Part 1 : Terhasut Ucapan Tetangga

72 1 0
                                    

Tulisan kali ini masih berlanjut dari pertanyaan " kapan nikah " , memang tak bisa lepas dari semua teror pertanyaan yang mungkin terasa sepele saat di lontarkan.

Setelah menikah aku bisa terbebas dari pertanyaan " kapan nikah ." Tapi itu tidak berlangsung lama. Terlebih setiap kali bertemu orang, sekarang aku malah merasa seperti artis papan tulis , " ehh salah maksudku artis papan atas ."

Usia pernikahanku baru menginjak tiga bulan. Dan suami pun tidak tergesa-gesa untuk segera memiliki keturunan.

Menurutnya biarkan kita nikmati saja masa-masa awal pernikahan. Aku pun setuju dengan pendapatnya itu. Tapi aku mulai terpengaruh dengan ucapan seseorang yang membuat aku akhirnya mulai berfikir kembali tentang komitmen yang sebelumnya kami pegang.

" Mas aku ke warung dulu yah !"

Karena tak mendengar jawaban dari suamiku, akhirnya aku kembali ke kamar dan melihat suamiku yang masih tertidur lelap.

" Oh iyah, sekarang hari Minggu, dia pasti bangun agak siangan " gerutuku dalam hati.

Aku bergegas untuk membeli sayuran untuk ku masak hari ini.

" Ehh ini Mirna menantu nya Bu Imas yang tiga bulan lalu nikah yah !" Sapa seorang ibu yang tak sengaja berpapasan denganku di jalan.

" Iyah bu " jawabku seraya melemparkan senyuman manis.

" Ibu mau kemana ?" Tanya ku sambil sedikit memperhatikan penampilan nya yang teramat rapi bak akan menghadiri hajatan.

" Biasa, mau belanja sayuran ke warung Bi Inah " jawabnya sambil setengah menepuk pundakku.

" Kirain pagi-pagi mau ke pesta, cuma beli sayur aja rapi banget, emas pun banyak melekat di tubuhnya. Gimana kalo pergi kondangan, mungkin satu toko plus etalase nya di pake semua.... Astagfirulloh gak boleh nyinyir " gumamku dalam hati.

" Ya udah yuk ngobrol nya kita sambil jalan aja, kamu juga pasti mau belanja kan ?"

Aku mengiyakan pertanyaan ibu tadi, dan kebetulan kami akan berbelanja di tempat yang sama.

" Gimana udah isi belum?" Seperti biasa beliau bertanya sambil menepuk pundak. Ibu-ibu mah selalu begitu, untung saja aku tidak tersungkur.

" Alhamdulillah udah isi nasi anget satu piring sama kerupuk di remukin pake kecap dan gak lupa minum nya teh botol sosro ."

Ingin rasanya aku jawab begitu, tapi tak mungkin perkataan seperti itu aku lontarkan, terlebih yang memberi pertanyaannya lebih tua dariku.

" Belum Bu, saya sama suami gak buru-buru kok ."

" Jangan di tunda-tunda, ibu mertua kamu juga pasti udah pengen nimang cucu tuh " kembali tepukan itu mendarat di pundakku.

Jarak dari rumah ke warung biasanya hanya beberepa menit. Sekarang tiba-tiba seperti jalan di tempat.

Sudah bejalan sejak tadi, dan akhirnya baru mendarat di tempat tujuan. Dan terlihat para emak sedang asik memilah sayuran. Dan seorang ibu menatap ke arah kami.

" Wahh kalung Bu Titi baru lagi nih !" Tanya seorang ibu yang tengah memegang seikat bayam.

Para ibu lainnya juga ikut memuji kalung yang Bu Titi pakai.

" Iyah ini hadiah dari suami saya " jawabnya seraya memutar-mutar liontin yang menggantung di leher nya.

" Ehh Mirna, mau belanja yah ?" Tanya salah seorang ibu yang sudah tak asing bagiku karna sesekali bertemu saat di warung.

" Iyah bu " tak lupa ku lemparkan senyum manis andalanku.

" Gimana udah isi belum ?"

Ya Tuhann pertanyaan ini lagi. Aku mulai lelah menjawab pertanyaan mereka.

" Belum Bu ."

" Suami nya coba banyakin makan toge, kamu nya minum jamu, ponakan ibu juga yang bulan lalu nikah udah hamil". Timpal salah seorang ibu yang sedikit asing untukku.

Tanpa mereka sadari, aku mulai tersinggung dengan perkataan mereka. Seharusnya tak usah membandingkan dengan keponakan mereka. Lagi pula setiap orang rizki nya berbeda. Ada yang cepat dapat anak dan ada yang sulit.

" Iyah Bu, nanti saya coba " jawabku yang sangat bertolak belakang dengan apa yang aku ucapkan dalam hati.

Aku sudah membeli seikat kangkung dan setengah kilo ayam. Cukup itu saja yang aku beli karena bumbu dan bahan lain masih lengkap di kulkas.

" Saya pamit duluan yah Bu !"

Para ibu mengiyakan dengan serentak.

Saat menuju rumah aku berjalan pontang panting, hingga sebelah sandal ku terlepas dari kaki ku. Sandal yang ku pakai memang sedikit licin karena terkena hujan semalam.

Entah harus menangis karena teringat ucapan ibu tadi atau harus menahan tawa karna sandal sebelah kiri terlepas.

Sesampainya di rumah, suami ku terlihat sedang duduk di sofa sambil asik memainkan benda yang sedang di pegangnya.

Sudah jadi kebiasaan semua orang, bangun tidur yang pertama di cari ya ponsel nya. Begitu juga dengan suamiku yang entah sedang melihat apa dengan ponselnya itu. Dan kegiatan nya terhenti setelah melihat aku tiba di depan pintu.

" Kamu kenapa, pulang belanja kok cemberut, kaya yang gak di kasih jajan aja " tanyanya sembari meledek.

" Lahh sekarang malah jadi nangis " dia mulai terlihat kebingungan karena melihat air mata terjun dari kedua bola mataku.

" Mending kita cepet-cepet program, jangan terlalu santai lagi " pintaku yang masih dalam keadaan menangis. Dan dengan nada heran dia kembali bertanya.

" Kenapa tiba-tiba bilang gitu ?"

" Lagi-lagi aku di tanya udah isi apa belum, orang tua kamu juga pasti udah pengen gendong cucu " air mataku makin tak bisa terbendung.

" Kenapa sih malah mikirin ucapan orang lain, suami kamu sendiri aja gak banyak nuntut "

Mungkin dia mulai kesal, sampai bicara dengan sedikit nada tinggi. Sejenak aku pun berpikir soal ucapan yang coba dia jelaskan padaku.

" Maaf " jawabku singkat dan kepala tertunduk.

Yang suami ku katakan ada benar nya. Suami sendiri saja tidak menuntuku untuk segera memiliki anak, kenapa aku harus pusing dengan perkataan mereka.

" Tapi aku gak nyaman di cecar pertanyaan itu terus, apalagi mulai di banding-bandingin sama orang lain " keluh ku dengan kepala yang masih tertunduk.

Dan kali ini Mas Rian mulai menjelaskan dengan nada lembut.

" Ujian setiap pasangan itu gak sama, ada yang gampang punya anak, ada yang punya anak tapi seret rezeki, ada yang banyak rezeki tapi harus berjuang buat dapet anak "

" Rizki kita alhamdulillah selalu lancar, mungkin ujian kita ya harus sabar nunggu di kasih keturunan, lagian kita juga sambil ikhtiar " ucapnya seraya menyeka air mataku yang masih mengalir.

" Coba kamu liat acara tv di sebelah, cerita para istri yang di selingkuhin lagi hamil. Itu termasuk contoh ujian rumah tangga " timpalnya lagi dengan raut wajah yang cukup serius.

Perlahan aku menatap suamiku yang tengah menceramahiku. Dan berkata...

" Kamu suka nonton sinetron gituan ?" Tanya ku penasaran karena aku tidak pernah melihat suamiku menyaksiakan acara tentang konflik rumah tangga.

" Enak aja, gak pernah lahh ... "

" Tapi waktu itu sebelum kita nikah, Mas pernah liat mamah lagi asik nonton itu, jadi secara gak langsung mas ikut nonton sihh hehehe " tingkah konyolnya membuat tangisanku berubah jadi tawa tebahak-bahak.









Cucu Untuk MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang