19. Dejavu

429 24 0
                                    

"Kamu masih suruh orang-orang kamu buat nyari Aza?" Tanya papi yang kini duduk denganku di depan televisi yang menanyangkan bola favorit kami. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan yang papi lontarkan, tanpa menoleh padanya, antara enggan atau aku terlalu sensitif akhir-akhir ini jika menyangkut Aza. 

"Hampir dua bulan kamu buang waktu sama tenaga kamu Kas, tapi liat hasilnya nihil, saran papi kamu udah bisa berhenti nyari Aza." Jujur saja ucapan papi barusan berhasil mengusut emosiku. Semudah itu orang sekitarku mengucapkan kata-kata tersebut. Jika itu Daniel atau Axel, aku bisa menganggapnya lelucon atau ejeken bucin dari mereka. Tapi ini beda ini papi. 

Aku sudah tidak ingin mendengar apapun dari mulut papi sekarang, itu sama saja ia tak hanya membuang menantunya tapi juga cucunya. Papi tidak sejahat itu, tapi ucapannya benar-benar jahat. 

Saat aku sudah melangkahkan kaki menjauh dari papi, suara papi berhasil membuatku berdiam diri di tempat. Meski ucapannya kali ini menyayat hati tapi aku ingin mendengarkannya hingga selesai. Ia menjelaskan bagaimana selama ini sikapku, bagaimana selama ini aku berfikir aku adalah yang terbaik juga yang selalu diandalkan. 

Bagaimana keras kepala juga bodo amatnya aku terhadap sesuatu, bahkan saat aku sadar jika aku sudah membuat anak gadis mengandung anakku sendiri, menawarkan sejumlah uang pada gadis itu, yang kini bahkan aku seperti orang gila yang ingin segera menemuinya. 

Aku menolak semua ucapan papi, tapi hati dan perasaanku tidak bohong, air mata turun begitu saja. Aku bahkan sesenggukan, ditambah malam ini rumah seakan kosong, hanya ada aku juga papi. Aku sudah seperti anak kecil yang rapuh. 

Aku merasakan pelukan papi, yang membuatku semakin terisak. Papi bahkan menepuk-nepuk pelan pundakku. Adegan ini persis saat aku kehilangan mainan robot kontrol ku saat berusia enam tahun. Benda kesayanganku hilang karena aku membawanya saat perjalanan ke rumah oma di salah satu daerah di kota yang jaraknya tiga jam dari ibu kota. 

Saat itu aku sudah berkali-kali menanyakan oma soal robot tersebut nyatanya tidak ada tinggal yang ternyata hilang hanya kelalaianku sendiri. Papi masih setia menepuk pundakku, sampai kau merasa benarr-benar lega.

"Papi bangga sama kamu Kas, kamu banyak berubah semenjak kenal Aza, gimana bisa kami juga ga bantu, jelas mami papi bantu, bahkan saat hari pertama Aza ga ada kabar, mami panik banget. Mami bahkan nangis mulu saat tau kejadiannya. Mungkin karna mami juga perempuan makanya mami tau gimana sakitnya Aza. Mungkin itu yang buat mami marah sama kamu, sampai bersikap seolah ia juga tak berharap Aza ga akan kembali." 

"Kamu ingetin papi saat papi ngelakuin hal yang sama, bedanya papi lebih kurang ajar dari kamu, saat itu papi nikah sama mami kamu karna perjodohan, mami kayak Aza, tulus sejak kami menikah, sedangkan papi masih berhubungan dengan mantan papi, hah...sampai akhirnya mami hamil Niko, dan memilih pergi saat mami menyaksikan sendiri kelakuan bejat papi sama mantan papi." 

"Mami menyembunyikan kehamilannya dari papi, karena kami melakukannya saat papi mabuk, kepergian mami bersamaan dengan kepergian mantan papi keluar negeri, yang akhirnya menyadarkan papi jika perempuan yang papi mau adalah mami kamu, hingga Niko lahir papi gatau mereka ada dimana, hanya lewat testpack yang ada di lemari mami yang membuat papi sadar jika papi sudah punya keturunan. Butuh tiga tahun papi buat menangin hati mami kamu. Itu sebabnya jarak kamu sama Niko bisa sampai enam tahun." 

Aku masih mencerna cerita papi barusan, aku marah, namun aku juga sama brengseknya dengan papi atau bahkan lebih. 

"Kamu percaya takdir ga?" Aku mengangguk ragu, persis saat Aza menanyakan hal yang sama beberapa bulan yang lalu. Papi mengangguk berkali-kali seolah puas dengan jawaban raguku. "Kamu tau kan jodoh atau takdir, jika memang itu untuk kamu, mau kamu tendang sejauh appaun, mau kamu toak sekuat apapun akan kembali menjadi milik kamu." Ujar papi. 

Stuck In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang