16. She's gone, i'm broke

421 20 0
                                    

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, namun Aza masih belum menampakkan dirinya padaku. Beberapa panggilanku sengaja di tolak olehnya selebihnya sengaja tak ia angkat. Ratusan pesan yang ku kirim padanya tak ia balas satpun padahal aku tau ia sudah membacanya. 

Selang beberapa menit kembali ku panggil nomor yang sama, namun kali ini suara yang menjawab bukan suaranya melainkan suara operator yang mengatakan jika nomor tersebut sedang tidak aktif. Ia benar-benar sengaja. Tapi kenapa?

Aku sudah hampir putus asa saat ia memilih menonaktifkan ponselnya, sampai pesan singkat dari Dinda yang mengatakan jika Aza hanya butuh waktu sendiri. Pikiran positif kembali merenggut isi kepalaku, dari yang sebelumnya ada pikiran aneh yang mengatakan hal buruk berubah menjadi pikiran baik. 

Besoknya aku kembali ke kantor seperti biasa, bahkan saking sibuknya akhir-akhir ini aku lupa mengabari Aza. Hari ke dua ia tidak pulang berhasil membuatku bertanya-tanya, jika ia butuh waktu aku rasa tidak harus selama ini, iya tau lebay tapi dua hari pergi entah kemana pada usia kandungannya yang sudah tua aku rasa itu berlebihan. 

Berkas yang Axel bawa kembali merenggut pikiranku, rapat eksklusif yang akan diadakan di Kuala Lumpur berlangsung selama dua hari ke depan, dan hal ini harus aku yang mengambil alih dan tidak bisa di wakilkan. 

Iya aku berangkat, tapi dengan pikiran yang tidak bisa di jelaskan. Aku bahkan tak tahu dimana Aza sekarang, nomormya masih tidak ia aktifkan. Mami bahkan papi tidak memberi saran sama sekali saat aku bertanya tentang Aza, apa mereka ada salah ucap atau ada ucapan yang membuat Aza tidak pulang. 

Pesan papi cuman satu, 'sebanyak apapun masalah kita hanya perlu menyelesaikannya satu-satu'. Karena itu aku memantapkan kaki untuk berangkat ke Kuala Lumpur, mengikuti rapat yang jika tanya Axel aku rasa rapatnya tidak memiliki arti alias hancur. 

Pikiranku di penuhi dengan keadaan Aza, bagaimana ia sekarang dan masih banyak pertanyaan tentang Aza. Selesai rapat di hari ke dua aku segera meninggalkan ibu kota Malaysia tersebut, meninggalkan Axel yang harus mengikuti acara dinner sekaligus acara penutupan dari gathering manager dan direktur dari perusahaan dari berbagai negara. 

Mami bahkan papi sama sekali tidak tau keberadaan Aza, selama aku pergi selama itu juga Aza tidak menampakkan diri di hadapan kami. Jam sembilan malam aku melajukan mobil ke kos Dinda. Tempat yang beberapa kali aku singgahi dulu sebelum kami menikah. 

Dinda membuka malas pintu kos-nya, memandang kecewa ke arahku, aku sama sekali tidak tau kenapa semua orang secara tiba-tiba berubah padaku. 

"Din, gue rasa lo satu-satunya temen Aza, dan gue rasa lo tau di mana dia!" Ujarku saat ia sudah berdiri di depan pintu. Yang memberi kode seakan aku tidak ia ijinkan untuk masuk ke kosan. 

"Gue heran sama lo, harusnya dari awal lo ga nawarin dia buat nikah, gue tau lo emang dari lahir udah hidup mewah, tapi gue yakin Azarya juga mampu besarin anaknya sendirian. Tapi elo maksa atas dasar anak kalian, iya elo cinta sama anak lo doang, tapi bisa sebenarnya tanpa nikah, tapi lo ngotot, gue kira nikah sama lo orang besar bakal buat dia bahagia, tapi pikiran baik gue ke elo semuanya salah, yang ada lo kasih goresan paling besar di hidup dia." 

"Gue ga ngerti lo..

"Lo ga akan ngerti jadi dia, karena lo cuman lo, hidup lo cuman buat elo dan bahagiain diri lo yang bebas itu, sedangkan dia dari awal dia juga ga pernah berharap akan bahagia, tapi apa? Ia hamil anak lo, ia cuman pengen bebas, ia cuman mau lari, tapi lo maksa buat dia stay sama lo, tapi saat dia benar-benar stay sama lo, lo malah tunjukin sisi brengsek lo ke dia, semuanya, dan itu yang buat dia hancur." 

"Din, gue aja gatau kenapa tiba-tiba ia pergi tanpa kabar, nomornya ga dia aktifin," Ujarku jujur. 

"Jadi maksud lo ke sini nyari dia?" Ia menghela nafasnya pelan "Ga ada, untuk sekarang dia udah ga ada di sini, bahkan dia ga ngasih tau kemana dia, kalo hari pertama ia pergi dan lo cari di sini, lo masih ketemu sama dia, tapi keesokan paginya ia malah pergi tanpa mau kasih gue tujuannya kemana." 

"Gue kira saat ia pergi dari sini ia pulang ke elo, tapi liat lo yang baru muncul sekarang nunjukin kalo tiga hari ini lo bahkan gatau dia ada di mana sama siapa." 

"Bantu gue nyari Aza din?" Pintaku saat ia membalikkan badan hendak masuk ke kosannya. 

"Gue rasa dengan posisi lo sekarang nyari Aza itu gampang, tapi niat yang di diri lo itu yang ga keliatan sama sekali, gue harap lo lebih hancur dari Aza malam itu, atau malam-malam sebelumnya selama kenal sama lo." 

Mendengar penjelasan yang Dinda sampaikan padaku semakin membuatku pusing, apa yang membuat Aza lari di saat kami tak ada masalah. Saat kami baik-baik saja, kesalahan apa yang telah  kulakukan sampai membuatnya lari seperti ini. 

Aku kembali ke rumah mami, tapi mami bahkan papi juga seolah tidak suka denganku, mereka enggan untuk mengajakku berbicara atau bahkan tak mempedulikanku seolah aku tak terlihat. Dari yang ku dengar dari bi Uma, mereka tau alasan kenapa Aza lari dari rumah. 

 Seolah hanya aku, hanya aku yang tidak tau di mana ia, alasan kenapa ia pergi, juga bagaimana keadaannya sekarang, apa yang ia lakukan. Nomornya masih belum aktif. 

Aku sudah mencari Aza di apartment kami, di sekitar apartment juga hampir diseluruh kota bahkan ke beberapa pelosok. Namun ia begitu lihai dalam bersembunyi. Lima hari bahkan seminggu, keadaan rumah yang akhir-akhir ini berubah menjadi dingin, sejak Aza pergi. 

Tak ada lagi obrolan yang membuatku merasa pulang ke rumah, mami bahkan papi sengaja menyibukkan diri setiap ada aku. Bang Niko bahkan tidak banyak bicara saat mereka singgah ke rumah mami. 

Aku kembali ke hidupku yang dulu, sibuk dengan kerja yang lebih tepatnya menyibukkan diri agar tidak seperti orang gila yang tidak punya pikiran, namun dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan juga membuatku tak ada bedanya dengan orang gila. 

Hampir setiap hari aku lembur, pulang larut malam kemudian minum sendirian di apartment seperti orang gila, paginya kembali bekerja seperti biasa. Begitu terus-terusan, sampai Axel juga Daniel kewalahan dengan hidupku yang kembali seperti dulu. 

Ternyata ucapan Dinda sahabat Aza benar-benar di kabulkan sang pencipta, ia biarkan aku hancur dengan kepergian Aza. Rasanya ingin mati saat mengingat istriku juga jagoan yang akan segera hadir di dunia tak tau ada dimana. Lebih tepatnya hanya aku yang tidak tau. 

Hari ke empat belas tanpa kabar Aza benar-benar membuatku hampir gila, beberapa pesuruhku belum menemukan tanda-tanda di mana Aza saat ini, tak ada info yang mengabarkan jika ia pergi dari kota ini, entah itu lewat udara atau air, yang menjelaskan ia tidak jauh dari sini. 

Daniel juga Axel bahkan kewalahan saat pagi hingga sore membantuku untuk urusan kantor yang rencananya akan membuka cabang kota Yogyakarta. Malamnya mereka kan sibuk membantuku mencari Aza atau malah menenengkanku dari efek alkohol yang aku telan. 

Aza benar-benar berpengaruh dalam hidupku, sangat. Aku pernah menghancurkan hidupnya yang berakhir ia harus terikat denganku juga kehiduanku. Kini gantian ia yang menghancurkan duniaku seluruhnya hanya dengan cara ia menghilang. 

Mungkin jika keadaannya tidak seburuk ini, Axel juga Daniel pasti sudah  menertawakanku, terbahak dengan penampilanku yang kurang terurus? Atau sudah terpingkal saat mereka mneyaksikan betapa bucinnya aku terhadap istriku. 

Sepulang dari kantor, aku memasuki kamar Aza, kamar yang dulunya ia tempati sebelum mau satu ranjang denganku. Aroma Aza benar-benar ada di sini. Seolah menjelaskan jika ia tidak pergi jauh. Foto yang ia bingkai saat kami menikah ada di sana, juga beberapa fotonya sendiri ia sususn rapi di rak khusus. 

Tanpa pikir panjang, tanganku terulur ke benda tersebut, menciumnya kemudian mendekapnya seolah itu adalah Aza yang nyata. Lagi-lagi aku harus menangis, merindukan keberadaannya. Menginginkan sosoknya ada di sini, saat ini, menenangkanku. 

Saat aku kembali menelusuri area kamar amplop coklat sedang  yang berada di tumpukan buku berhasil menarik perhatianku. Tanpa pikir panjang aku segera membukanya dan membaca dengan cepat. 

Tanpa aku sadari sejak awal aku membaca surat tersebut air mata luruh begitu saja. Lagi-lagi duniaku benar-benar sudah hancur setelah membaca surat Aza. Bahkan kini lebih hancur lebur. Aku bahkan beberapa kali meraung memanggil nama Aza, berharap ia datang, aku akan mnegatakan apa yang selama ini harusnya akuu ucapkan padanya. 





Stuck In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang