Prolog

129 9 2
                                    

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service aㅡ"

"Gimana?"

Berat hati, Izar menggeleng sembari menjauhkan ponsel dari telinganya. Membuat raut panik dan kecewa di wajah Bari kian kentara. Di sisi Bari, Sena terdiam. Sorot matanya menguarkan kebingungan, ketidakmengertian.

Sesuatu yang juga tengah menyergap Izar saat ini.

"Gimana, nih, Mas Izar?"

Pandangan Izar beralih pada pria yang duduk di seberangnya. Ikmal, utusan dari Swaratama yang bertugas mendampingi mereka dalam proses penandatanganan kontrak hari ini, tengah memandangi mereka satu per satu. Seolah menunggu keputusan.

"Ditunggu lima belas menit lagi, ya, Mas?" tawar Izar.

Air muka Ikmal berubah tidak senang.

Sejatinya, Izar sendiri tidak tahu berapa lama lagi mereka harus menunggu, mengingat sosok yang mereka tunggu masih belum bisa dihubungi hingga saat ini.

"Ini udah lewat hampir satu jam dari jadwal janjian, lho, Mas," sindir Ikmal.

Izar tahu. Tanpa diberitahu pun, ia menghitung setiap detik yang sejak tadi mereka lewati dalam tegang penantian. Tapi Fado tidak kunjung memberi kabar. Fado tidak pernah menghilang. Fado bukan orang yang tidak bertanggung jawab.

"Iya, saya tahu, Mas. Tapiㅡ"

"Harusnya Mas Izar dan temen-temen bisa belajar profesional, dong," potong Ikmal. Nadanya tidak sesinis tadi, tapi juga bukan nada yang bersahabat. "Padahal yang mau dapet kontrak ini banyak, lho, Mas. Buat dapet kesempatan emas kayak Rangkasa ini juga enggak gampang. Malah disia-siain."

Izar mengumpat dalam hati. Ekor matanya menangkap bayang Bari yang tengah membulatkan mata tidak terima serta Sena yang menjatuhkan pandang ke arahnya, serupa tengah meminta petunjuk.

Tapi Izar sama tidak berdayanya seperti yang lain.

Ia hanya tahu, tidak satu pun dari teman-temannya berniat menyia-nyiakan kesempatan ini.

Tidak pula Fado. Meski sampai detik ini, kawan terdekatnya itu masih belum menunjukkan tanda keberadaan.

"Kalau gitu, saya duluan, ya, Mas Izar, Mas Bari, Mas Sena."

Ikmal berdiri dari duduknya setelah merapikan map berisi lembaran kontrak mereka.

"Tunggu, Mas!" cegah Izar, turut berdiri. "Tunggu, sebentar lagi aja."

Sebelah alis Ikmal meninggi. "Saya harus nunggu apa lagi? Mas Fadonya masih enggak ada kabar, kan?"

"Iya, tapiㅡ"

"Mungkin Mas Fado emang belum punya komitmen buat serius, Mas. Saya minta maaf, tapi kalau begini keadaannya, Swaratama enggak bisa kerja sama dengan Rangkasa."

Kepala Izar terasa berputar. Benaknya memunculkan banyak hal.

Kala nama Rangkasa diumumkan sebagai juara pertama dalam kompetisi band nasional sekian bulan lalu, Fado ada di sana. Lelaki itu berteriak dan melompat-lompat bersamanya. Fado memeluknya kuat-kuat. Fado terlihat luar biasa bahagia.

Ketika Swaratama menghubungi mereka demi menawarkan kontrak kerja sama, sorot mata Fado tampak berbinar. Pun ketika Rangkasa dan Swaratama melangsungkan pertemuan pertama untuk membahas isi kontrak, bibir Fado terus menyungging senyum.

Bahkan kemarin malam, Rangkasa masih menyempatkan waktu berkumpul. Berempat. Kemarin malam, Fado masih hadir dan tertawa di tengah mereka. Bersemangat membicarakan mimpi dan rencana. Tidak ada yang janggal.

Tidak.

Izar tahu dengan jelas, Fado selalu berbagi kebahagiaan yang sama dengan anggota Rangkasa yang lain. Fado menginginkan kontrak ini sebesar Izar dan yang lain menginginkannya. Fado menginginkan komitmen ini.

"Enggak gitu, Mas. Mungkin Fado lagi kejebak macet, atauㅡ"

Ikmal tidak lagi memotong ucapan Izar dengan suara. Pria itu hanya menggeleng pelan, lalu tersenyum samar. Senyum yang menyuruh Izar berhenti.

"Saya permisi, ya."

Tidak ada bantahan. Tiga pemuda itu hanya bisa memandangi punggung Ikmal yang menjauh hingga menghilang di balik pintu kaca kafe tempat mereka bertemu. Bahu Izar melemas turun bersamaan dengan tubuhnya yang jatuh terduduk. Di sisi kirinya, Bari tengah mengeluh ribut sembari menendang angin. Di sisi yang lain, Sena terdiam dengan bibir setengah terbuka, sebelum berakhir mengembuskan napas kasar.

"Dibatalin gini aja? Kontrak kita?" tanya Bari hampa, entah pada siapa.

Izar tidak bisa menjawab. Kepalanya tertoleh ke arah pintu masuk. Masih berharap Fado akan muncul di sana. Terengah, berpeluh, menyesalㅡapa pun, namun ada.

Tapi Fado tidak datang.

Tidak saat itu, tidak pula sekian jam kemudian, pun beberapa hari setelahnya.

Fado hilang.

Lelaki itu tidak pernah datang lagi.





***

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang