9$

1 0 0
                                    

Aku terduduk layaknya perempuan berseragam putih abu-abu pada umumnya, menatap lurus ke depan menghayati setiap kata yang keluar darinya yang memecahkan keheningan di ruangan ini.

Andai saja, andai saja aku bisa didepan sana. Berdiri dengan senyuman yang paling manis menceritakan semuanya sampai melihat raut kesal yang tercetak jelas di wajah mereka. Atau setidaknya melihat mata mereka yang sesekali memandang ke bawah mencuri kesempatan untuk merefreshkan pikiran melalui teknologi yang suka disebut tempe. Setidaknya bisa memperhatikan mereka menguap karena kantuk atau bosan menatap jam karena tidak kunjung selesai.

Semua hanyalah pengandaian, memang khayalan lebih indah daripada kenyataan. Katanya orang jatuh cinta tidak perlu alasan mungkin sekarang aku merasakannya. Aku menyukai berada di posisi didepan sana. Entah mengapa hatiku sangat menyukainya sampai tidak ada cela untuk menghilangkannya dari harapan yang tidak mungkin aku wujudkan. Namun tidak apa, aku tetap bangga pernah bermimpi menjadi seorang guru baik dulu sampai sekarang bahkan nanti. 

Aku tidak tahu mengapa dengan mudah mata ini terbuka, dengan tanggap telinga ini langsung menghayati setiap kata yang keluar darinya. Ya aku selalu suka ceritanya tentang semua pengalaman yang pernah dialaminya. Tak seperti aku yang selalu tidak bisa mengendalikan mata untuk tetap terjaga saat dia menjelaskan tentang pelajaran. Semua kata yang keluar bak cerita dongeng yang meninabobokan mata ini sampai enggan terbuka bahkan untuk satu menit saja.

"Dulu saya sebenarnya guru akuntansi hanya saja banyaknya lulusan baru di sekolah ini akhirnya saya mengikuti pelatihan kewirausahaan dan menjadi guru kewirausahaan." Cerita pengalamannya bukan hanya mampu membuat mata ini terbuka tapi sekaligus pemikiran ini balik kanan berubah haluan. Membuka pemikiran bahwa tidak ada profesi yang akan abadi, akan ada saatnya waktu meminta kita berpindah pada suatu hal yang tidak pernah direncanakan. Sejak saat itu aku pun bercita-cita ingin mempunyai keahlian lain agar aku nanti mampu bertahan menghadapi ketatnya persaingan. Aku memutuskan untuk belajar hal lain. Ya inilah mimpiku.

Katanya orang hidup harus memiliki panduan, katanya orang hidup harus memiliki tujuan. Ya memang aku tidak memungkiri itu benar adanya. Namun bagaimana orang akan hidup tanpa sebuah mimpi? Apa orang bisa memaknai hidup tanpa satu pun mimpi dalam hatinya. Aku tidak tahu tapi yang jelas bagiku, aku tidak mampu hidup tanpa mimpi. Mimpi menuntunku menjadi mata dan kaki agar  mampu berpegangan pada kebahagiaan yang diharapkan. Namun aku lupa bahwa menjadi seorang pemimpi harus mampu, mampu menikmati bagaimana pahitnya kekecewaan.

Seperti halnya jalan raya yang tidak akan pernah mulus untuk selamanya. Seperti itulah kondisi yang tidak pernah aku pikirakan. Aku gagal, gagal memasuki jurusan pendidikan matematika selain akuntansi. Kecewa? Tentu siapa yang tidak kecewa. Kehidupan itu hanyalah sinawang. Bagi mereka aku beruntung karena sudah pernah mendapatkan akuntansi sebelumnya namun mungkin mereka tidak tahu dibalik itu ada kekecewaan yang sangat besar. Kekecewaan karena satu jalan menuju mimpi itu tertutup untuk selamanya. Kini aku menentang satu prinsip yang dengan bangga selalu aku junjung tinggi.

Tentang prinsip bahwa, 'Saat aku menetapkan pilihan, pilihan itu harus pilihan hatiku. Agar tidak ada yang aku rugikan atau terkena dampak buruk karena keterpaksaan saat memilih'. Saat itu aku sadar ternyata aku memilih karena dijerat keadaan dan aku hanya berharap semoga tidak akan ada yang terluka karena pilihan ini .

Kata akhirnya katalah yang aku pilih sebagai alternatif pelarian terbaik karena lewat kata semua beban dipundak terasa melayang dan menghilang dalam sekejap mata. Seperti biasa goresan katalah satu-satunya yang mampu memenangkan hati. Seolah memeluk dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Hingga hari ini saat kata tertulis aku tersadar kekecewaan ini menghantarkan pada mimpi lainnya. Mimpi yang pernah terpendam dulu dimana aku bermimpi memiliki  menjadi seorang penulis. Terbesit keinginan menjadikan hoby menulis sebagai profesi.  Waktu itu semesta seolah-olah berkata, "Menjadi guru adalah impian yang mulia namun profesi lainnya juga mulia dengan caranya sendiri. Kekecewaan ini hanyalah tamparan jika mimpimu ada dibelakangmu menunggu kamu untuk mewujudkannya."

Hari ini detik ini aku kembali duduk terdiam dihadapannya. Bukan dengan baju putih abu-abu tapi dengan baju warna warni yang tetap mengutamakan kesopanan. Lagi dan lagi aku dibuat bangga karena sampai hari ini masih bermimpi untuk sepertinya, menjadi seorang guru. Lagi dan lagi aku dibuat tidak bisa berkata-kata dengan semua pengalamannya. Hari ini profesi guru tetap menjadi impian yang paling membahagiakan bagiku walaupun akhirnya menetap sebagai harapan akan adanya keajaiban.

"Dulu saya pernah menjadi guru lalu melamar ke perusahaan. Saya diterima di perusahaan bahkan sudah membawahi beberapa divisi. Namun hidup itu sinawang yang terlihat tidak seperti yang dirasakan. Mungkin menurut orang lain saya berada diposisi karir yang bagus tapi saya sadar itu bukan passion saya. Passion saya adalah menjadi seorang guru hingga akhirnya saya resign dan memulai semuanya dari 0. Saya kembali menjadi seorang guru."

Namun hari ini aku memahami darinya tidak ada profesi yang lebih baik dari profesi manapun ketika kamu menjalani profesi itu membuat kamu merasa, inilah aku. Inilah kebahagiaanku. Meski harus berkali-kali kecewa. Setidaknya meskipun hanya freelance cukup membuatku bangga jika aku mampu.

Ya, banyak mimpi yang aku rencanakan. Seperti menulis artikel, editor naskah, bisa mengedit, layout dan menulis cerita. Aku bersyukur berbekal dengan grup akhirnya aku bisa menjadi penulis freelance artikel. Meskipun masih ditahap rendah dengan penghasilan per bulan tidak lebih dari seratus lima puluh ribu rupiah. Pelan-pelan aku mengumpulkannya meski akhirnya dipergunakan untuk kebutuhan tapi aku terus berharap bisa memiliki uang sendiri.

¥¥¥¥¥

Tepat sepuluh hari sudah tidak ada interaksi diantara kita. Aku berkali-kali melirik kontakmu berharap ada chat yang masuk namun hasilnya sia-sia. Pada akhirnya aku yang harus memantapkan hati menghubungimu. Meski agak canggung kita berbincang walaupun akhirnya berakhir dengan kamu yang mengabaikanmu. Aku bersyukur karena sakit, setidaknya sejenak aku memiliki peralihan darimu karena tubuhku yang tidak berdaya. Aku hanya bisa tidur walaupun dalam mimpi kamu mengusik ketenanganku juga.

"Ayo ke Dieng?"

"Dieng?" Aku berusaha mencerna lagi. Mengapa harus Dieng? Aku tahu satu kota begitu luas tapi aku merasakan perasaan asing. Aku berharap bisa bertemu dengannya tak sengaja tapi itu hanya suatu kemustahilan.

"Siapa tahu kamu dapat jodoh di sana, aamiin." Hatiku mencelos sudah terbiasa dengan hal ini. Namun aku berharap jodohku dia yang ada di sana. Namun aku tahu hal yang tersulit adalah mengikhlaskan perasaan agar dia bisa bahagia dengan caranya.

Note :
Cerita ini menggunakan pov campuran jadi saya akan berusaha agar pembaca tidak bingung.
Untuk pov satu akan menceritakan tokoh di masa lalunya sedangkan pov 3 adalah masa kini.

¥ : ini tanda kalau cerita di masa lalu
£ : ini tanda kalau cerita di masa kini

Saran dan kritik sangat saya butuhkan untuk cerita ini jadi saya minta tolong sekali bantuannya.

Jangan lupa ya untuk vote dan komentar.
Boleh memberikan krisar loh dengan bahasa yang sopan tentunya.
Terima kasih😉
Happy Reading


LANTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang