Matahari mulai menampakkan wujudnya. Pagi yang indah menurut gadis yang sedang berkutat di dapur milik Alex. Gadis yang tak lain Vio, sedang memasak bersama pembantu rumah Alex.
“Non Vio duduk aja. Biar Bibi yang masak,” ucap asisten rumah tangga Alex yang biasa dipanggil Bi Arum.
Vio menggelengkan kepalanya, “Gapapa, Bi. Aku bantu biar cepet selesainya. Lagian, aku di sini juga kerja. Tapi kerjanya cuma kasih makan singanya pak Alex.” Vio terkekeh.
“Yaudah, kalo gitu. Non Vio kalo capek duduk aja, biar Bibi yang nerusin.”
Namun Vio tak mengidahkan perkataan bi Arum. Dirinya terus membantu wanita yang bekerja itu.
Lima belas menit mereka di dapur, akhirnya selesai juga. Vio membantu untuk memindahkan makanan ke meja makan. Menunggu sang pemilik rumah untuk turun.
“Morning.”
Bi Arum dan Vio yang mendengarnya, langsung hendak pergi. Tapi, Alex yang melihat gerak-gerik Vio yang ingin meninggalkan langsung mencekal pergelangan tangannya.
“Duduk. Temani saya makan,” titah si pria yang seperti tidak bisa dibantah.
Vio hanya mengangguk. Ia duduk lalu menunduk. Memainkan kuku-kuku tangannya yang berada di atas pahanya.
“Kamu ngapain? Silahkan makan. Kan kamu yang masak.” Suara itu lagi-lagi menerobos gendang telinga Vio.
“Saya bisa makan nanti. Pak Alex sarapan aja dulu.”
Sembari tersenyum pada pria berjas biru gelap itu, matanya tak sengaja menangkap pada tangan kanan Alex yang memegang sendok. Tangan kekar itu terbalut perban.
“Pak Alex.”
Panggilan itu membuat Alex menghentikan pergerakan tangannya untuk menyuapi mulutnya.
“Tangan Pak Alex kenapa? Perasaan kemarin saya lihat, gapapa tangannya,” tanya Vio khawatir.
Alex melihat tangannya yang terbalut perban itu langsung tersenyum. “Ah, gak sengaja kemarin kena pecahan gelas.”
“Tapi udah gapapa 'kan, Pak?”
Alex mengangguk pelan, “Saya gak merasa sakit. Sakit yang sebenarnya, karena ditinggal mama saya.” Seringai itu muncul sekilas.
Vio tersenyum canggung. Apa sebegitu terpuruknya seorang pria di depannya ditinggal oleh mendiang orang tuanya?
“Tangan saya gapapa.” Alex berdiri dari duduknnya, “Saya berangkat dulu. Jangan lupa beri Gev makan.”
“Pak, tunggu!”
Vio berlari kecil menuju dapur. Tak lama kembali, gadis itu kembali dengan tangan kirinya membawa kotak bekal.
“Ini buat Pak Alex. Saya bikin sandwich.” Vio mengulurkan tangannya memberikan kotak bekal itu pada Alex. “Itu isinya telur, sayur sama daging ayam. Tadi saya mau gorengin udang, tapi kata bi Arum, Pak Alex alergi.”
Wajahnya tiga kali lebih tampan, pria itu tersenyum membuat matanya melengkung bagai bulan sabit. “Terimakasih, saya berangkat dulu.”
Langkah jenjang pria itu menuju ke garasi. Mobil bermerk Lamborghini dengan harga bermilyar-milyar itu menyapanya. Segera ia masuk ke mobil dan menancapkan gasnya.
Di perjalanan, pria itu mencuri pandang ke kotak bekal yang berada di kursi sebelahnya.
“Jangan harap saya memakan makanan itu lagi. Cukup tadi, saya pun gak sudi,” monolog Alex geram.
Sepuluh menit kemudian, Lamborghini yang Alex naiki sampai di GEX Corp yang tak lain perusahaan milik pria itu.
Alex turun dengan kunci dan kotak bekal yang dibawanya. Mimik wajahnya selalu datar bahkan tak bersahabat. Serentak, para bodyguard Alex menghampirinya.
Tanpa perintah, salah satu bodyguard Alex dengan sigap menangkap benda kecil yang Alex lempar. Namun alangkah kagetnya, satu bodyguard Alex saat melihat kotak yang Alex lempar.
“Bos, ini apa?” tanya salah satu bodyguard Alex yang sembari menangkap kotak bekal makannya.
“Buat kamu. Entah kamu makan, buang, kasih ke orang, saya gak peduli,” ketusnya lalu meninggalkan para bodyguard-nya.
Setelah berurusan dengan para bodyguard-nya, langkahnya menuju ruangannya yang berada di lantai 20. Pria itu menaiki lift khusus untuk cepat sampai di lantai ruangannya.
Sampai di ruangannya, ia langsung duduk di kursi kebesarannya. Ekspresi sombongnya nampak di wajah pria itu. Selain sombong akan kekuasannya, pria itu mewanti-wanti akan balas dendamnya yang berjalan mulus.
“Selamat pagi, Pak Alex,” ucap wanita di depan pria itu. “Pukul sembilan, anda ada jadwal meeting dengan pak Rio,” lanjutnya.
“Hanya Rio?”
“Pukul dua siang, meeting dengan Lexham Company. Dipimpin oleh–”
Belum sempat meneruskan kalimatnya, wanita bernama Maureen itu mengangguk pelan kala Alex mengibaskan tangannya untuk segera keluar dari ruangannya.
“Saya keluar dulu. Permisi.”
Bertepatan dengan Maureen pergi, asisten pribadi Alex pun datang.
“Kamu tau 'kan, apa yang harus kamu lakukan setelah ini?” Alex bersedekap dada dan bersandar santai pada kursi kebesarannya.
Evan mengangguk, “Saya mengerti, Pak. Saya akan membawakan serbuk itu.”
Alex berdehem. “Cepat! Saya tidak butuh waktu lama. Jangan lupa minumannya kamu bawa.”
Evan segera keluar dari ruangan bosnya. Jika tidak dituruti dengan segera, Alex akan memaki dan emosi. Ia tak segan-segan memberi pelajaran pada seseorang yang tak mematuhi perintahnya.
Tak butuh waktu dua menit, Evan datang kembali dengan membawa minuman dengan serbuk yang Alex maksud. Evan menaruhnya di meja, tepat di depan Alex.
Alex terkekeh. Siapapun yang melihat pria itu terkekeh sekarang, nampak seram dan matanya sudah diselimuti oleh kegelapan.
Tangan Alex membuka plastik serbuk itu, perlahan menuangkan ke dalam minuman yang berisi jus strawberry itu.
“Saya tunggu reaksi kamu, Viona. Pembunuh tak tau malu.” Alex tertawa devil sambil mengaduk minuman itu dengan sedotan.
“Bawa jus ini! Kirim ke mansion saya siang nanti. Pastikan dia minum.” 'Dia' yang Alex maksud yaitu Viona.
“Baik, Pak. Saya pergi sekarang.”
Alex mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. Menunggu kabar selanjutnya dari Evan. Otaknya membayangkan betapa sengsaranya gadis itu jika jatuh ke dalam permainan yang Alex buat.
Alex pastikan akan membuat lubang yang begitu dalam hingga gadis itu tak akan dapat keluar dari lubang yang pria itu gali.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET REVENGE
RomanceAlexander Gevian Xavier. Pria berumur 27 tahun dengan pahatan wajah yang tampan. Namun sayang, pria dengan panggilan Alex itu memiliki dendam pada sosok yang telah membunuh mendiang Ibunya. Gadis bernama Laurel Viona, dituduh sebagai tersangka atas...