12. Memastikan

28 5 0
                                    

Kakak lelaki Yusran meninggal ketika Yusran berusia sembilan tahun. Kecelakaan.

Fakta itu terus berputar di dalam kepala Izar hingga ia merasa telinganya berdengung, menimbulkan pening. Selama ini, ada banyak kebetulan yang terjadi dalam hidupnya. Hal-hal yang membuat Izar merasa bahwa dunianya begitu sempit. Seperti tanpa sengaja bertemu seseorang yang ia kenal di tempat umum, menemukan fakta bahwa teman kuliahnya ternyata mengenal salah satu teman SMA-nya yang berkuliah di tempat lain, dikenali oleh seorang senior sejurusan yang rupanya adalah adik dari teman kakaknyaㅡhal-hal yang terlihat sederhana tapi sama sekali tidak memiliki penjelasan.

Hal-hal yang terjadi semata-mata karena telah ditakdirkan untuk terjadi.

Izar terbiasa hidup sambil menertawakan setiap kejadian seperti itu, setiap kebetulan. Tapi jika yang satu ini juga merupakan kebetulan seperti biasanya, mana bisa ia tertawa?

"Nanti lo turun di halte Cendekia, jalan dikit ke arah SMA 23. Deket situ di seberangnya ada ruko, yang deket gerbang kompleks gitu. Nah, ruko kedua dari ujung kanan, tuh, yang tulisannya Ramadirga Instrument. Keliatan, kok. Lumayan gede."

Begitu tadi pesan Bari kala Izar menanyakan alamat rumah Yusran. Ia bahkan tidak tahu bahwa lelaki itu, si bassist baru Rangkasa itu, tinggal cukup jauh dari studio tempat mereka biasa berlatih. Selama ini, Izar tidak begitu peduli dengan keberadaan Yusran. Terutama karena Yusran juga bersikap demikian padanya.

Jika kini ia berdiri canggung di depan sebuah rumah toko dengan papan besar bertuliskan Ramadirga Instrument di atas pintunya, apakah itu bentuk kepedulian?

Tidak.

Izar di sini hanya untuk memastikan. Ia perlu tahu mengapa belakangan ini, memori-memori tentang Aga selalu mendesaknya. Selalu memaksanya mengingat kembali. Jika dugaannya yang satu ini salahㅡjika kemiripan cerita itu hanya sebuah kebetulan lain yang ternyata bisa ia tertawakanㅡIzar memutuskan akan kembali mengubur memori tentang Aga. Di mana pun kini Aga berada, anak itu pasti telah hidup lebih baik. Jauh lebih baik daripada dulu, saat Izar meninggalkannya.

Berbekal keyakinan bahwa dugaannya pasti salah, Izar memantapkan langkah. Ia mendorong pintu kaca di depannya untuk kemudian memasuki toko instrumen itu. Hawa sejuk lekas menerpanya. Alunan musik instrumental klasik dalam volume rendah menyapa indra pendengarannya. Toko ini memiliki kesan menyenangkan. Izar tidak akan keberatan berlama-lama di sini meski tanpa alasan yang jelas.

"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?"

Sapaan ramah itu mengalihkan perhatian Izar yang tadi tengah sibuk menjelajahi setiap sudut dengan matanya. Lelaki itu menoleh, mencari sumber suara yang baru saja menegurnya. Kala matanya menangkap sosok seorang wanita paruh baya tengah tersenyum ramah ke arahnya, Izar merasa ingin menghilang di detik yang sama.

Wanita itu.

Wajahnya sudah jauh menua dari yang terakhir ia ingat. Namun, jelas, merupakan orang yang sama.

Menghalau keinginan terkuatnya untuk lari dan bersembunyi, Izar memutuskan bahwa hari ini ia harus menjadi seorang pemberani. Mungkin, inilah alasan semua memori lama itu mendadak kembali menghantuinya. Agar ia bisa menyelesaikan. Agar ia bisa menebus dosa.

"Siang, Tante," sapa Izar sopan, dengan senyum tersungging. Sorotnya kini berubah, menyiratkan kerinduan. "Tante masih inget aku, enggak?"

Raut wanita di hadapan Izar berubah bingung. Senyumnya masih terpeta, meski dari sorot matanya, jelas terlihat ia tengah berusaha mengingat.

"Siapa, ya?" tanya wanita itu akhirnya, dengan nada hati-hati yang seolah tidak ingin menyinggung.

"Aku Izar, Tante. Tetangga di Cirebon dulu, temen mainnya Aga."

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang