8. His Little Secret

53 5 0
                                    

"Metik gitar, tuh, pake feeling, Ga," tegur Izar, menghentikan permainan si anak laki-laki di hadapannya. Anak laki-laki itu mendengkus, terlihat kesal. Ini kali ketiga Izar mengajari anak laki-laki itu memainkan gitar. Dan Izar harus mengakui, anak laki-laki yang hanya satu tahun lebih muda darinya itu termasuk cepat belajar.

"Omongan lo sama persis kayak Bang Irga," protes si anak laki-laki, membuat Izar terpaksa menyembunyikan tawa. "Gue tahu. Tapi, kan, gue butuh penyesuaian. Sabar, dong!"

Kali ini, Izar menyerah. Ia melepaskan gelak. Raut si anak laki-laki terlihat tersinggung. Tapi rangkulan brutal Izar di lehernya melenyapkan kegusaran itu. Mereka berakhir tertawa bersama, sangat akrab.

"Lo termasuk cepet belajar, sih, Ga," ucap Izar setelah melepaskan leher sang kawan. "Gue dulu belajar sendiri, seminggu baru bisa ngegenjreng yang bener."

Ekspresi si anak laki-laki kembali berubah. Kali ini tampak semringah. Sinar matanya menjadi cerah. "Ceritain ke gue! Kenapa lo tertarik belajar gitar? Terus, lo beneran belajar sendiri tanpa ada yang ngajarin?"

Izar tersenyum lebar. Sesuatu dalam diri anak laki-laki ini begitu menarik. Membawanya ke dalam pusaran semangat yang menggebu, serupa percikan api yang tidak pernah padam.

"Bokap gue suka musik. Tapi tiap gue minta diajarin dan beliau ngajarin gue, ujung-ujungnya ribut soalnya kata bokap, gue salah mulu," cerita Izar, sembari menguar tawa. "Abis itu, gue males, lah. Daripada gue kesel dan bokap darah tinggi, mending kita musikan sendiri-sendiri aja," sambungnya.

Di hadapan Izar, si anak laki-laki tidak tertawa. Malahan, ia memandangi Izar dengan tatap takjub. Matanya berbinar.

"Pantes jago," cibir anak laki-laki itu. "Ternyata genetik."

Izar tertawa lepas. "Bang Irga bukannya belajar sendiri juga?"

Yang ditanya lantas berdecak. "Iya. Bang Irga sama Ayah jago instrumen. Bunda suaranya bagus. Gue doang yang beda."

"Lo juga sama," hibur Izar, menyengir. "Cuma belum terasah aja."

Itu bukan kebohongan. Izar bersungguh-sungguh. Menurutnya, si anak laki-laki teman barunya ini bahkan memiliki bakat yang lebih mumpuni dibanding dirinya. Izar hanya beruntung karena bisa memulai sedikit lebih awal.

Tapi anak laki-laki di hadapannya hanya mendengkus. Seolah tidak memercayai ucapan Izar barusan. Ia nyaris melontarkan hal lain kala suara panggilan seseorang membuat mereka berdua menoleh bersamaan.

"Aga!"

Anak laki-laki di hadapan Izar melebarkan senyum lalu melambaikan tangan. "Bang Irga!"

"Bandel banget bocah! Dicariin ke mana-mana enggak tahunya di sini! Woy!"

"Woy!"

"Woy, Zar! Bangun!"

Izar tersentak. Secara refleks, ia menurunkan lengan yang sejak tadi menutupi matanya. Setelah mengumpulkan kesadaran, Izar menemukan sosok Bari, Sena dan Yusran berdiri mengelilinginya, menatap heran.

"Udah lama lo? Pules banget tidur," tegur Sena sambil lalu sembari mengeluarkan gitarnya dari case.

Izar bangkit ke posisi duduk. Entah bagaimana, tatapannya terkunci pada punggung Yusran yang bergerak menjauhinya kala lelaki itu berjongkok dan mencolokkan kabel amplifier pada bass-nya.

Lambat, Izar mengerjap. Ia merasa baru saja memimpikan sesuatu yang penting namun tidak berhasil mengingat dengan sempurna. Perlahan, lelaki itu memandang berkeliling. Ia berada di sudut studio. Izar ingat, ia sengaja datang ke studio lebih awal dari yang lain. Lalu setelah memainkan beberapa nada acak dari gitarnya dan membuat catatan-catatan berantakan, rasa kantuk mulai menyergap. Membuat kesadarannya hilang hingga beberapa saat lalu.

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang