9. Idealism Eats Brain

39 5 0
                                    

Izar punya tiga orang kakak perempuan. Kakak pertamanya, AlsavitaㅡKak Alsaㅡberusia dua belas tahun ketika Izar lahir. Jarak usia yang cukup jauh tidak membuat hubungan keduanya renggang. Alsa sudah bekerja kala Izar masih duduk di bangku sekolah dasar, membuat ia menjadi kakak favorit Izar karena sering kali memberi si bungsu tambahan uang saku.

Kakak kedua IzarㅡAlyasitaㅡusianya delapan tahun saat ia mendapatkan seorang adik laki-laki. Dalam rekam ingatan Izar, Alya adalah sosok yang selalu membersamainya menyenandungkan lagu di masa kecilnya dulu. Kadang kala, ayah mereka akan duduk memainkan gitar sementara Alya dan Izar bernyanyi bergantian. Masa kecil yang manis.

Putri ketiga dalam keluarga Izar, sekaligus kakak terakhir dengan rentang usia yang paling dekat dengannya, adalah AlnaㅡAlnadita. Empat bulan setelah ulang tahunnya yang kelima, Alna resmi menjadi seorang kakak. Awalnya, ia dan Izar tidak terlalu dekat. Ketika Alna baru masuk sekolah dasar, sang ibu masih begitu sibuk mengurus Izar bayi. Ketika teman-teman Alna pergi dan pulang sekolah dengan diantar dan dijemput ibu masing-masing, Alna hanya berangkat dan pulang sekolah bersama Alya. Rasa cemburu terhadap Izar sempat menguasai gadis kecil itu. Hingga pada akhirnya, Izar menjadi satu-satunya saudara yang Alna miliki di rumah saat kakak-kakak mereka telah merantau menempuh pendidikan tinggi. Menjadikan gadis itu justru yang paling dekat dengan Izar hingga saat ini.

"Jam berapa dari Gambir?" tanya Alna sembari mempersilakan sang adik memasuki rumahnya. Kakak terakhir Izar itu baru menikah sekitar dua tahun yang lalu dan belum memiliki anak. Izar cukup sering menginap di rumahnya, terutama setelah sang ibu berpulang setahun lalu.

"Enggak inget," balas Izar kala menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. "Sore, lah, pokoknya."

"Gue udah was-was lo bakal nyasar lagi, kayak waktu itu."

Si bungsu hanya tertawa hambar. Sekitar sebulan lalu, beberapa hari setelah Fado menghilang dan berita kekacauan hidupnya sampai ke telinga para kakak, Alna memintanya segera datang ke Bandung. Perempuan itu bahkan hampir mengirim suaminya untuk menjemput Izar di Jakarta, kalau saja Izar tidak menolak dengan keras dan bersumpah bahwa ia akan berangkat ke Bandung hari itu juga.

Ia memang segera berangkat di hari yang sama.

Hanya saja, Izar dengan sengaja memilih trasportasi jalur darat lain selain kereta. Izar memilih menggunakan bus antarkota jurusan Depok--Bandung. Membuatnya tiba di sisi lain kota Bandung yang tidak ia kenaliㅡmengingat selama ini, lelaki itu hanya pernah mengunjungi Bandung dengan kereta api. Keadaan bertambah buruk kala Izar menyadari ponselnya dalam keadaan habis daya dan tidak bisa memberi kabar. Tanpa Izar tahu, kakak iparnya yang menunggu di Stasiun Bandung terpaksa pulang setelah beberapa jam menunggu dalam ketidakpastian.

Ketika Izar akhirnya tiba di rumah Alna, perempuan itu menyambut dengan air mata yang mengalir deras. Alna sempat mengira hal-hal buruk telah menimpa adiknyaㅡatau justru, sang adik telah melakukan hal-hal buruk. Untung saja, semua dugaannya tidak terjadi.

"Enggak. Kereta aja, lah. Duit transport-nya bisa di-reimburse ini," cengir Izar, lalu mengusap kasar wajahnya cukup lama. "Ada apaan?"

Tidak ada jawaban. Alna tidak segera membalas. Kala Izar menurunkan tangan, ia menemukan sorot aneh sang kakak tengah mengarah padanya. Ini bukan yang pertama. Belakangan, Izar sering menemukan orang-orang memberinya tatapan itu. Tatapan kasihan.

"Apa?" tanya Izar lagi, nadanya nyaris tersinggung.

Alna menggeleng. "Kangen aja sama lo. Udah lama enggak ngobrol."

Izar lantas mendengkus keras.

"Mas Gana mana?" tanyanya kemudian, menyadari rumah Alna terasa lebih sepi dari biasanya dan ia belum melihat sosok kakak iparnya sejak tadi.

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang