14. Ramadirga Instrument

21 6 0
                                    

Rahasia pertama Yusran yang Izar ketahui hari itu adalah perihal bubur ayam di meja makan.

"Iya, itu si Adek, tumben banget tadi pagi-pagi udah keluar. Katanya mau cari sarapan, soalnya di rumah lagi ada tamu."

Ibu Yusran menyampaikan itu dengan tawa kecil yang sukses membuat Izar meringis canggung. Jadi begitu. Yusran bersikap seolah tidak peduli, meski sebenarnya anak itu peduli lebih banyak dari yang Izar harapkan. Persis seperti Aga, teman kecilnya dulu. Si anak laki-laki dengan gigi depan yang kurang rapi.

Rahasia kedua, adalah bahwa Ramadirga Instrument bukan hanya menjual berbagai instrumen musik beserta peralatan pelengkapnya, tetapi juga menyewakan beberapa ruangan studio di lantai atas. Seharusnya, kala menaiki tangga dan melihat belokan menuju lantai lain sebelum lantai keduaㅡtempat Yusran dan keluarganya menetapㅡIzar sudah bisa menebak bahwa tempat itu juga difungsikan sebagai sesuatu.

"Kok lo enggak bilang-bilang, sih, kalo nyewain studio juga?" Pertanyaan Bari lekas mewakili isi kepala Izar. Lelaki itu lantas menoleh, mencari ekspresi Yusran. "Kalo bilang, kan, kita bisa latihan di sini aja. Gratis, kan, Yus?"

Cengiran yang timbul di wajah Yusran akibat pertanyaan pertama segera luntur setelah mendengar kalimat lanjutan Bari. Ia memutar bola mata.

"Temen, ya, temen," katanya datar. "But business is business."

Ganti Bari yang memamerkan cengiran.

"Lagian, kalo lo lupa, Bar, gue join band lo for money," ucap YusranㅡIzar yakin lelaki itu melirik sekilas padanya kala berkata demikian. "Kenapa gue harus ngasih kalian gratisan kalo ini bisa jadi ladang duit buat gue?"

Bari mengeluh pelan sementara Sena hanya mendengkus tertawa. Sena memandang berkeliling, mengagumi interior studio yang disusun sedemikian apik.

"Nah, kalo lo tahu ini bisa jadi ladang duit, kenapa lo enggak pernah bilang, Yus, kalo lo juga nyewain studio?" tanya Sena ketika mengembalikan pandangan pada sang pemilik ruangan.

Yusran meringis pelan. Tidak menjawab. Bahkan setelah Izar menoleh demi meminta jawaban melalui sorot mata, Yusran justru mengalihkan pandang terlebih dahulu.

Membuat Izar seketika mengerti. Bahwa lagi-lagi, ialah yang menjadi alasan.

Tentu saja Yusran tidak memberi tahu mereka. Ia tidak ingin Izar mengetahui identitasnya. Setidaknya, tidak dengan cara yang semudah itu.

"Enggak ada gratisan," tegas Yusran lagi, memastikan. "Tapi kalo diskon dikit boleh, lah."

Ucapan Yusran disambut sorakan Bari. Sena hanya tertawa pendek sembari menggeleng sementara Izar menyunggingkan senyum basa-basi.

"Tapi ini tempatnya enak, Yus. Beneran." Sena bersuara. "Lokasi toko lo juga strategis."

Yusran mengangguk singkat. "Gue yang riset waktu bokap bilang mau diriin toko instrumen," pamernya, dengan nada bangga. "Studio ini juga gue yang ngedesain interiornya."

Terdengar suara Bari berdecak kagum. Lelaki itu menghampiri sang kawan, menepuk bahu Yusran diiringi satu senyum semringah. Di tempatnya, Izar justru berdiri diam. Aga dalam ingatannya adalah seorang anak manja yang suka bermain dan menimbulkan keributan. Aga lebih suka menyulitkan Irga dan kedua orang tuanya. Melihat bagaimana pembawaan dan perangai Yusran sekarang, Izar memiliki terkaan bahwa kepergian Irga-lah yang telah menimbulkan perubahan besar dalam diri lelaki itu. Perubahan sebesar itu biasanya ditimbulkan oleh luka yang dalam.

Luka yang cukup menciptakan duka seumur hidup.

"Diem aja lo, Zar," tegur Bari, dengan sikut yang mampir di rusuk sang kawan. Menyebabkan Izar menyuarakan kesakitan. "Gimana? Kalo mulai sekarang kita latihan di sini aja, lo oke, enggak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang