[15] Mulai lelah mengalah

735 74 4
                                    




Happy reading


Malam ini Jeno sangat sulit untuk tertidur, dia juga merasakan haus di tenggorokannya. Jeno menuruni anak tangga, berniat menuju dapur untuk mengambil air putih. Setelah mendapatkan segelas air putih Jeno terduduk di sofa ruang keluarga untuk meneguk terlebih dahulu air putih itu. Jeno meneguknya dengan semangat, saat meneguk mata Jeno melirik ke arah sekitar, sampai akhirnya dia melihat sesuatu di atas dinding ruang keluarga dekat televisi.

Jeno menyudahi meneguk air putihnya, lalu ia berdiri dan menghampiri sesuatu yang ia lihat itu. Setelah tepat di depannya, Jeno memandangi sesuatu itu.

Di atas dinding ruang keluarga itu terdapat tiga bingkai poto dengan ukuran cukup besar berjajar. Isi dari bingkai itu berisikan poto mereka saat berlibur di pantai waktu itu. Di tengah adalah poto mereka bersama yang di ambil lalu di samping kiri adalah poto Aya dengan Doyoung yang di ambil oleh Jaemin, dan di samping kanan adalah poto Jeno dengan Jaemin yang sedang saling merangkul dan tersenyum di ambil oleh sang Bunda.

Dengan tiba-tiba senyuman tipis terukir dari sudut bibir Jeno. Anehnya, dari pada timbul rasa tak suka dia lebih merasa lucu melihat poto-poto itu. Dia yakin pasti Bundanya yang memasang poto-poto itu, karena waktu itu Aya sempat berkata akan mencetak lalu memajangnya.

Lalu pandangan Jeno terfokus ke arah poto dirinya dengan Jaemin. Dia menatap lekat poto itu. Terlihat senyuman Jaemin yang lebar dan manis, sangat tulus dan tidak ada paksaan. Lalu ia melihat ke arah potret dirinya. Tidak berbeda, dia juga melihat senyuman yang lebar dan terlihat bahagia dari dirinya, walau sedikit terlihat kaku. Karena Jeno sangat menyadari saat itu dia telah memberi senyuman terpaksanya. Jeno tertawa kecil mengingat kejadian itu lagi. Jika di ingat sekarang, dia bersyukur waktu itu sang Bunda memaksa mereka untuk berpoto bersama, jadi mereka memiliki kenangan yang manis walau saat itu dia merasa terpaksa. Dia membayangkan hal itu dan merasa sangat lucu.

Jeno lalu tersadar dari lamunan menatap poto itu. Kenapa dia jadi senyum-senyum sendiri sejak tadi, pikirnya. Jeno melihat ke sekitar takut-takut ada yang sedang memperhatikannya, dan dia merasa lega karena tidak ada satu orang pun. Jeno mengusap tengkuk belakangnya, dia jadi malu sendiri. Dengan bergegas Jeno menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.

****

"Kenapa selalu Jeno, Jeno, Jeno!" teriak frustasi bocah laki-laki itu.

"Bu-bukan gitu" jawab pria dewasa yang juga kebingungan dengan situasi saat ini.

"Emang dia lebih penting, aku tau. Tapi setidaknya liat aku juga! Aku muak harus terus ngalah!" masih teriaknya.

"Stop buat peduli ke aku hanya karena sebuah rasa tanggung jawab. Aku juga mau di peduliin dengan tulus. Mau di sayang seperti dia. Aku juga mau di prioritaskan seperti dia!" nafas anak itu memburu, emosinya meluap-luap.

Jaehyun meneguk salivanya yang terasa sulit untuk ia telan. Kedua tangannya mengepal, menahan gejolak panas dalam dirinya. Mendengar teriakan kekecewaan seorang anak pria di hadapannya, membuat hatinya terluka. Seberusaha apapun ia menjelaskan kepada anak itu, semuanya akan sia-sia, karena anak di hadapannya sekarang bukan lagi anak kecil, dia akan sangat mengerti tentang situasi yang dia alami, tentang diri Jaehyun untuknya. Karena memang nyatanya Jaehyun tidak bisa memperlakukan seseorang di depannya ini seperti dia memperlakukan Jeno. Tidak akan bisa sampai kapanpun. Dia berbeda, hati Jaehyun untuknya sangat berbeda.

Namun Jaehyun juga sangat terluka mendengar anak itu mengatakannya secara langsung di hadapannya. Baru kali ini anak itu menunjukan sikap emosional yang kuat, meluapkan amarah. Selama ini dia hanya diam, selalu menerima keadaan apapun yang di berikan Jaehyun, selalu mengerti dan mengalah tanpa protes sedikit pun. Jaehyun jadi semakin merasa bersalah.

Panggilan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang