Setelah Dimas memarkir mobil, aku hendak keluar, ketika tiba-tiba ingat bahwa aku sedang bersama dia. "Dimas, kamu gimana ntar?" tanyaku agak bingung.
Dimas mengambil tas kecilku di kursi belakang sambil menjawab, "Saya tunggu di dekat sini aja, Mbak. Ruang ICU juga enggak boleh terlalu banyak orang datang, kan?"
Aku sebenarnya ingin Dimas ikut masuk dan menemaniku menemui Tante Natasha. Namun, ketika teringat bahwa di sana juga ada Juwita, aku segera menolak ide itu dalam hati. Sedikit geli, karena aku merasa ingin memonopoli lelaki yang bukan siapa-siapaku tersebut.
"Oke kalau gitu. Ntar kalau aku lama, kamu pulang duluan aja, ya? Aku beneran minta maaf, Dim." Kutangkupkan dua tangan kepada Dimas, di mana dia justru tersenyum sambil menggeleng.
"Santai aja, Mbak. Bentar lagi azan, saya mau shalat Magrib di mushola sini dulu. Mbak Fara juga mau shalat, kan?"
Aku menggeleng. "Kebetulan lagi halangan. Kalau gitu, aku ke ICU dulu. Minta doanya buat papaku, ya!"
Dimas mengangguk. Dia lalu meraih jaket dan kami berdua keluar bersama dari mobil. Saat aku akan masuk ke dalam gedung RSSA, Dimas memanggilku sambil berjalan mendekat. "Dingin, Mbak. Pakai jaket saya aja. Mbak Fara enggak bawa jaket, kan? Ini baru saya ambil dari lemari, kok, pagi tadi. Jadi enggak bau keringat." Dimas menyodorkan jaket hitamnya padaku sambil tertawa pelan.
Kuterima benda inu dengan hati menghangat. Meski harusnya aku tak melambung tinggi karena bisa jadi Dimas melakukannya berdasarkan rasa iba, tetapi nyatanya hatiku tak mampu. Aku makin terperosok pada pesona lelaki yang 10 tahun lebih muda dariku itu.
Ah, sudahlah! Nikmati saja dulu semuanya. Sakit hati urus belakangan.
Aku lalu mengangguk dan segera memakai jaket Dimas, untuk segera berjalan masuk menuju ke ruang ICU. Dan begitu samlai, aku lekas mencari di mana perempuan paruh baya itu berada. Ternyata dia duduk di tempat agak pojok, bersama Juwita. Ibu tiriku, Tante Natasha.
"Gimana Papa?" tanyaku tanpa basa-basi, sambil menatap bergantian Tante Natasha dan Juwita.
Juwita membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian agak sedikit kaget sambil melihat jaket yang tengah kupakai. Aku tak peduli dan segera menatap Tante Natasha yang berdiri dengan pelan.
"Di dalam ada Maya, gantian nunggu denganku. Tekanan darah, saturasi dan detak jantung papamu mulai normal. Tapi, gula darahnya masih tinggi. Sampai sekarang belum sadar," jawab Tante Natasha.
Hatiku terasa sakit mendengarnya. Sambil menguatkan genggaman pada tas kecil, aku berusaha menahan tangis.
"Mbak Fara udah makan? Ke sini sama siapa?" Juwita ikut berdiri dan menatapku.
Aku diam sejenak, lalu menggeleng. "Makan gampang, ntar juga bisa. Aku ke sini sama temen."
"Sama Mas Dimas, ya?"
Pertanyaan Juwita membuatku kaget, sementara Tante Natasha terlihat tertarik. "Siapa Dimas?" tanya ibu tiriku itu.
"Cuman temen main." Aku segera menjawab sebelum Juwita membuka mulutnya dan bersuara. Entahlah, aku tak mau mendengar apa pun yang akan Juwita jelaskan mengenai Dimas.
"Jadi, kata dokter bagaimana?" Aku menatap Tante Natasha lagi. Perempuan itu melirikku dengan dingin.
"Sekarang kamu peduli?"
Pertanyaan Tante Natasha membuat emosiku tiba-tiba memuncak sampai kepala. Dengan ketus kujawab, "Dia itu ayah kandungku! Kalau Tante enggak suka aku peduli sama Papa, terserah! Lagi pula, aku enggak peduli mau apa pun yang Tante pikir tentangku, bagiku Papa ya Papa ... dia tetap ayah kandungku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]
Romansa© Sofi Sugito (2024) ===== 🚫 Rate 18+ Mengandung kekerasan fisik, verbal dan mental. ===== Fara. Janda 36 tahun yang mapan, cantik dan kaya. Pernikahannya gagal karena mantan suami yang berselingkuh dan KDRT. Kedua orang tuanya juga bercerai dengan...