1. Like a Post Break-Up Syndrome

120 9 0
                                    

"Woi, Junizar! Sumpah demi Tuhan, lo mau bangun jam berapa, sih?"

Izar mengerang setengah sadar. Terjaga akibat omelan Bari sudah menjadi rutinitasnya belakangan ini. Tidak rela, lelaki itu memaksa diri membuka mata. Menggerutu dalam hati tentang mengapa Bari tidak juga mau memahami kalau ia baru saja tidur selepas subuh tadi.

"Bangun, Pemalas!" seru Bari lagi. Lelaki yang lebih muda satu tahun darinya itu kini berdiri di ambang pintu kamar. Izar menggeliat malas, memandangi sosok Bari hanya dengan sebelah mata terbuka.

"Mau ke mana lo? Rapi amat," tegur Izar kala menyadari penampilan rekannya.

"Ngampus, lah," dengkus Bari sambil menggulung lengan kemejanya. "Gue bukan pengangguran kayak lo."

"Sialan!"

Bari tidak menanggapi. Ia lebih memilih melenggang pergi, meninggalkan Izar yang masih bersusah payah mengutuhkan nyawanya di tempat tidur.

Alih-alih lekas bangkit, Izar mengambil waktu menatap langit-langit ruangan. Ini bukan kamarnya. Ini kamar Sena yang semalam ia tempati karena si empunya tidak kembali ke kontrakan. Ada pekerjaan, begitu alasan Sena.

Dipikir-pikir, kehidupan Izar memang yang paling menyedihkan. Setelah Swaratama batal mengontrak Rangkasa nyaris sebulan lalu, hanya Izar yang paling kehilangan arah. Bari memilih fokus melanjutkan skripsinya yang sempat tertunda. Sena berkutat dengan komunitas seni dan studio fotonya.

Sementara Fado,

Sampai hari ini, lelaki itu masih tidak berjejak. Seolah inti bumi telah menelannya bulat-bulat. Tanpa sisa. Seolah, lelaki bernama Fado Nigara Gamala itu hanya imajinasi Izar yang selama ini tidak nyata.

"Bar, Wasen udah balik?" tanya Izar setengah berteriak. Ia terlalu malas untuk bangun. Apalagi kala kuapnya masih menggebu untuk dilepaskan satu per satu.

"Udah. Nih, lagi ngopi di depan." Bari balas berteriak, entah dari mana.

Izar manggut-manggut. Fokusnya kembali pada langit-langit kamar. Pada sisa-sisa kebocoran yang membentuk pola abstrak berwarna kecokelatan di plafon. Seabstrak isi kepalanya saat ini.

Tangan Izar meraih ponsel di sisi bantal untuk kemudian menyalakan layarnya. Pukul sebelas lewat tujuh. Sudah siang. Hal pertama selain penunjuk waktu yang Izar periksa di ponselnya adalah notifikasi. Berharap satu nama akan muncul. Satu nama yang ia tunggu sejak sebulan lalu.

Tidak ada apa-apa.

Sepulang dari kafe setelah pembatalan kontrak waktu itu, Izar mengunjungi rumah Fado. Berharap bisa menyalurkan amarah dan kekecewaan. Tapi yang ia temui hanya rumah kosong. Tanpa penghuni. Satpam di kompleks perumahan Fado hanya bilang, rumah itu sudah kosong sejak semalam. Entah ke mana para penghuninya, tidak ada yang tahu. Kadang, di saat-saat terendahnya, Izar kerap bertanya-tanya, mengapa Fado memilih menghilang tanpa memberi penjelasan? Bukankah mereka telah saling mengenal cukup lama untuk bisa berbagi segalanya?

Izar mengenal Fado sejak bangku SMA. Berteman dekat nyaris tujuh tahun lamanya. Ia dan Fado berbagi suka, duka, cerita, bahkan mimpi yang sama. Mereka-lah dua pilar utama, pendiri Rangkasa.

Kini tidak lagi.

Entah untuk alasan apa, Fado lebih memilih mundur. Membiarkan Izar memikul cita-cita besarnya seorang diri.

Sendirian.

Setelah kontrak yang batal itu, Bari dan Sena seolah enggan meneruskan impian. Ketiganya masih akrab, Izar sering kali menginap di kontrakan dua rekannya itu dengan alasan tidak suka kesepian di indekosnya. Bari dan Sena menerima Izar dengan senang hati. Mereka membiarkan Izar menyamankan diri, menempati sudut mana saja di rumah sewa kecil itu. Tapi mereka tidak pernah lagi membahas musik.

"Latihan, yuk?" ajak Izar, suatu kali.

Tidak ada persetujuan. Sena bilang ia sedang punya pekerjaan. Sementara Bari hanya menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar. Yang jelas, mereka berakhir tidak pernah lagi menyusun harmoni. Seolah hanya Izar yang masih menginginkan Rangkasa. Yang belum menyerah seutuhnya.

Izar sadar betul ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan dua rekannya yang tersisa. Tiga hari setelah pembatalan kontrak dengan Swaratama, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Izar. Dari nomor tidak dikenal. Dengan kode luar negeri.

Isinya pendek. Berisi tidak sampai tiga kalimat berbunyi: "Zar, ini Fado. Titip Rangkasa. Sori."

Kala Izar mencoba melakukan panggilan, nomor tersebut tidak lagi dapat dihubungi.

"Mungkin Fado udah enggak minat nge-band, Zar. Bisa aja dia sama keluarganya emang mutusin pindah ke luar negeri. Fado hidupnya udah enak, buat apa capek-capek jadi anak band," cetus Bari pedas ketika Izar menunjukkan pesan yang ia terima.

Dan meski Izar tidak menerima tuduhan itu dijatuhkan atas kawan dekatnya, ia menyadari betapa ia tidak memiliki argumen untuk membela.

Maka kegusaran itu mengendap di antara mereka. Menjadi pengganjal yang memuakkan. Membatasi Izar dari Bari dan Sena tiap kali ia mencoba membicarakan Rangkasa. Mungkin, bagi kedua rekannya itu, Rangkasa memang sudah mati.

Tapi bagi Izar, Rangkasa masih ada. Masih menjadi segenggam harap yang ia jadikan tumpuan. Yang ia anggap tujuan.

Meski kini, ia harus meniti langkah seorang diri.




***




"Enggak jadi ngampus lo?" tanya Izar ketika menemukan sosok Bari tengah duduk di bangku teras.

Yang ditanya hanya menoleh sekilas, sebelum mengembalikan fokus pada layar ponsel di tangan sembari membalas, "Jadwal bimbingan gue mundur. Nanti, jam dua."

"Oh."

Lalu hening.

Izar membenahi tali yang tersampir di bahu kanannya, juga posisi case gitar di balik punggungnya. Gerakan itu rupanya menarik perhatian Bari, membuat lelaki itu menoleh penuh ke arah Izar.

"Mau ke mana lo?" Bari bersuara, menatap sangsi case hitam di bahu Izar.

"Studio." Izar menyahut santai tanpa mengalihkan pandang. Tidak menyadari sorot Bari yang mengunci sosoknya.

"Lo mau ke studio?"

Sesuatu dalam nada yang Bari gunakan berhasil membuat Izar mengangkat kepala. Tatap keduanya bertemu. Izar mengangguk, mengiakan.

Ada embus napas yang nyaris tidak terdengar, yang menyerupai dengkusan, sebelum Bari berujar, "Zar, don't you think it's time to let go?"

Teras terasa lengang.

Untuk sesaat, Izar merasakan keinginan meluapkan amarah. Melepaskan, kata Bari? Melepaskan apa? Apa yang harus ia lepaskan? Mana bisa Izar melepaskan satu-satunya tempat ia bergantung? Satu-satunya harapan yang membantunya tetap hidup sampai hari ini?

Bagi Izar, melepaskan Rangkasa sama saja dengan mati. Ia tidak ingin mati di usia muda. Izar belum ingin mati sekarang.

"Bar, I don't want to talk about this, okay?"

Bari mengalah. Lelaki itu memutus kontak mata di antara mereka, membuang pandang pada permukaan meja teras.

"Oke, but answer this," tutur Bari, mengembalikan sorot pada Izar. "Lo mau ngapain ke studio?"

Izar memiringkan kepala, seolah berpikir. "So-so," katanya. "Cari inspirasi, ngulik, nyoba nulis lagu, working on things." Ia lantas mengangkat bahu. "You know, Bar. I still don't think Rangkasa is something we can easily throw off like this. There's no time to let go. I'm not gonna let it go."

Bari tidak segera menanggapi. Dan Izar sedang tidak ingin mendengar cela. Maka sebelum sang kawan sempat menyuarakan hal lain, lelaki itu bergegas meneruskan langkah. Melewati Bari tanpa mengucapkan salam perpisahan apa pun lagi.

Di tempatnya, Bari mendengkus.

"Pathetic," gumamnya pada angin.

Bari tidak memperhitungkan bahwa beberapa meter dari sana, Izar masih bisa mendengar suaranya.





***

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang