Ketukan pintu kamar membuat sang empu yang sedang tertidur pulas terpaksa harus membuka matanya. Netranya masih menyesuaikan cahaya yang berada di dalam kamar.
"Non, saya sudah menyiapkan makanan untuk anda. Silahkan turun ke bawah, pak Alex sudah menunggu."
Suara berasal dari luar kamarnya membuat Vio mengucek matanya dan duduk mengumpulkan nyawa.
Ia melihat jam dinding yang bertengger sudah menunjukkan tujuh malam. Beberapa jam tertidur di ranjang tanpa penganggu benar-benar nikmat.
Dengan tenaga yang ia punya, segera Vio masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Mengguyur badannya serta mengganti pakaian yang sudah bau akan keringat.
Genap empat puluh menit, gadis itu sudah siap dengan pakaiannya. Kaos putih dengan celana hitam selutut yang membuat lekuk kakinya terlihat menggoda. Serta rambutnya yang basah membuat gadis itu semakin terlihat menggairahkan.
Vio turun dengan rambutnya yang sudah mulai mengering, dirinya sempat mengeringkan beberapa menit dengan hair dryer yang ada di meja rias.
Vio tersenyum kecil kala melihat Alex yang sudah duduk di meja makan. Dengan gerakan lamban dan ragu, ia menarik kursi yang ada di sana.
"Silahkan. Kamu pasti lapar, kan? Karena belum makan seharian ini." Vio mengangguk dan senyumnya sangat canggung.
Bagaimana tidak canggung, meja makan sangat penuh dengan berbagai macam makanan. Apalagi di meja makan hanya dirinya dan Alex, mana mungkin mereka habiskan seorang diri.
Tangannya mulai memberanikan diri mengambil nasi serta ayam potong dengan capcay yang terlihat menggiurkan. Apalagi capcay makanan kesukaannya.
Sibuk dengan makanannya, begitupun dengan Alex. Pria itu sibuk mengunyah dan menikmati makannya. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang beradu.
Beberapa menit lamanya, kedua insan itu menyelesaikan acara makannya. Ditutup dengan meminum air putih yang sudah dituangkan ke gelas.
"Pak," panggilnya membuat Alex menaikkan kedua alisnya.
"Bapak di sini tinggal sendirian?"
"Ada Gev."
"Ah, maksud saya emm ... saudara atau orang tua Pak Alex gitu?"
Alex menatap Vio intens. Memancarkan aura kebenciannya pada sosok gadis di depannya. "Saya anak tunggal. Orang tua saya sudah meninggal."
Ekspresi Vio berubah sendu. "Uh, saya tidak bermaksud untuk mengungkit hal itu. Saya minta maaf, Pak."
Alex mengangguk kepalanya kecil. "It's okay. Saya juga gak ambil pusing."
Alex berdiri dari kursinya. Sebelum melangkahkan kakinya, pria itu berhenti kala Vio memanggilnya. Pandangannya terfokuskan pada gadis berkaos putih itu.
"Kenapa Vio?"
Vio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sekali lagi, terimakasih Pak."
Alex mengangkat jari jempolnya seraya tersenyum. Pria itu lalu meninggalkan Vio sendiri di ruang makan yang cukup luas.
Dari pada sendiri di ruang makan, ia melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Di kamar, ia merogoh tas punggungnya untuk mencari benda pipih alias ponselnya.
Ditekannya tombol power namun hanyalah peringatan bahwa baterai melemah. Gadis itu mendengus. Entah pikiran dari mana, ia mengingat Alex. Dirinya akan pinjam charger pada pria itu.
Vio mengetuk pintu kamar Alex. Namun tak kunjung dibuka.
"Pak? Pak Alex ada di dalam?"
Ia mendekatkan telinganya pada pintu. Mendengar dari luar, apakah ada tanda-tanda jika pria itu di dalam.
Namun beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka mengakibatkan Vio yang sedang menempelkan telinganya pada pintu langsung kehilangan keseimbangannya.
Bruk!
"Kamu ngapain di depan kamar saya?" Suara berat itu membuat Vio yang tersimpuh di lantai langsung melototkan matanya dan mendongak ke atas.
"Ah, itu Pak!" Oh, tidak! Lidahnya terasa kelu saat akan mengatakan tujuannya ke kamar pria itu.
"Itu apa, Vio?"
Lagi-lagi suara bariton tegas itu terdengar di gendang telinganya.
Matanya enggan terbuka. Bagaimana berani dirinya membuka mata saat berhadapan dengan tubuh setengah telanjang milik Alex. Tubuh gagahnya dengan enam roti sobek di perutnya. Jangan lupakan handuk yang tengah melilit di pinggangnya.
"Kenapa tutup mata?" tanya Alex datar.
"Pak Alex gak pake baju!" pekik Vio tak menggerakkan sedikit tubuhnya. Duduk di lantai dengan menutup mata.
Alex mendengus. "Maaf, saya habis mandi. Ada apa ke kamar saya?"
"Saya pinjam charger."
Alex menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur berniat untuk membantu gadis itu.
"Buka mata kamu, bangun."
Vio membuka kelopak matanya perlahan, didapatinya tangan kekar milik seseorang tengah terulur di depan wajahnya.
Tangan kanannya seolah tersihir, Vio menerima uluran tangan Alex. Dengan bantuan itu, ia mencoba bangkit dan berdiri di depan Alex. Tubuh atletisnya sungguh menggoda.
"Saya ambilkan sebentar." Alex berucap lalu segera mengambil benda yang Vio maksud.
Tak butuh waktu semenit, Alex membawakan charger lalu memberikan pada Vio.
"Terima kasih, Pak. Maaf menganggu malam-malam." Vio mengacir keluar, sebelum keluar dirinya sempat membungkukkan badannya.
Setelah Vio keluar, barulah Alex menatap jijik tangan kanannya yang sesudah membantu gadis itu. Apapun yang berhubungan dengan gadis itu, Alex sangat membencinya. Walaupun demikian, ia harus sangat pandai menyembunyikan sifat aslinya.
Dengan tubuh setengah telanjang, Alex kembali ke kamar mandi. Menatap pada pantulan kaca besar.
"Tenang, Lex. Ini baru permulaan." Jangan lupakan smirk yang tercetak di bibirnya.
Urat-urat rahangnya terlihat jelas. Ia tak sabar memainkan permainan yang melibatkan gadis itu. Pikirannya selalu membayangkan bagaimana gadis itu sengsara.
Beberapa detik kemudian, tangan kanannya yang sudah mengepal langsung ia layangkan. Memukul kaca di depannya hingga retak.
Alex mendesis kala melihat tangannya yang mengucur mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Bahkan pria itu tak merasakan sakit apapun di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET REVENGE
RomansaAlexander Gevian Xavier. Pria berumur 27 tahun dengan pahatan wajah yang tampan. Namun sayang, pria dengan panggilan Alex itu memiliki dendam pada sosok yang telah membunuh mendiang Ibunya. Gadis bernama Laurel Viona, dituduh sebagai tersangka atas...