6. Alasan Terkuat

52 6 2
                                    

"Wah!"

Petikan gitar Izar terhenti. Anak lelaki itu menoleh pada si pendatang yang telah mengganggu waktunyaㅡseorang anak laki-laki lain yang seperti seusia dengannya.

"Lo bisa main gitar?"

Nada kagum dan bersemangat si anak laki-laki membuat Izar ingin membusungkan dada dengan sombong. Setengah menahan diri, kepalanya terangguk. "Udah bisa dari masih kelas tiga."

Anak laki-laki asing tadi membulatkan matanya. "Sekarang kelas berapa?"

"Lima."

"Wah!"

Sedikit pujian lagi, Izar mungkin akan menembus langit-langit pos ronda yang tengah ia duduki.

"Ajarin gue!" pinta si anak laki-laki. "Sebenernya abang gue juga jago. Tapi tiap gue minta ajarin, dia bilang gue masih bocah, enggak perlu belajar ginian," gerutunya kemudian. Menyebabkan Izar mendengkus tertawa.

"Gue, sih, mau aja ngajarin," sahut Izar. Rautnya dibuat secongkak mungkin. "Tapi lo punya apa?"

Ekspresi si anak laki-laki berubah, sinar matanya meredup. Dengan sorot mata terarah acak, kedua tangannya mulai merogoh saku, seolah mencari sesuatu.

Lalu, ia menarik keluar dua buah koin bernilai lima ratus rupiah dari sana.

"Cuma ada ini ..." katanya, terdengar mengeluh. Serupa tengah bicara pada dirinya sendiri.

Di depan si anak laki-laki, Izar menahan tawa. Ia tidak benar-benar mengharapkan imbalan. Namun, permainan ini mulai terasa menarik. Jadi, ia mengulurkan tangan dengan telapak menghadap ke atas, meminta.

Memahami maksud Izar, anak laki-laki tadi memindahtangankan dua buah koin miliknya. Sedikit murung, namun tidak membantah.

"Lumayan," ujar Izar. "Kita belajar mulai besok. Di sini," lanjutnya, berlagak tegas seperti guru. "Rumah lo deket sini, kan?"

Sinar mata itu kembali. Bibir si anak laki-laki merekah, membentuk senyum lebar. Kepalanya terangguk. "Rumah gue di Cemara V. Yang paling ujung, yang ada pohon belimbing."

Alis Izar terangkat samar. Ia mengingat Cemara V sebagai tulisan yang tertera di plang nama jalan yang berjarak dua gang dari gang rumahnya sendiri. Itu tidak jauh. Hanya beberapa meter dari sini. Tapi seingatnya, rumah di ujung Cemara V....

"Lo tinggal di sini baru?"

Si anak laki-laki mengangguk bersemangat. Mulutnya terbuka seolah hendak bicara. Namun, alih-alih suara khas anak-anak yang sejak tadi ia dengar, yang mengusik telinga Izar justru suara bernada tinggi yang sangat ia kenali.

Suara ... Bari?

"Hah, anjing!"

Izar memaksa matanya terbuka. Terasa berat. Dan menyakitkan kala sinar matahari dari jendela menusuk langsung ke matanya.

"Apaan, dah, kok jadi berubah?"

Suara Bari lagi. Dalam keadaan masih memejam, Izar mengeluh. Sungguh sebuah pagi yang sialan karena ia harus terbangun akibat umpatan Bari. Memutar tubuhnya menghadap tembok, Izar menutup sebelah telinganya dengan satu tangan. Berharap omelan panjang lebar Bari bisa terhalau dengan cara itu.

"Sen, masa si Yusran tiba-tiba enggak mau?"

Suara Bari meninggi, membuat Izar menyerah. Geram, lelaki itu lantas bangkit ke posisi duduk. Tangannya mengacak rambut. Diam-diam menyimpan dendam pada Bari yang sudah membuatnya terjaga. Padahal tadi ia sedang bermimpi tentangㅡ

Tunggu.

Ia bermimpi tentang apa?

Rasa kesal pada Bari lenyap seketika. Digantikan tanda tanya yang memenuhi kepala. Izar terdiam, berusaha mengingat mimpi apa yang tadi menemani tidurnya. Samar. Semuanya samar. Yang ia ingat hanya gitar, pohon cemara, koin lima ratus rupiah....

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang