2. Coping Mechanism

92 6 0
                                    

Kala terdiam di ruang studio seorang diri, Izar mulai merasa Bari mungkin ada benarnya.

Dirinya memang menyedihkan.

Tapi, jika Fado memang sosok yang sepenting ituㅡbukan hanya bagi Rangkasa, tapi jugaㅡbaginya, apakah Izar berlebihan?

"Bawa aja, Zar," celetuk Fado suatu kali, ketika mendapati Izar terpaku menatapi gitar miliknya sambil memetik asal beberapa senar. "Lo pinjem dulu juga gue enggak masalah."

Izar mengalihkan tatap sejenak lalu menggeleng mantap. "Gue enggak main musik."

Fado memberi kawannya sorot sangsi. Sesaat. Sebelum ia berakhir mengangkat bahu. "Sayang banget. Padahal suara lo bagus. Gue pikir lo emang suka nyanyi dan suka musik."

Saat itu, keduanya belum dekat. Status mereka hanya sebatas teman sekelas yang kebetulan terlibat dalam satu kelompok tugas. Tahun ajaran baru bahkan belum genap tiga bulan. Izar dan Fado hanya dua siswa kelas sepuluh yang baru saling mengenal dan belum terlalu akrab.

Jadi, ucapan Fado barusan cukup membuat Izar menoleh penuh, dengan raut bertanya.

"Apa?" tanyanya memastikan, seolah tadi ia salah dengar. "Tadi lo ngomong apa?"

Sekali lagi, Fado mengangkat bahu. "Suara lo bagus. Gue pernah denger pas MOS kemaren, waktu lo dikerjain senior, disuruh mimpin nyanyi di pinggir lapangan pas lagi minta tanda tangan."

Izar mengeluh dalam hati. Ia sudah berusaha menyembunyikan diri. Tapi sepertinya, menolak takdir memang tidak semudah itu, ya?

Jadi, dalam usaha terakhirnya berpura-pura bodoh, lelaki itu tertawa hambar. "Sok-sokan lo, emang ngerti suara bagus?"

Ganti Fado yang tergelak. Kali ini, bukan tawa hampa seperti milik Izar. "Nyokap gue guru vokal. Mantan penyanyi juga, kalo lo lupa."

Benar.

Dan sialan. Maki Izar dalam hati.

Tentu saja ia tahu. Gosip-gosip menyebar hampir sama cepatnya dengan wabah penyakit. Sejak masa orientasi, beberapa nama sering kali menjadi objek bisik-bisik berbagai pihak. Salah satunya milik lelaki yang kini duduk bersandar di hadapan Izar.

Fado Nigara Gamala. Putra bungsu sang pengacara terkenal, Hanjaya Hadiwirdja. Anak kedua Rafina Nismarani, mantan penyanyi wanita papan atas yang telah beralih profesi menjadi pelatih vokal keluarga pejabat. Desas-desus yang terdengar di seantero sekolah itu membawa Izar pada pengetahuan yang sebenarnya tidak terlalu ia butuhkan. Dan puncaknya, kala salah satu teman sekelasnya menawarkan jabat tangan sembari mengucapkan "Fado." sebagai namaㅡkhas orang hendak berkenalanㅡIzar terpaksa membatin, "Oh, ini yang namanya Fado."

Bukan hal buruk.

Fado pribadi yang baik.

Anak itu bukan tipe yang suka memanfaatkan nama besar dan ketenaran keluarganya. Fado Nigara cenderung tenang di tengah keramaian. Ia berbaur dengan baik bersama teman-teman sekelasnya. Tertawa bersama, menyelesaikan tugas selayaknya murid SMA, pun sesekali turut serta menyalin jawaban tugas orang lain lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi.

Izar tidak punya keluhan tentang teman sekelasnya yang satu itu.

Bahkan jika Fado yang dikenalnya ini tidak berasal dari keluarga kaya dan populer, Izar yakin tidak akan ada yang menolak berteman dengannya.

Tapi hari ini, Fado mulai terasa menjengkelkan.

Mengapa lelaki itu mendadak mempertanyakan sesuatu yang lebih sulit dari ujian seleksi masuk sekolah?

"Ya, kalo lo enggak sadar, gue kasih tahu aja. Suara lo bagus. Lo mungkin punya bakat musik?"

Suara Fado terdengar lagi. Nadanya seperti sangsi, serupa hanya sedang menawarkan opsi. Tapi bagi Izar, terdengar menyebalkan.

Assembly PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang