Selamat Tidur, Eri

3 1 0
                                    

Saat malam, saat semua orang tengah terlelap dalam tidurnya, sepasang kaki kecil terlihat melangkah perlahan. Membuka pintu salah satu kamar dengan perlahan agar penghuni kamar tidak terusik dengan kehadirannya. Melangkah ke tempat tidur bayi berwarna merah muda, di mana terdapat seorang bayi perempuan mungil yang tengah terlelap. Saat kedua kaki kecil itu sampai di dekat tempat tidur bayi, bayi mungil itu seakan tahu jika ada seseorang, mulai menggeliat.

"Sst, Eri jangan bangun, tidur lagi ya, kakak cuman mau lihat Eri," Abel menepuk-nepuk perlahan paha bayi mungil itu, agar adik kecilnya yang empat bulan lalu lahir kembali terlelap.

Sejak Eri lahir, Abel sudah sering berkunjung ke kamar orang tuanya untuk melihat adik kecilnya. Meskipun, orang lain sudah terlelap. Kadang saat Abel sudah tertidur, dan mendengar adiknya menangis dia juga akan ikut terbangun. Kamar Abel berada tepat di sebelah kamar orang tuanya, yang akhirnya membuat Abel dapat mendengar tangisan adiknya itu. Beberapa kali juga jika Abel tidak bisa tidur dia akan datang ke kamar ini, hanya untuk sekadar melihat adiknya, seperti kali ini.

Sejak Lintang mengantarkannya ke kamar sampai beberapa menit yang lalu dia belum juga tidur, akhirnya memutuskan melihat adiknya.

"Abel kok belum tidur." suara lemah Alaika, yang terlihat masih mengantuk, mengagetkan Abel.

"Abel nggak bisa tidur, Bun, jadi Abel ke sini lihat Eri," jawab Abel.

"Abel mau tidur di sini sama bunda ayah?" tanya Alaika yang sudah berada di samping Abel, yang masih setia memandangi adiknya.

"Nggak usah, Bun, Abel sudah besar harus bisa tidur sendiri, Abel ke kamar dulu, Bun, muach." Abel menuju kamarnya setelah mencium pipi Alaika.

Sejak mengetahui Alaika hamil, Abel sudah tidak mau dianggap anak-anak lagi, kadang tidak mau dipangku. Sampai saat Eri lahir, Abel meminta dibuatkan kamar sendiri. Padahal sebelumnya Abel tidak bisa tidur jika tidak memeluk Alaika.

Alaika tidak langsung tidur kembali, dia ingin memastikan jika anak sulungnya itu sudah tidur atau belum. Beberapa menit setelah Abel meninggalkan kamarnya, Alaika menuju kamar Abel. Dilihatnya tubuh kecil itu sudah meringkuk di dalam selimutnya dengan mata tertutup. Alaika pun kembali ke kamar.

Keesokan paginya, yang biasanya anak seusianya harus dibangunkan dulu agar bangun, tetapi tidak dengan anak sulung Alaika dan Lintang ini. Kaki kecilnya sudah berdiri di samping box bayi Eri, menunggu sepasang mata itu terbuka. Abel setiap hari akan menunggu Eri membuka matanya, Abel tidak akan meninggalkan tempatnya berdiri sekarang sebelum adiknya itu bangun. Abel akan seperti mendapat penghargaan jika dirinya orang yang pertama dilihat Eri saat bayi itu bangun.

Kedua mata bayi yang menjadi kesukaan kakaknya itu terbuka, sebelum Eri menangis Abel segera mengambilkan botol ASI yang sudah disiapkan Alaika sebelumnya. Abel akan menjaga adiknya sampai Alaika selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara, Lintang sudah berangkat ke kantor sejak jam tujuh pagi.

Lintang saat ini bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang distributor barang. Lintang sudah bekerja selama delapan tahun sejak dirinya masih berpacaran dengan Alaika. Di umurnya yang ke tiga puluh tahun dia sudah menjabat sebagai manager. Sementara Alaika sebelum menikah dengan Lintang merupakan staff perbankan, tetapi setelah memiliki Abel, dia memutuskan keluar dari pekerjaannya.

Eri terlihat gelisah, seakan mencari keberadaan bundanya. Abel berusaha bermain dengan adiknya itu agar tidak menganggu kegiatan Alaika. Abel menggoyangkan mainan berbentuk lollypop yang bisa mengeluarkan bunyi gemericing untuk menarik perhatian Eri, Abel juga mengambil kotak musik dan memutar kuncinya hingga terdengar alunan musik yang lembut. Eri yang awalnya terlihat gelisah berangsur diam, bahkan sesekali tersenyum dengan tingkah dan mainan yang diperlihatkan Abel.

Setelah selesai dengan pekerjaannya Alaika menuju kamarnya, melihat kedua anaknya sedang bermain dengan Abel yang masih setia berdiri di samping box bayi.

"Kakak, kok nggak panggil bunda?" tanya Alaika. Satu lagi permintaan Abel sejak kelahiran adiknya, dia harus dipanggil kakak saat di depan adiknya.

"Bundakan lagi sibuk, Eri juga nggak nangis kok, kakak juga udah kasih susunya ke Eri, ini udah habis." Abel menunjukkan botol ASI yang sebelumnya penuh kini telah kosong.

"Kakak belum mandi?" tanya Alaika, melihat anak sulungnya ini masih memakai piyama bergambar salah satu karakter kartun dengan kekuatan listriknya.

Abel tersenyum memperlihatkan giginya, "hehehe, belum, bun," jawabnya malu-malu.

"Ayo sini mandi dulu, bunda sama adek temani." Abel melompat dari pijakan tempatnya berdiri.

"Nggak usah, Bun, kakak bisa sendiri." Abel berlari menuju kamarnya, menambil handuk lalu segera masuk ke kamar mandi.

Bagi Alaika, meskipun anak sulungnya itu selalu menolak dibantu, tapi dia tetap mengawasi segala rutinitas anaknya. Mau bagaimanapun, anak seumur Abel terkadang masih tidak mengetahui banyak hal. Seperti yang terlihat sekarang Abel salah menggunakan sabun, sabun yang seharusnya milik ayah bundanya dia pakai.

"Kakak, itu salah sabun, sayang," tegur lembut Alaika, yang sedang menggendong bayi Eri.

Botol sabun yang mereka gunakan memang hampir sama, hanya berbeda warna. Alaika lebih suka membeli sabun yang refill lalu dia masukkan ke botol yang sudah dia sediakan, selain lebih murah juga meminimalisir tumpukan botol tidak terpakai di rumahnya.

Setelah mandi dan berganti baju Abel kembali menemani adiknya bermain, sedangkan Alaika mengambilkan makanan untuk Abel. Abel tipikal anak yang jika sudah bermain akan lupa makan, khas anak-anak seumurannya. Alaika harus mengingatkannya untuk makan.

"Abel, ayo makan dulu, ini bunda udah ambilin nasi sama ayam krispy kesukaan Abel." Alaika duduk di samping box persegi tempat anak-anaknya bermain, dengan sepiring nasi beserta lauk di dalamnya.

"Bunda suapin," pinta Abel manja.

"Loh biasanya Abel nggak mau disuapin, katanya udah gede," canda Alaika menggoda anak sulungnya itu.

"Abel lagi sibuk, Bun, nih liat dua tangan Abel megang mainan," jawaban Abel, membuat Alaika tertawa geli, apalagi dengan ekspresi serius putranya itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, biasanya di jam ini Lintang sudah pulang dari kantor. Eri sedang tidur di tempat tidur bayi berupa kasur kecil yang diletakkan di ruang keluarga, sedangkan Abel sedang duduk menonton kartun kesukaannya, walapun dengan suara kecil karena takut membangunkan adik kecilnya. Sementara Alaika mengawasi mereka berdua.

"Ayah pulang!," seruan Lintang membuat Abel berteriak.

"YEEI AYAH PULANG!" Abel melompat dari sofa, dan berlari ke depan menyambut ayahnya, saat terdengar suara tangisan.

"Oeeek," tangisan kencang keluar dari bayi yang merasa tidurnya terganggu dengan suara sang kakak.

Abel berhenti tiba-tiba mendengar suara tangisan adiknya, menyadari itu kesalahannya. Membalik badan melihat bundanya yang sedang menggendong Eri dengan ekspresi takut.

"Maaf Bunda, maaf Eri, huaaaaa." Karena takut akan dimarahi dan merasa bersalah Abel juga ikut menangis, kedua anak yang terpaut usia lima tahun itu, menangis bersahutan membuat Alaika bingung.

Color of Life (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang