1. Meet

666 277 271
                                    

Lima tahun mendekam di penjara bukanlah hal yang diinginkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lima tahun mendekam di penjara bukanlah hal yang diinginkan. Apalagi mendekam di penjara atas kesalahan orang lain. Hukum sungguh tak memberikan keadilan lagi.

Hari-hari yang dilalui hanyalah tangisan. Ingin rasanya pergi sejauh mungkin dari tempat yang tak seharusnya ditinggali.

Gadis yang seharusnya pergi ke kampus, kini harus menjalani hari-harinya di dalam lapas bersama orang-orang yang menurutnya menyedihkan.

Tepat di hari Rabu, gadis itu telah dinyatakan bebas dari hukumannya. Hukuman yang tak seharusnya diberikan padanya.

Ia menghirup dalam udara di luar. Mendongakkan kepalanya dan memejamkan matanya, membiarkan angin menerpa tubuhnya. Sudah lima tahun lamanya, dirinya tak merasakan indahnya ciptaan Tuhan.

Gadis dengan sweater dan jeans lusuh serta membawa tas punggung itu sedang berjalan seraya mencari taksi yang lewat.

Lamanya mencari, taksi yang ia harapkan pun tak lewat juga. Sorot matanya tak sengaja melihat ruko, tenggorokannya kering saat melihat botol air minum yang berembun di luarnya.

“Saya beli air minum yang dingin.” Gadis itu berucap pada penjual yang ada di ruko itu.

Sembari membayar, dirinya meneguk air itu. Sungguh nikmat meminum air itu di siang yang lumayan menyengat kulit putih gadis itu.

Beberapa menit kemudian, ia menyimpan botolnya ke dalam tas punggungnya. Gadis itu kembali berjalan tak tentu arah. Pikirannya sedang kalut, di mana dirinya sekarang harus menetap.

Satu kejadian yang membuat dirinya di dalam lapas membuat semuanya hancur. Pendidikannya, orang tua, teman pun menjauh darinya. Sebab gadis itu dicap sebagai pembunuh.

“Uang aku juga tinggal seratus ribu,” ucapnya miris melihat dompetnya yang berisi selembar uang warna merah.

Dengan kekuatan yang ia punya, kakinya melangkah ke depan entah tujuannya ke mana. Berharap ada sosok yang baik menolongnya untuk memberikan tempat untuk berteduh.

***

Seorang pria tengah duduk di kursi kebesarannya. Kakinya ia selonjorkan ke meja dan tangannya bersedekap dada. Raut wajahnya tegas, menunggu kabar dari seseorang.

“Berapa lama saya harus nunggu?!”

Seketika teriakannya membuat pria lain masuk ke dalam ruangan pria yang sedang duduk di kursi.

Pria yang baru masuk tertegun sejenak. “Sepertinya gadis itu sudah keluar, Pak. Sudah lewat tiga puluh menit.”

Pria berjas hitam itu menurunkan kakinya. Senyumnya mengembang. Namun bukan senyum ketulusan, melainkan senyum yang mengerikan.

“Jalankan rencana sebelumnya yang pernah saya kasih tau,” ucap pria itu pada pria di depannya yang kini menunduk. Pria itu mengangguk dan melenggang pergi.

Tertinggal seorang pria yang tersenyum girang di ruangannya. Terbesit di otaknya, hanya bagaimana cara menghabisi musuhnya.

***

Sudah terhitung satu jam, gadis itu duduk di bangku taman seraya memikirkan nasib setelahnya. Ditambah dengan cuaca yang membuat keringat selalu menetes di dahinya.

Tak lama kemudian, indera pendengarannya tak sengaja mendengar suara keras dari arah timurnya. Matanya sibuk meneliti, ada apa dan kenapa banyak orang bergerombol?

Kakinya spontan melangkah ke gerombolan tersebut. Mengingat tubuhnya kecil, dirinya berjinjit dan melihat seorang pria sedang berbicara.

“Itu lagi ngapain, ya?” tanya si gadis pada orang di sebelahnya.

“Oh, itu lagi mempersilahkan ngambil tiket. Kalo tiketnya ada tanda bintang, tandanya orang itu bakal ngasih uang. Tapi dengan syarat.”

Gadis itu mengerutkan alisnya. “Uang? Segampang itu?” Orang di sebelahnya mengangguk. “Syaratnya apa?”

“Kurang tau. Kalo semisal orang yang dapet tiket tanda bintang, langsung dibawa ke suatu tempat dan bakal langsung dikasih uang,” jelas orang itu lagi.

“Kamu udah ambil tiketnya?”

Laki-laki itu mengangguk dan menunjukkan tiketnya yang berwarna emas dengan gambar bulan sabit. “Coba kamu ambil, barangkali dapet.”

Gadis itu mengangguk. Pikirannya dipenuhi dengan uang, uang dan uang. Kakinya berjalan di tengah keramaian orang. Sesampainya di depan sana, tangan kanannya merogoh kotak besar beralaskan kain hitam.

Ia memejamkan matanya seraya merapalkan doa-doa agar mukjizat datang padanya.

Sepuluh detik terhitung, tangannya yang sedari tadi di dalam kotak hitam itu terangkat dan mengambil satu tiket.

Matanya terbelalak seakan bola matanya akan lompat dari tempatnya. Tiket emas dengan gambar bintang kini berada di genggamannya!

Ia langsung menunjukkan pada pria yang memakai jas hitam formal. Si penggelar acara. Pria itu mengangguk. Lalu membubarkan semua pengunjung di sana. Tinggal gadis itu dengan pria itu.

“Sekali lagi selamat. Anda tau, jika mendapatkan tiket bergambar bintang?” tanya pria itu.

Gadis dengan rambut terurainya mengangguk mantap. “Uang?”

Pria itu mengangguk. “Tapi dengan syarat. Anda ikut saya dan bertemu dengan atasan saya. Bersedia?”

Tanpa ragu, gadis itu mengangguk.

“Silahkan masuk ke dalam mobil hitam di seberang jalan. Tenang saja, itu orang kepercayaan saya.” Seolah dapat membaca pikiran si gadis, pria itu segera berucap.

Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ah, iya. Saya ke sana.”

Gadis itu melenggang pergi. Pria berjas hitam itu mengambil ponsel di saku celananya. Segera menelepon seseorang.

“Target sudah masuk mobil, Pak. Orang yang bergerombol tadi sudah saya sewa sepenuhnya, Bapak tenang saja.”

Good. Bawa ke hadapan saya. Saya tidak sabar ingin memberikan Gev makanan.”

"Kalau begitu, saya ke mansion anda sekarang." Setelah pria itu berucap, barulah telepon itu mati sepihak.

Pria itu segera berlari menuju mobilnya. Segera menancapkan gasnya menuju mansion si pria yang tak lain adalah atasannya.

Lima belas menit lamanya, mobilnya sudah terparkir di depan mansion. Ia berjalan masuk ke dalam. Di ruang tamu, lima pria bertubuh besar dengan seragam hitam berjejer di samping pria yang tengah duduk di sofa.

“Perkenalkan diri anda pada Pak Alex.” Pria yang bernama Alex mengetuk-ngetukkan kakinya yang terbalut sepatu pada ubin seraya menunggu gadis itu berucap.

Gadis itu mengangguk cepat lalu membungkukkan badannya. “Saya Laurel Viona. Anda bisa memanggil saya dengan nama Vio.”

“Saya Alexander Gevian. Panggil saja Alex.” Bibirnya melengkung ke atas, menunjukkan senyum indahnya.

“Emm–”

Alex segera berdiri dan menjentikkan jarinya berkali-kali. “Ah, saya tau. Kamu ke sini untuk uang, kan?” Vio mengangguk.

“Jangan tergesa-gesa. Saya ingin kenal lebih jauh dengan kamu. Boleh duduk sebentar menemani saya minum kopi?”

SWEET REVENGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang