Saat aku sibuk dengan laporan yang beberapa hari lalu Axel kirimkan padaku, sebuah gelas yang berisi wine mendekat ke arahku. Itu bang Niko, setelah aku menerima uluran gelasnya ia ikut duduk di kursi kosong yang letaknya di depanku.
"Udah ada hilal bilalnya Aza dimana?" Tanyanya, kemudian menyesap minuman yang berwarna sedikit gelap tersebut. Aku hanya menggeleng pelan, meletakkan laptop ke meja kemudian ikut menyesap wine. Bang Niko termasuk orang yang cuek apalagi hal itu tidak ada kaitannya sama sekali sama kehidupannya, ia lebih menghindari yang namanya ikut campur. Ia selalu mengatakan itu terlalu buang waktu juga tenaga setiap aku marah jika ia kurang peduli.
Tapi jika kasus Aza ikut membuatnya bertanya alias peduli seperti sekarang, itu artinya Aza bukan hanya istri dari adiknya. Tapi lebih dari itu. Dan aku hanya menemui sikapnya ini saat mami papi atau aku ada masalah. Hah...hati baik Aza memang tak bisa di bohongi, bagaimana manusia super cuek satu ini saja merasa kehilangan.
"Abang tau kok, sama masalah kamu sama Syera, sebulan setelah pernikahan abang, baru berani ia jujur, semuanya. Dari awal kalian dekat bahkan hingga bagaimana hubungan kalian berakhir. Dari awal aku tau ada yang aneh dianatara kalian berdua, dan saat ia terbuka, jujur aja aku marah, itu layaknya sebuah kebohongan? Tapi ga sepenuhnya kebohongan juga karna dari awal aku juga ga nanya, cuman nebak, padahal kalo aku nanya ia bakal jawab atau setidaknya ia bohong. Tapi balik lagi Kas, itu masa lalu dia, dan masa lalu setiap orang kita ga tau, sama kayak masa depan juga ga ada yang tau." Ia meletakkan gelasnya yang sudah kosong di kursi sebelah.
"Abang emang baru kenal sama Aza, tapi abang tau, hati dia itu baik, banget malahan. Manusia bisa sabar, bisa pura-pura kuat, tapi semakin di tahan, itu sama aja kayak bom waktu, yah...tinggal nunggu waktunya aja buat meledak. Mungkin sekarang ia lagi di fase capek, atau bahkan menyerah. Tapi saran aku bukan hanya sebagai abang kamu tapi juga teman kamu, kejar dia. Kamu ga akan nemu dia di diri orang lain, mungkin bisa aja kamu nemu yang mirip sama dia, tapi balik lagi dia cuman satu."
"Kamu juga orang baik kas, jadi wajar kamu dapat orang baik, sekalipun kamu bukan orang baik, yang diatas yang baik, buktinya ia pertemukan kamu dengan seseorang yang hatinya sebaik Aza. Gapapa kok terlambat, asal kamu berusaha buat nyari dia sampai ketemu." Setelah bang Niko selesai dengan ucapannya ia beranjak dari kursi, berhubung jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam. "Fokus kamu sekarang ke Aza, urusan kantor banyak kok yang handle, itu buktinya kamu orang baik, lewat bagaimana orang sekitar memperlakukan kamu." Bang NIko menepuk pundakku pelan kemudian pergi masuk rumah.
Aku masih menatap punggung kokohnya sampai bayangannya benar-benar menghilang dari pandanganku. Ucapannya yang sangat jarang selalu berhasil mengetuk hati kecilku, ku raih ponsel yang langsung menunjukkan wajah rupawan Aza.
Aku merindukannya, sangat. Aku berharap ia dan anak kami sehat serta selalu di bawah perlindungan Tuhan. Jika boleh kurang ajar aku ingin segera di pertemukan dengannya, apa kesalahanku terlalu besar sampai doaku sangat sulit untuk di kabulkan? Aku semakin panik saat mengecek kalender kehamilan Aza, ini sudah memasuki bulan ke delapan.
Malam itu untuk pertama kalinya aku memohon pada sang pencipta, sekalipun Ia enggan mempertemukan aku dengannya, setidaknya ia selalu di lindungi, di cukupkan, juga di kelilingi orang-orang baik. Aku memang bukan orang yang rutin dalam beribadah, bahkan di banding Aza, ibadahnya lebih lancar dariku, padahal aku yang kepala keluarga, yang harusnya jadi contoh. Tak bisa aku bohongi akhir-akhir ini, air mataku sangat mudah terjatuh jika itu menyangkut Aza juga anakku.
Jujur saja belakangan ini, aku merasa aneh dengan mami juga papi yang keberadaannya jarang aku temui di rumah, bahkan saat aku tanya pada bi Uma, beliau juga tidak pernah memberi jawaban yang jelas. Lebih tepatnya apa yang lewat di kepalanya itu yang ia ucap. Pernah suatu kali alasan mami papi keluar adalah membantu kucing ibu Saleh yang rumahnya berjarak beberapa rumah dari kami sedang lahiran.
Atau bahkan yang lebih tak masuk akal adalah melihat tante Rina atau tante yang aku kenal sejak kecil itu sedang memasang iklan baru yang katanya produk dari negara Korea. Dan itu bahkan hingga aku pulang mami papi belum pulang ke rumah juga.
Oh, sebagai info dari pesuruhku Aza benar-benar tidak ada di kota, juga hingga hari ini tak ada perjalanan atas namanya, entah itu lewat air juga udara. Itu artinya ia keluar kota menggunakan angkutan umum atau sejenisnya yang jaraknya tak begitu jauh.
Semakin luas kemungkinan ia dimana, semakin banyak juga orang-orang yang aku minta tolong guna menemukannya. Jelas semakin panik perasaanku setiap harinya, usia kandungannya semakin bertambah. Apa ia bisa melewatinya sendiri? Salah satu hal yang masuk list dalam doaku setiap harinya, ia akan baik-baik saja, setelahnya aku tak lelah juga tak bosan agar segera di pertemukan.
Jika bukan karna Axel atau Daniel aku bahkan tidak tau bagaimana kabar kantor pusat yang aku pimpin sepenuhnya akan hancur begitu saja. Tubuhku memang duduk di kursi kebanggaanku, tapi hati dan pikiranku tetap pada Aza. Tapi aku juga tak bisa jika aku hanya berdiam diri di rumah, yang ada aku akan menggila, kembali ke rutinitas sebelum aku mengenal Aza, bahkan sebelumnya saja aku sudah hampir hancur, atau bahkan sudah hancur?
Ini weekend, biasanya sebelum ke rumah mami, kami akan makan bersama dulu atau makan di luar, menikmati kopi juga ia yang selalu memesan coklat hangat di salah satu kafe yang letaknya tak jauh dari rumah mami. Atau sekedar berjalan di taman kota. Dan masih banyak lagi aktifitas sederhana yang kami lakukan bersama-sama yang jika diingat kembali menyayat hatiku.
Foto-fotonya yang hingga hari ini ia tidak tahu aku memotretnya secara diam-diam di setiap aktiftas membuatku tertawa miris. Kesalahanku memang sangat fatal hingga ia berhak memilih pergi, tapi bukan saat ini. Saat aku benar-benar sudah jatuh sepenuhnya pada dunianya.
Ia tidak suka di foto, ia sedikit pemalu, padahal dengan gaya apapun ia cocok, dari angle manapun ia tetap terlihat cantik. Jika ia tahu aku sering mengambil potonya secara diam-diam ia pasti kana kesal. Semakin aku memandang galeri yang isinya hampir potret dirinya, hal tersebut semakin membuatku semakin ingin bertemu dengannya.
Aku menahan malu juga sedikit geram saat Daniel mengejekku karna menggantung beberapa foto Aza di ruang tamu juga ruang kerjaku, tentu saja poto yang aku ambil sendiri. Setidaknya dengan pandangan tersebut sedikit membantu kegilaaanku akan merindu dengan Aza juga calon anakku.
Sore itu aku memilih menghabiskan waktu di rumah juga berniat menginap di apartment yang akhir-akhir ini serasa dingin, padahal sebelumnya juga aku sudah terbiasa sendiri, namun Aza benar-benar masuk terlalu dalam kehidupanku.
Wangi khas Aza masih ada di sini, aroma buah segar yang selalu aku cium setiap ia selesai mandi menyeruak di sekitar. Bahkan hanya dengan mencium aroma parfumnya saja aku bisa membayangkan jika saat ini ia sedang ikut duduk di sofa yang berada di kamar.
"Kami lebih merindukanmu Kas, aku fikir kamu ga akan pernah berusaha nyari kami. Maaf ya, aku pergi gitu aja tanpa minta penjelasan dari kamu. Maaf buat hidup kamu berantakan Kas, kamu bahkan sampai kehilangan berat badan kamu."
"Aku fikir kamu akan lebih baik tanpa ada kami di sampingmu, tapi nyatanya kita sama, aku terlalu bergantung selama ini sama kamu, ga munafik aku bahkan berharap kedekatan kita selama ini akan belangsung selamanya."
Aku mulai membuka mataku, merasakan elusan sayang yang diberikan perempuan yang ikut duduk di sofa yang aku tiduri. Aku hanya dapat mematung, menyadari perempuan yang kini menatapku dengan hangat, juga senyumannya yang masih sama saat dulu bagaimana ia tersenyum di depan mami.
"Za, aku mohon jangan bilang ini mimpi, aku gamau jika semua ini mimpi Za." Aku menggelengkan kepala berkali-kali, menolak jika ini hanya mimpi. Namun yang perempuan itu lakukan semakin membuatku menangis kejar, ia memelukku erat. Ia tak banyak bicara, hanya menghapus jejak air mata di pipiku, kemudian ikut menggeleng.
Saat aku mulai tersenyum, ia memilih untuk bangkit kemudian berjalan ke arah pintu. "Kamu mau kemana?" Tanyaku bak anak kecil yang hendak di tinggal sebentar oleh ibunya.
"Aku memang sayang kamu Kas, tapi itu cuman aku, kamu enggak. Makanya tempat aku bukan disini. Aku harap kamu bahagia meski bukan sama aku, kita jalanin hidup kayak dulu sebelum kamu kenal aku secara pribadi." Tuturnya kemudian ikut menghilang diiringi dengan suara pintu tertutup.
Aku berusaha meraih pintu, tapi apa daya terlalu berat. Suara isakanku bahkan semakin keras. Aku terbangun dari mimpi yang tak bisa aku jelaskan jenisnya. Tapi rasanya nyata, bahkan pipiku masih basah karna air mata. Aku mengecek ponsel yang sejak tadi ternyata berdering. Mimpi yang entah arti apa yang di jelaskan disana aku tidak tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In You (COMPLETED)
RomanceA marriage without love in it can it last long? I'm also not sure I'll like her, she's not my type. We marry only to account for the mistakes we made. But all of it's wrong, I'm fall and stuck in her. Start publish: 25 January 2022 Finish: 27 Marc...