[Chapter 7] Pilihan.

225 22 1
                                    

Merunduk malu, Yeji tercenung takut. Hyunjin sudah berdiri murka didepannya bersama manik suram juga dingin yang saling bertaut.

"Maaf, gua yang ngajak Yeji."

Bariton khas Yeonjun bergetar, sudah cemas kepalang duluan padahal Hyunjin benar-benar baru masuk dan mendekati mereka.

"Gua cuma mau cerita sama Yeji, gak ada maksud apa-apa. Demi Allah." Kata Yeonjun lagi.

Dengan sedikit meragu Yeji melirik suaminya yang kini terduduk disamping, puan menatapnya balik.

"Kenapa kamu gak bilang sama aku?"

Katanya, terdengar lebih santai dan merendah tenang—abai akan lisan Yeonjun yang baru saja bersua.

Meski menenangkan, tapi suaranya menggertak hati, tak terpungkiri membuat Yeji semakin jeri.

"A-aku..."

"Mungkin Yeji takut lu salah paham makanya gak ngasih tau, gua bukan mau ganggu--"

"Lu diem dulu, bisa?"

Yeonjun bungkam atas kemauan Hyunjin yang keras, sementara si gadis melirik, sigap menjawab.

"Iya, aku memang takut kamu marah." Ujarnya lesu.

"Kamu minta aku buat ikut kerja, cuma karena Yeonjun?"

Kembali sunyi, Yeji menunduk lagi, mengangguk. "Maaf." Lirihnya.

"Baik, gapapa. Aku harus ke kantor lagi, sia-sia waktu istirahatku kalau cuma buat gangguin kamu sama Yeonjun."

Hyunjin berdiri bersama lisan yang berdalih, nada bicaranya terdengar seperti menyindir.

Tak hanya itu, terdengar juga seakan Hyunjin menutupi kekecewaannya.

"Hyunjin, tunggu!" Cekat Yeji.

Sret.

Pintu Cafe menganga, Hyunjin keluar dari tempat makan bersama dua tangan yang dimasukan kedalam saku celana, berlagak tak mendengar ucapan Yeji.

"Huh."

Yeji menyandar kepalanya pada tangan dan meja, matanya masih mengekor pada punggung Hyunjin yang menjauh disebrang sana.

"Aku harusnya bilang dulu sama Hyunjin."

Wira yang bergeming mengangkat alis sedikit, mendengar ucapan Yeji sendiri kemudian dia mengangguk. "Gak apa-apa, aku juga salah."

"Bukan. Aku. Aku yang udah ninggalin kamu." Kali ini Yeji berani berdalih, tapi matanya menunduk tak berani menilik si pendengarnya.

"Aku minta maaf. Semoga kisah lalu kita memang benar berhenti saat itu aja, jangan ada lagi."

Gantian, Yeonjun yang diam. Karena sunyi tak berarti, perkataan Hyunjin tadi jadi menghantui pikiran Yeji.

Dia rasa, Hyunjin pasti sangat kecewa padanya.

Bukan hanya itu, bisa saja dia berpikir kalau Yeji masih punya bekas asmara kepada suami pertamanya itu.

Padahal kenyataannya, Yeji sudah tak lagi cinta dengan Yeonjun.

Dan lagi, bisa saja Hyunjin patah hati karena Yeji berani mendiami alasannya untuk berangkat kerja bersama.

Maksudnya. Yeji tidak bilang dengan benar—kalau dia ikut pergi bukan karena hari ini adalah hari terakhir dia di Jakarta, tapi karena mau bertemu Yeonjun.

Banyak perkara yang berkemungkinan membuat Hyunjin kecewa karenanya. Meski tetap, alasan dari patah hatinya masih dalam satu aliran—Yeonjun.

"Enggak apa-apa, semua akan lebih baik kalau gak lagi dibahas. Kamu urus aja hubunganmu sama Hyunjin. Ceritaku cukup sampai tadi aja."

Yeji mengangguk, berganti pikiran bersama cerita Yeonjun tadi sebelum Hyunjun datang.

Teringat lagi, berulang kali. Tentang dirinya yang pergi hanya karena tak sabar ingin menginjakan kaki di tanah Parahyangan.

Bagaimana bisa dirinya setega ini? Membuat dua hati tersakiti, di waktu yang lalu dan waktu yang baru saja tadi terjadi.

Yeji sempat berpikir, kalau saja dia tidak memilih Hyunjin dan meninggalkan Yeonjun. Kemungkinan besar kecemasan sekecil apapun tak akan Yeji rasakan.

Dengan begitu juga, Yeji tak akan pernah membuat seorangpun jatuh karenanya. Mau Hyunjin atau Yeonjun.

"Udah terlalu lama, kita balik sekarang aja ya?" Ujar Yeonjun.

Akhir selang itu, keduanya kembali ke kantor—setelah urusan makan dan berbagai pesan tersampaikan dengan rampung.

Langit semu menguning, Yeji menghampiri Hyunjin yang berjalan sendirian menuju lahan parkir—hendak pulang sekalian menunggu Yeji.

Meski Yeji masih meragu untuk bicara kepadanya. Dirasa, memikirkan cara agar kekecewaan Hyunjin luntur lebih sulit dibandingkan dengan menghiburnya.

Tapi sebelum langkahnya semakin dekat, Yeonjun memanggil Yeji.

"Yeji."

Membalik badan, Yeji mengangkat alis. "Iya?" Lalu Yeonjun mendekatinya.

"Ada satu yang belum aku bilang."

"Apa?"

"Jangan pernah terkecoh dengan keinginan kecil. Cuma karena itu, bisa bikin kamu kehilangan sosok yang disayang."

"Dan, jangan pernah salah pilih." Lanjut Yeonjun lagi.

Yeji kembali termenung, bukan berpikir tapi hanya teringat lagi atas kesalahan besarnya.

"Iya, Yeonjun. Makasih."

Wira tersenyum penuh tulus, tangannya terangkat 'tuk menegur sapaan pisah.

"Makasih juga, udah pernah temani aku walau cuma sebentar. Bekasnya, akan aku kenang. Selalu."

Selesai.

DIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang