lagi, ucapannya berhasil meyakinkanku. 

Malam ini sebelum kami pergi ke rumah mami, terlebih dahulu kami mampir ke toko peralatan bayi. Sebenarnya ini sudah kami rencanakan setelah tau jenis kelamin anak kami. Tapi baru hari ini kami bisa mmewujudkannya. 

Berbagai barang yang bernuansa biru telah masuk ke troli. Tadi mami ngotot minta ikut, naun aku melarangnya, takut jika Aza kurang bebas memilih, tapi pada nyatanya ia malah mengikuti apa yang aku pilih. Tipe yang tidak mau ribet. Dan aku suka itu, maksudnya suka dengan sifat yang seperti itu, tapi juga orangnya deh. 

Kata mami malam ini kami akan dinner bareng, iya bukan di restoran tapi di rumah. Ada tamu yang kehadirannya sangat di nanti. Itu kata mami saat bertelepon denganku tadi malam. Maka di sinilah kami saat ini, berbincang di ruang tamu sembari menunggu tamu spesial yang mami sebut sejak tadi. 

Aza aku suruh untuk istirahat dulu, tapi ia ingin membantu bi Uma juga mami di ruang makan. Sampai suara bel yang menandakan tamu tersebut sudah datang membuat kami sama-sama menoleh ke arah pintu secara bersamaan. 

Mami dengan segera beranjak mendekat kemudian membukakan pintu, menyambut juga memeluk tamunya. Pemandangan tersebut membuatku sontak sempat terdiam. Mereka pulang, dan aku tak pernah membayangkan jika tamu spesial mami kali ini adalah bang Niko juga istrinya yang tidak lain adalah Syera mantanku. 

Setelah salim menyalim layaknya bertukar rindu, aku hanya menyambut salam dari Syera. Rasanya ada perasaan yang tak bbisa dijelaskan saat kembali melihatnya. 

"Kamu Azarya kan ya?" Tanya bang Niko pada Aza. Aza hanya mengangguk menanggapi pertanyaan barusan, lagian itu pertanyaan konyol, ia tau hanya kami di sini yang baru menikah, sudah tidak mungkin jika itu istri baru papi yang sedang hamil besar. Basa basinya sedikit kuno. 

"Betah-betah ya sama Lukas, anaknya agak gesrek soalnya, mana sikapnnya masih kekanakan lagi." Ujar bang Niko lagi, yang berhasil membuat Aza tersenyum seolah membenarkan pernyataan dari bang Niko. 

"Hmm...engga se-kekanakan itu sih bang, cuman agak ngeselin aja." Ujar Aza yang berhasil membuat yang lainnya tertawa. Ia mengucapkan itu dang ekspresi datar dan tanpa rasa berdosa?

"Halo, aku Asyera, panggil aja Syera istri Niko, kita baru kali ini ketemu setelah kamu nikah sama Lukas kan?" Lagi, Aza hanya mengangguk memberi jawaban. "Salam kenal ya, aku harap kita bisa dekat." Ujarnya kemudian mendekat guna memeluk Aza, jelas Aza hanya membalas pelukan itu. Jika ia tahu perempuan yang ia peluk tadi adalah mantan dari suaminya sekarang apakah reaksinya akan sama?

Di satu sisi aku berfikir aku tak harus menjelaskan masa laluku dengan Aza, aku berfikir tak ada yang berubah jika ia tau masa laluku juga kan? Namun masalahnya adalah masa laluku kini ada di dekat kami, belum lagi jika ia tau bagaimana aku dulu dengan Syera? Apa ia masih mau tinggal dan menetap denganku, dengan menerima masa laluku yang bisa di bilang sangat kurang ajar?

Lalu bagaimana sikap mami papi juga bang Niko jika tau semua ini? Mungkin mereka kecewa? Tapi Aza? Bisa saja ia pergi saat tau fakta itu. Bukan itu yang aku mau. Tapi aku tidak sanggup jika menjelaskan semuanya sekarang, disaat Aza sedang hamil besar. Bukannya apa-apa, menurut buku juga ucapan dokter saat aku bertanya padanya saat check-up terakhir kami, hamil besar juga bisa berbahaya bagi bayi jika sang ibu stress dan banyak pikiran. Aku tidak mau terjadi hal-hal seperti itu. 

Disaat pikiranku masih kemana-mana, tepukan kecil di lenganku berhasil membuyarkan lamunan yang entah sudah sejauh apa, juga obroloan mereka yang sejauh apa tidak aku dengarkan. 

"Ayo makan, yang lain udah pada ke meja. Lagian aneh banget kamu ngelamun ga jelas pas orang rame." Ujarnya sedikit kesal? 

Aku segera mengikuti Aza duduk guna bergabung untuk dinner, seperti biasa Aza dengan sigap mengambilkan nasi untukku. Ini bukan drama atau apa, lebih tepatnya sudah kebiasaan, dan aku sudah terlanjut terbiasa dengan pelayanan yang Aza lakukan. Dan lagi, aku tidak sanggup jika ia pergi dengan segala kebiasaan yang ia lakukan padaku. 

"Manja banget lu Kas, nasi aja sampe di ambilin." Ujar bang Niko. 

"Ini namanya pelayanan istri terhadap suami, sirik aja lo." Ujarku tanpa menoleh, aku tidak berniat menyinggung siapapun, hanya berkata seperti faktanya. Namun ucapanku barusan memberi efek yang berhasil membuat seisi meja terdiam beberapa saat. Sampai akhirnya mami mencoba mencairkan suasana dengan obrolan randomnya. Seperti itulah makan malam kami kali ini. Diakhiri dengan bincang-bincang, yang aku ijin duluan dengan Aza, berungtungnya mami setuju denganku. Ibu hamil tidak boleh begadang. 

Stuck In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang