Sena dan Arin berakhir di warung nasi goreng kambing yang terkenal paling enak di kota mereka, meskipun antriannya kerap kali memakan waktu, mereka rela menunggu karena rasanya benar-benar worth it untuk ditunggu.
Dua gelas teh tawar hangat sudah ada di meja, sambil menunggu nasi goreng jadi mereka berdua nyemilin kerupuk nasi goreng.
"Dering mulu itu hapenya." Kata Arin saat ponsel Sena bergetar. Sena membalik ponselnya karena dia malas menanggapi nomor nomor tidak dikenal itu.
"Biasa deh, ada yang ke UGD puskesmas sok nyari obat dan ujung ujungnya minta nomor gua katanya mau buat konsul." Jelas Sena, tampak malas.
"The power of good looking."
"Yess. The power of good looking."
"But, Sen, di mata gua lu sebenernya nggak seberubah itu. Dulu pas SMA lu juga cakep kok. Bedanya cuman kulit lu gelap, kusam sama jerawatan. Tapi bentuk wajah dan cara lu senyum masih sama. Aneh gak sih, kalo orang yang dulu ngata ngatain lu terus sekarang ngejar ngejar lu cuman karena lu jadi lebih putih? Gak make sense."
"Biarin aja. Toh gua ngerawat diri bukan buat dikejar kejar cowok. Not gonna lie hidup ngandelin otak doang gak gampang. Kerja apapun pasti salah satu syaratnya ya harus berpenampilan menarik kan, Rin."
Arin mengangguk lesu. Padahal Arin sudah cantik dari sananya. Tapi... entahlah, kadang manusia masih suka merasa kalo dirinya nggak cantik dan kurang ini itu.
"Oiya katanya mau cerita soal murid lu. Kenapa, tuh?"
"Oh bener! Lu tau nggak sih, kalo makin kesini, dunia yang kita tinggali itu makin serem? Bahkan anak umur 6 tahun, masih kelas 1 SD, dia udah di tekan sama keluarganya, gua nggak tau pasti, tapi anak itu selalu ungkit ungkit dia gak boleh bikin keluarganya malu. MASALAHNYA TUH KAN.... KAYAK... APA YA... ANAK SEKECIL ITU BISA MEMALUKAN APA GITU DI KELUARGANYA? GAK MASUK AKAL KAN?" Arin tampak begitu bersemangat menceritakan masalah ini. Sementara Sena, dia terus memakan kerupuk nasi goreng sambil fokus mendengarkan.
"Keluarga orang kaya dia?"
"I think so, bokapnya dokter. Super sibuk. Tapi cakep."
"Idih emang bapak bapak bisa secakep apaan, ARIIIN?"
"DEMI TUHAN. Mana gua kaga ada fotonya lagi. Pokonya cakeeeep namanya Jae... Jaehyun? Iya, if I'm not mistaken, namanya Jaehyun."
Sena langsuk terbatuk begitu mendengar nama itu disebut. Gimana enggak? Sena adil kelas Jaehyun dan Jaehyun adalah cinta pertama Sena ㅡsebelum kasus itu.
"Weh santai makannya, minum dulu, minum."
Sena meminum teh tawar yang disodorkan Arin sampai tenggorokannya menjadi lebih nyaman. "Rin, lu tau nggak dia siapa?"
"Dokter?"
"DIA cowok yang beberapa kali disuruh keluar sama gua sama orang tua gua dan ehm, orang tu dia juga."
"HAH? YANG KU CERITAIN CRUSH SMA LU ITU?"
Sena mengangguk. Wajahnya memucat entah karena apa.
"Wow, so lucky of you. Tapi, yang bikin lu nolak tuh karena keluarga cowok itu strict gitu ya?"
"Bukan. Tapi istrinya dulu."
"Why?"
"She suffered her life alone. Lu inget pernah ada kasus kakak kelas gua hamil gak? Itu kak Hana. Pacar cowok itu. Pas tau ceweknya hamil cowok itu pura pura seolah bukan dia pelakuanya. And he has good image. Jadi ya gitu, banyak yang ngehate kak Hana. Dikiranya dia cewek nakal lah, apa lah. Sementara sebenernya dia baik banget, ada satu kebaikan dia yang gak bakal gua lupain selamanya, pas ada yang ngebully gua dia santai ngebelain gua. Err, mungkin bukan ngebelain juga sih, tapi dia bukan tipe orang yang mau spread hate. Bahkan pas kak Jaehyun begitu aja dia nutupin image kak Jaehyun dari semua orang. Sekarang, pas kak Jaehyun udah punya kerjaan dan Woojae juga udah jadi anak pinter, gimana bisa gua dateng dan masuk ke keluarga yang udah bahagia itu? Gua nggak mau. Sesuka apapun gua sama kak Jaehyun, gua nggak mau masuk kehidupannya dan jadi bagian dari keluarganya."
"Sen, i know it's hard."
"Iya. It's hard. Gue nggak mau dan nggak terima Kak Hana dilupain gitu aja sama suami... dan terutama anaknya. Woojae kecil banget pas dia meninggal secara tiba-tiba waktu itu, gua khawatir memori di kepala Woojae soal kak Hana bakalan ilang gitu aja. It's not fair, buat hidup kak Hana dan perjuangan kak Hana."
🌙
Karena Jaehyun belum pulang kerja, hari ini Woojae di rumahnya ditemani Herin. Setidaknya sebulan sekali setiap weekend Herin dan Mamanya akan selalu pergi ke rumah Jaehyun untuk menjaga dan menemani Woojae.
Banyak hal yang bisa mereka lakukan, tapi sore ini, karena ada tugas seni budaya di sekolahnya, Herin dan Mamanya menemani Woojae pergi ke Mall untuk membeli alat-alat kerajinan tangan. Ibu guru menyuruh siswa laki-laki membuat perahu atau mobil dari kayu sementara anak perempuan disuruh membuat boneka dari kain flanel. Tujuan kegiatan ini adalah mendekatkan anak dengan orang tuanya di akhir pekan. Meskipun mggak melakukan bersama Jaehyun, Woojae tetap senang.
Di Mall mereka nggak hanya menuju satu tempat. Mereka pergi ke timezone, membeli mainan baru untuk Woojae, membeli pakaian baru, juga membeli beraneka makanan enak.
Keluarga Hana bukan keluarga yang bisa dibilang sangat kaya, mereka ada di kelas menengah. Namun kalau ditanya keluarga mana yang paling membuatnya bahagia, Woojae akan jujur kalau keluarga dari Mamanya lah yang membuatnya merasa sangat dicintai di dunia ini.
"WOOJAE, liat ada baju lucu. Cocok buat Woojae." Herin antusias melihat pakaian lucu yang terpajang di lemari kaca. Padahal di tangannya sudah ada banyak kantong plastik berisi belanjaan untuk Woojae.
"Kan udah banyak tante?"
"Gapapa, yang begitu belom punya kan Woojae?"
"Nenek, udah dong, bilangin ke tante Herin Woojae nggak mau belanja lagi. Pegel tauu."
"Ih Woojae, satu deh, janji satu lagi terus beli mainan sama beli snack buat simpenan Woojae."
"Fyuuuuh." Woojae menghembuskan napasnya panjang.
"Mau gendong aja?" Tawar Dara ㅡmama Hana yang juga neneknya Woojae.
"Nenek emangnya nggak pegel?"
"Kuat dong. Nenek kan rajin minum susu."
"Iya deh, mau deh. Woojae capek."
Mereka bertiga bersenang-senang secukupnya lalu segera pulang untuk mengerjakan tugas rumah Woojae.
🌙
Sementara itu di kediaman bapak Taeyong dan Ibu Jennie.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat 5 menit. Disaat sepasang suami istri itu mulai tertidur pulas, ada ketukan di pintunya.
"Mamah, ini Jinsu."
Jennie bangun, mengucek kedua matanya malas kemudian bergegas membukakan pintu kamarnya untuk Jinsu. Jennie khawatir Jinsu mimpi buruk.
"Kok masih seger aja? Belom tidur kamu?" Tanya Jennie sambil jongkok.
Jinsu menggelengkan kepalanya. "Mah, Jinsu lupa ngomong. Besok suruh ngumpulin kerajinan bikin perahu dari kayu. Kalo dicat ada nilai plusnya."
"Jinsu... kenapa baru ngomong sekarang?"
"Yailah, malah ngegas. Namanya juga baru inget, mah."
"Pah, pukulin anakmu, Pah." Jennie frustasi.
"Ya Tuhan kenapa Mama Jinsu masih hidup sih? Jinsu iri sama Woojae."
"HEH, SEMBARANGAN!!!"
"Jangan kabur kamu. Bukan cuman kamu yang iri sama Woojae, Mama juga iri punya anak kayak Woojae!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pregnancy 2 ; where's the dandelion?
Fanfiction"Han, kalo aku bilang hidup tanpa kamu itu berat. Kamu bakal kembali nggak?" Cindereyna, 2O21