Eri berangkat kesekolah bersama Gia dengan menaiki mobil Galen. Sejak kejadian kemarin sampai hari ini Eri dan Abel tidak saling bicara. Tadi pagi Eri menghubungi Galen untuk ikut di mobilnya bersama Gia meskipun di awali dengan saling ejek dan sindir, tetap saja Eri menang.
"Kamu harus tanggung jawab, aku lagi ngambek sama Kak Abel dan itu gara-gara kamu, kalau kamu nggak mau rambut kamu aku gundul, aku sama Gia harus nebeng di mobil kamu," ucap Eri tadi.
Eri, Gia dan Galen sudah sampai di sekolah, Eri dan Gia berterima kasih ke Galen sebelum menuju kelas mereka.
Sementara di rumah Alaika menghampiri Abel yang sedang makan.
"Kakak sama Eri, kenapa?" tanya Alaika, karena tidak biasanya kedua anaknya itu tidak saling bicara. Kalaupun Eri ngambek atau marah pasti Abel akan membujuk Adiknya.
"Nggak kenapa-napa kok, Bun. Tenang aja, aku ke kampus dulu ya," Abel pamit ke kampus, dia ada kuliah siang ini. Sebenarnya kuliahnya akan dimulai jam satu siang dan sekarang masih jam sepuluh, tetapi dia memiliki urusan lain hingga harus berangkat lebih cepat. Abel mengeluarkan motornya dari dalam bagasi dan langsung menuju tujuannya.
Abel memarkirkan motornya di depan gerbang, lalu menuju pos satpam untuk meminta ijin masuk. Abel dipersilahkan karena Abel juga sudah dikenal di tempat ini dan oleh satpam. Setelah masuk Abel munuju bangunan besar di sebelah kiri yang terdiri dari beberapa ruangan.
Gia yang baru keluar dari ruang guru setelah mengantarkan tugas teman-temannya melihat Abel yang berjalan menuju area kelas dua, langsung teringat dengan Eri. Sejak tadi sahabatnya itu terus menanyakan keberadaan Abel ke kakaknya, Gio. Gia segera berlari ke kelasnya untuk memanggil Eri.
"Eri!" teriak Gi, tepat di pintu kelas. Eri menoleh bingung, tidak biasanya sahabatnya itu berteriak. Gia segera berlari cepat ke tempat Eri.
"Ka- kak Abel-" Eri tidak paham apa yang dibicarakan Gia dengan terengah-engah.
"Kamu tenang dulu, tarik napas, baru ngomong, aku nggak ngerti," ucap Eri. Gia menarik napas berusaha tenang.
"Itu Kak Abel ada di koridor kelas dua," ucap Gia cepat.
"Hah?" Eri segera berlari, diikuti Gia.
Setelah melihat kakaknya yang berjalan menuju lorong kelas dua, Eri mempercepat larinya.
"Kak Abel!" teriak Eri, membuat Abel berhenti, "ngapain Kakak ke sini?" lanjut Eri bertanya setelah sampai di depan Abel, menghalangi langkah kakaknya.
"Kakak, mau ketemu Ferlin," ucap Abel datar tanpa melihat Eri. Tinggi Eri yang sebatas bahu kakaknya membuat Abel harus menunduk jika ingin melihat Eri.
"Ngapain? Kemarin kan aku udah bilang, nggak usah," ucap Eri kesal.
"Kakak cuman mau peringatian dia buat gak gangguin kamu," balas Abel tidak kalah kesal.
"Terus? Kakak pikir dia bakal berhenti gangguin aku setelah kakak peringatin? Nggak!, dia bakal makin gangguin aku, nggak semua orang mau dengerin kakak!" ucap Eri marah. Gia hanya diam, dia tidak tahu harus apa.
Abel tidak mendengarkan Eri, dia berjalan melanjutkan langkahnya, tetapi tangannya ditarik kembali oleh adiknya. Namun, Abel menghentakkan tangan adiknya.
"Oke! Terserah! Cukup aku tahu kalau kakak Egois!" Ucap Eri berteriak untungnya mereka masih berada di area laboratorium di mana jarang ada orang. Eri meninggalkan Abel yang berhenti melangkah mendengar adiknya menganggapnya egois.
Gia bingung harus bagaimana, satu sisi dia mau mengejar Eri, sisi lain dia khawatir dengan Abel. Abel berbalik melihat Eri berjalan menjauh meninggalkannya. Dia mengusap wajahnya kasar, pertama kalinya dia melihat Eri marah seperti ini.
"Kak," ucap pelan Gia ke Abel, membuat pandangan mereka bertemu.
"Tolong susul Eri aja, Gi," ucap Abel dengan tatapan memohon, yang baru pertama kali Gia lihat.
Gia mengangguk, Gia menyusul Eri tetapi baru beberapa langkah dia kembali berbalik, "kakak, nggak bakal ke kak Ferlin, kan?" tanya Eri memastikan, bagaimana pun dia kahwatir, dia tahu akibatnya kalau Abel menemui Ferlin, Eri akan semakin diganggu. Abel menarik dan menghembuskan napasnya mencoba tenang dan mengangguk menghadirkan senyum di bibir Gia.
Setelah Abel pikirkan mungkin memang dia yang terlalu gegabah tanpa pikir panjang. Gia kembali mengejar Eri. Sementara Abel memutuskan ke kampusnya.
Gia mencari Eri, tetapi tidak menemukannya. Untungnya jam pelajaran kali ini gurunya tidak masuk dan hanya memberikan tugas yang tadi dikumpulkan Gia di ruang guru. Gia berusaha tenang, dia mengambil handphone di sakunya dan menghubungi nomor Eri. Gia bernapas lega saat Eri menjawab teleponnya.
"Halo, Ri, kamu dimana?" ucap Gia tidak sabar karena khawatir.
"Aku di perpustakaan, Gi," jawab Eri berbisik di seberang sambungan telepon.
Gia lupa jika tempat favorit Eri adalah sebuah sudut di perpustakaan sekolah mereka. Gia segera memutuskan sambungan telepon dan menuju perpustakaan menemui Eri. Gia berjalan sampai lorong antara rak buku paling ujung dan melihat sahabatnya duduk dibangku paling ujung lorong.
Gia tidak berbicara hanya duduk disamping sahabatnya, menunggu sampai Eri tenang dan dia sendiri yang akan memulai berbicara. Setelah beberapa saat Eri menoleh ke Gia, dan mulai berbicara.
"Kak Abel, kemana?" tanya Eri, penasaran dengan keputusan kakaknya.
"Pergi," jawab Gia singkat. Eri menoleh, menyipitkan matanya bingung tidak biasanya Gia menjawabnya dengan singkat dan datar begitu.
"Kamu marah, aku marahin Kak Abel?" tanya Eri. Gia memperbaiki duduknya menyamping menghadap Eri.
"Aku nggak marah, cuman nggak abis pikir kamu bisa ngomong gitu ke Kak Abel, aku tahu cara Kak Abel salah tapi cara kamu dengan menyebut Kak Abel egois juga nggak benar, dia cuman mau ngebela adiknya." Ucapan Gia membuat Eri menyadari kalau dia juga sudah keterlaluan.
"Aku tahu, aku salah, tapi nggak tahu lagi cara buat berhentiin Kak Abel," ucap Eri cemberut.
"Ya, udah nanti pulang kamu minta maaf ke Kak Abel," ucap Gia.
"Kamu mah, lebih sayang Kak Abel dari pada sahabat kamu sendiri, benar kata orang cinta lebih penting daripada persahabatan," ucap Eri cemberut, membuat Gia melotot kesal.
"Iya, iya, nanti pulang aku minta maaf ke Kak Abel," ucap Eri akhirnya.
"Ayo balik ke kelas, bentar lagi jam pelajaran selanjutnya, nanti telat." Eri mengangguk.
Eri dan Gia kembali ke kelas mereka.
Saat sampai di rumah, Eri tidak menemukan Abel, mungkin belum pulang pikirnya. Eri memilih ke kamarnya ganti baju lalu keluar untuk makan siang. Alaika sedang di rumah Viana, adik dari Lintang itu sedang sering-seringnya menginginkan masakan buatan Alaika yang dimasak langsung di depannya. Akhirnya membuat Alaika ke sana setelah menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya, dan akan pulang sebelum Lintang pulang dari kantor.
Abel pulang dari kampus pukul empat sore, mendengar suara motor kakaknya Eri yang sedang mengerjakan tugas sekolah di kamar beranjak menemui Abel.
Baru akan memegang gagang pintu kamarnya, Eri mengurungkan niatnya. Dia takut kakaknya marah, karena sebelumnya dia tidak pernah menghadapi situasi seperti ini. Namun, kalau tidak meminta maaf sekarang kapan mereka akan berbaikan.
Terdengar suara pintu di buka lalu di tutup kembali, sepertinya kakaknya sudah masuk kamar. Setelah mempertimbangkan, Eri memilih keluar kamar menuju kamar Abel. Eri sudah di depan pintu kamar Abel kembali bimbang, menarik napas berusaha tenang dan mengetuk pintu kamar Abel.
"Masuk!," teriak Abel dari dalam kamar. Eri perlahan membuka pintu.
"Kakak, boleh Eri masuk?" tanya Eri dengan suara pelan, Abel mengangguk. Eri berdiri dengan tangan saling bertaut didepan perutnya.
"Kakak, Eri tadi minta maaf, omongan Eri nyakitin kakak," ucap gadis kecil itu merasa bersalah. Abel hanya diam membuat Eri menunduk lebih dalam.
Sebuah usapan mampir dikepala Eri, membuat gadis itu menangis, "Kakak!" ucapnya memeluk Abel, yang dibalas juga oleh Abel.
"Kakak juga minta maaf, kalau cara kakak salah," ucap Abel, Eri mengangguk mempererat pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Color of Life (Terbit)
Fiksi UmumEri dan Abel adalah adik kakak yang saling menyayangi. Eri yang mengalami kecelakaan di usia belia membuatnya kehilangan kemampuan melihat warna. Abel yang merasa semua adalah tanggung jawabnya sebagai kakak, melakukan segalanya demi adiknya. Tanpa...