Eri dan Galen

4 0 0
                                    

"Eri!" panggilan Gia, membuat Eri yang kini sudah duduk di bangku SMP menoleh. Eri menunggu Gia yang berlari dari gerbang. Setelah Gia sampai ke samping Eri mereka melanjutkan perjalanan ke kelas bersama. Eri dan Gia duduk di bangku SMP kelas satu, sedangkan Abel dan Gio sudah kelas tiga SMA dan sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan ujian.

Di jam istirahat Eri sedang duduk di kantin bersama Gia saat salah satu temannya yang paling malas Eri temui datang dengan senyum jahilnya.

"Hai, Gi. Hai anak kecil," ucap Galen dengan nada jahil pada Eri. Eri dan Galen yang sedari kecil sudah tidak akur dan di bawa sampai mereka remaja. Sikap Galen yang semakin lama semakin usil dan sikap Eri yang selalu membalas keusilan Galen membuat mereka tidak akur. Galen sekarang duduk di kelas dua SMP, satu tahun di atas Eri dan Gia.

"Hai, Kak Galen," balas Gia menyapa dengan ramah, sedangkan Eri hanya cuek memakan bakso pesanannya. Baginya bakso lebih nikmat daripada meladeni tingkah Galen saat ini.

"Eh, Gi, teman kamu yang itu lagi sariawan ya? Kok nggak jawab sapaan orang." Tunjuk Galen ke arah Eri. Gia tersenyum maklum, sedangkan Eri hanya cuek. Galen tidak habis akal dia tahu Eri paling benci jika dilihat secara intens, maka dia tidak mengalihkan pandangannya pada Eri yang masih menikmati baksonya sambil menopang dagunya di meja.

Eri melirik sinis ke arah Galen, berusaha cuek tetapi tidak bisa dan akhirnya dia menyerah. Sendok di tangannya dia hentakkan ke mangkok menimbulkan bunyi yang cukup nyaring hingga Gia di sebelahnya kaget.

"Eh, Galon, pertama, aku baru tahu kalau kamu itu orang. Ke dua, aku bukan anak kecil jadi aku tidak merasa kalau aku yang kamu sapa, paham!," ucap Eri dengan nada kesal.

Galen tersenyum sampai matanya berubah sipit yang membuat Eri mengerutkan dahinya ngeri, "kalau kamu tidak merasa di sapa kok merasa kalimat aku yang ke dua buat kamu," ucap Galen dengan nada sedikit mengejek dan alis dinaik turunkan.

Eri menarik napas lalu menghembuskannya kasar berusaha sabar, "itu jari kamu nunjuk ke aku, Galon," ucap Eri dengan penekanan di akhir.

"Oh emang iya,ya? coba tanya ke jari aku dia tadi nunjuk kamu ya?" Eri rasanya ingin meledak. Melihat Galen saja dia sudah kesal, apalagi harus berdebat dengan anak laki-laki itu. Eri menarik napas berusaha mengontrol emosinya. Namun itu dijadikan bahan ejekan lagi oleh Galen.

"Ciee, tarik napas, gugup ya dekat aku?" Eri melotot mendengar ucapan laki-laki itu. Eri berdiri cepat, lalu melangkah meninggalkan meja tempatnya menyantap makanan, Gia yang dari tadi hanya mendengarkan perdebatan kedua remaja itu, memilih mengikuti Eri.

"Hei, anak kecil, baksonya kenapa nggak diabisin!" teriak Galen.

Eri berbalik cepat kearah Galen, "Bodo!" jawab Eri lalu berbalik kembali melanjutkan langkahnya.

Galen tertawa melihat wajah kesal Eri yang menurutnya lucu. Galen menarik mangkok bakso Eri tadi tetapi ternyata mangkoknya sudah kosong.

"Lah pantas dia tinggalin, baksonya udah abis," ucap Galen.

Eri terus melengkah ke kelasnya, wajahnya masih terlihat gurat kekesalan.

"Ri, Eri!" panggil Gia yang tertinggal beberapa langkah di belakang, karena tadi singgah dulu membayar pesanan mereka. Eri mendengar panggilan Gia berhenti dan menyadari dia belum membayar pesanannya.

"Waduh, gawat, aku belum bayar bakso tadi," ucapnya lalu berbalik, tetapi ditahan Gia yang sudah berada di sampingnya.

"Udah, aku udah bayar," ucap Gia. Eri bernapas lega, "tapi, bakso kamu tadi sayang nggak diabisin," lanjut Gia saat mereka mulai jalan lagi.

Eri tersenyum, "siapa bilang nggak abis, abis kok, kalau bakso mana bisa aku sisain," ucapnya. Bakso adalah salah satu makanan kesukaan Eri, yang tidak mungkin bisa dia tinggalkan dalam keadaan tersisa. Gia mengangguk mengerti dan mereka menuju ke kelas bersama.

Gia dan Eri menunggu jemputan mereka, sedangkan Abel dan Gio tetap di sekolah untuk mengikuti pelajaran tambahan persiapan untuk ujian akhir. Dan juga mereka memiliki kendaraan sendiri, setiap pagi Gia dan Eri ikut dengan kakak-kakak mereka ke sekolah dulu pun jika pulang mereka bersama Abel dan Gio, tetapi semenjak kakak-kakak mereka persiapan ujian, mereka di jemput Arkan atau Mama Gia, kadang juga Viana yang datang. Hubungan keluarga mereka semakin dekat setelah Arkan dan Viana menikah setahun yang lalu, dan Viana memilih tinggal di rumah Arkan yang baru dibelinya tepat di sebelah rumah Galen.

Saat Eri dan Gia sedang menunggu, Galen datang dan berdiri tepat di sebelah Gia.

"Gi, nebeng ya? supir aku tadi nelpon katanya ban mobilnya kempes," ucap Galen memohon ke Gia.

"Tergantung yang datang siapa kalau Tante Vi, kamu harus minta ke Eri, tapi kalau Om Arkan atau mama aku, ikut aja," ucap Gia.

"Aduh, Gi, aku baru tadi usilin Eri, nanti nggak boleh, tuh liat mukanya aja masih kesal liat aku," bisik Galen, "bantuin dong," lanjut Galen berbisik.

"Siapa suruh tadi cari masalah sama Eri," balas Gia, juga berbisik.

"Ya, mana aku tahu, ban mobilku bakal kempes," ucap Galen membalas bisikan Gia.

Meskipun mereka berbicara berbisik tetapi jarak mereka dengan Eri tidak ada satu langkah, otomatis Eri pun bisa mendengarnya. Eri melirik sinis ke dua temannya.

"Nggak usah bisik-bisik, aku masih bisa dengar," ucap Eri dengan nada menyinggung.

Galen beralih ke samping Eri lalu menatapnya lama tanpa berkata apapun hanya menampilkan wajah memelasnya, Eri mulai risih, "ish, iya ikut aja, nggak usah liat aku dengan tampang memuakkan gitu," ucap Eri. Galen sangat senang, dia ikut menunggu dengan senyuman di wajahnya.

Ternyata yang datang adalah Viana, Viana membuka kaca jendelanya saat sampai di depan ketiga remaja itu. Setelah menikah Viana berhenti dari pekerjaannya dan memilih membuka toko kue berkonsep cafe tidak jauh dari sekolah Eri dan Abel.

"Eh ada Galen," ucap Viana, Galen tersenyum memperlihatkan giginya.

"Iya, Tante, kasian tadi di pinggir jalan cari tumpangan, daripada mengganggu ketertiban berlalu lintas mending Eri panggil buat ikut," ucap Eri tersenyum mengejek. Galen akan mebalas tetapi ditahan Gia. Galen kembali menelan kembali kata-kata balasannya, untuk kali ini dia akan menahan karena dia yang butuh bantuan Eri.

Viana hanya tersenyum menggelengkan kepalanya, dia tidak habis pikir kenapa keponakannya dan anak laki-laki tetangga mereka itu tidak pernah bisa akur sedari kecil. Setelah ketiga anak itu naik dengan Galen di kursi depan dan Gia Eri di kursi tengah, Viana mengendarai mobilnya pulang.

Color of Life (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang