17-; Bestfriend?

103 21 2
                                    

content warning: vmin scene 18+

Menyedihkan. Itulah kata yang tepat untuk hidup Jimin sekarang. Jimin kehilangan segalanya, Jungkook, Yoongi, dan dirinya sendiri. Tak lagi sama hatinya setelah apa yang Jimin lewati dalam beberapa bulan terakhir.

Bertahun-tahun luka kematian orang tuanya dilipur kehadiran Yoongi dan Taehyung sebagai keluarga barunya. Tapi kini, Jimin bahkan lebih hampa dari saat kabar kecelakaan orang tuanya dia terima.

Jimin tidak tahu siapa lagi yang harus dia percaya.

Jimin memang masih memiliki Taehyung dan keluarga Kim-nya. Hanya saja, keadaan sahabatnya itu tidak jauh berbeda dengannya. Taehyung kehilangan kepercayaannya, cintanya, Yoongi-nya. Seberapa banyak pun keluh kesah yang ingin Jimin luapkan, harus Jimin tahan karena tak ingin membuat Taehyung merasa semakin nelangsa.

Jimin sudah merasa sangat merepotkannya dengan semua ini. Bantuan sejak dirinya tak sadarkan diri, tempat tinggal sementara, sampai proses hukum, diterimanya dari keluarga Taehyung dengan larangan untuk membalas. Mereka hanya ingin yang terbaik untuk Jimin dan kedua orang tuanya.

Jimin tak ingin semakin menjadi beban, tapi bangun dari kasur saja sudah sangat sulit baginya. Pertemuan dengan Hoseok dan Yoongi yang sedang menunggu proses persidangan membuat isi kepalanya semakin berkecamuk. Semuanya terasa pahit tapi itulah fakta yang harus Jimin telan.

Satu malam, Taehyung menghampirinya di kamar. Kamar tamu di kediaman Namjoon dan Seokjin yang kini diokupasi Jimin.

Taehyung membawa dua gelas teh kamomil. Satu gelas diletakkan di hadapan Jimin, satu lagi di hadapannya. Kamar Jimin memiliki balkon yang diisi dengan dua kursi dan satu meja bulat sederhana. Tempat dimana Jimin menghabiskan sebagian besar harinya. Untuk melamun, membaca buku, dan beberapa kali menidurkan diri di sana tanpa sengaja.

"Thanks," kata Jimin sambil menggenggam erat cangkir dengan kedua tangan. Merasakan hangatnya menyalur dari telapaknya menuju ke seluruh tubuh. Menghalau dinginnya sepi yang berteman dengan gelapnya malam.

"Dua hari lagi sidang putusan terakhir." Jimin mengangguk ketika merasakan mata Taehyung meliriknya.

Jimin juga menyadari itu, fakta bahwa sebentar lagi hukuman yang setimpal akan diberikan pada komplotan vampir yang membunuh orang tuanya.

"Sebelum itu," Taehyung menghentikan kalimatnya. Terdengar keraguan dari caranya menghembuskan nafas. "Kau tidak ingin bertemu Jungkook?"

Tanpa Taehyung tahu, Taehyung sudah menyuarakan isi hati Jimin yang penuh keraguan. Apakah dia ingin bertemu Jungkook? Apakah dia harus bertemu Jungkook untuk meluruskan semuanya? Dan satu hal yang paling penting, apakah dia siap bertemu Jungkook?

Sejak kepulangannya dari bertemu Yoongi dan Hoseok, niatan melihat wajah vampir bergigi kelinci itu sudah mengganggu Jimin. Hanya saja terlalu banyak pertimbangan tidak masuk akal yang menguasai. Sehingga Jimin berdiam diri di dalam kamar, mengurung hasrat untuk sekali lagi memandang wajah Jungkook yang dirindukannya.

Akal dan hatinya terus beradu.

Jungkook yang turut mengotori tangannya dengan darah orang tua Jimin. Sekaligus Jungkook yang berhasil membuat Jimin merasakan bahagia setelah sekian lama hidupnya diselimuti mendung.

"Aku tak tahu."

"Ku harap kau tidak merasa terpaksa. Tapi aku juga berharap kau tidak menyesal di kemudian hari." Taehyung meletakkan cangkirnya di meja. Kemudian tangannya terulur memijat leher Jimin. Hal yang biasa dilakukan orang-orang terdekatnya untuk menenangkan saraf-saraf tegang Jimin, termasuk Jungkook.

Sentuhan Taehyung mengingatkan Jimin pada Jungkook. Meski tekstur tangan Taehyung lebih halus, tapi jauh di dalam hatinya Jimin tahu, Jungkook akan melakukan hal yang sama persis seperti yang Taehyung lakukan saat ini jika dirinya tengah cemas.

Semesta sepertinya ingin meluruhkan pikiran Jimin dari Jungkook dengan menumpahkan hujan secara tiba-tiba. Membuat vampir dan manusia itu buru-buru membawa barang mereka masuk ke kamar Jimin.

Taehyung menggerutu. "Ramalan cuaca penipu." Lengannya sedikit basah dari tempias akibat kanopi di beranda Jimin yang hanya separuh. "Oh shit! Sandalku!"

Taehyung kemudian terlihat kembali membuka pintu beranda Jimin dan mengambil sandalnya yang tertinggal di dekat kaki kursi yang didudukinya tadi. Membuat vampir itu diserang air hujan yang kian deras dalam waktu singkat.

Jimin berinisiatif mengambil handuknya di kamar mandi. Kemudian menghampiri Taehyung yang sedang mengeringkan kaki di keset. Tangan Jimin sambil menarik kursi beroda ke dekatnya. "Duduk." Taehyung menurut.

Lalu kursi itu ditarik Jimin ke dekat tempat tidurnya yang saat ini dia duduki. Jimin menghadap Taehyung yang basah dari ujung kepala sampai perutnya. Menyampirkan handuk pada rambut si vampir untuk digosok-gosok agar kering.

Wajah keduanya tak begitu dekat sampai bisa membuat mereka saling menghirup hembusan udara masing-masing. Tapi cukup lekat mata Taehyung menatap Jimin sampai membuat manusia itu mengangkat satu alisnya. "Why?"

Taehyung menggeleng. "Tiba-tiba ingat Yoongi Hyung."

Tangan Jimin berhenti menggosok rambut bagian atas Taehyung. Kemudian bibirnya tersenyum kecil seperti mengisyaratkan pada Taehyung bahwa Jimin tahu apa yang tengah dirasakannya.

Handuk kemudian berpindah ke bagian belakang kepala Taehyung membuat Jimin sedikit memajukan tubuhnya agar sampai pada posisi yang dituju. Kepalanya dimiringkan untuk melihat bagian yang basah di samping kepala dan di balik telinga Taehyung.

Jimin bisa merasakan bagaimana mata Taehyung mengikuti pergerakannya. "Kalau ada yang mau diceritain, bilang saja." Kini handuknya mengalung di leher Taehyung. Sedang tangan Jimin sedang menyisir rambut Taehyung agar terurai dari gumpalan air.

"Terakhir kali ketemu Yoongi Hyung, rambutnya agak panjang."

Jimin berdehem, mengonfirmasi kalimat Taehyung.

"Jika tidak salah perhitungan, saat ini mungkin rambutnya sepanjang milikmu." Nafas Jimin tercekat. Baru saja dia ingat bahwa memang rambutnya sudah berbulan-bulan tak diurus.

Pada detik berikutnya, Jimin merasakan tangan Taehyung menyisir rambut lurusnya. Mengikuti gerakan tangan Jimin di rambut Taehyung.

Rasanya nyaman.

Jimin menjatuhkan kepalanya di pundak kanan Taehyung sambil memejamkan mata. "Kau merindukannya?"

"Sangat. Aku hampir mati dibuatnya."

"Kau sangat mencintainya?"

"Jika aku rela mati untuknya, apakah itu yang disebut mencintai?"

Tangan Jimin merapatkan satu sama lain. Membuat dirinya lebih dekat dengan memeluk Taehyung. Air yang diserap pakaian Taehyung sebentar lagi bisa turut diserap oleh kaos Jimin.

Jimin tidak bisa menyangkal, rasanya nyaman.

Terlebih dengan tangan Taehyung yang kini juga melilit di tubuhnya. Salah satunya menggosok punggung Jimin dengan lembut. Mungkin kesepian dalam diri Jimin merasa senang karena diberi sentuhan. Mungkin kesedihan yang ada pada Jimin merasa kenyang ditemani pelukan.

Tak tahu berapa lama mereka dalam posisi itu. Sunyi, hanya suara hujan yang menjadi latar belakang mereka. Sampai Taehyung memutuskan untuk memecah keheningan.

Tangan Taehyung memijat leher Jimin. Tangannya dingin pada kulit Jimin yang hangat. Rasanya lengkap. Ketika terlalu lama kedinginan, kemudian sedikit hangat akan menyebabkan candu. Menciptakan upaya agar terus mendapatkan apa yang diinginkan dengan berbagai cara. Jika akal yang waras sudah dikesampingkan, berbagai jalan, yang paling beresiko pun akan ditempuh.

"Jimin, boleh aku cium bibirmu?"

SET YOU FREE • kookminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang