Aᴋʜɪʀ-ᴀᴋʜɪʀ ɪɴɪ murid-murid kelas sebelas bersikap kurang ajar pada Ori.
Sudah tiga kali dia ditimpuki tisu bekas saat sedang mencuci tangannya di toilet, dan kemarin mereka berbisik-bisik serta tertawa sekeras mungkin saat melewatinya di koridor asrama-yang memang Ori abaikan sepenuhnya.
Sebenarnya Ori masa bodoh dan nyaris tak punya waktu untuk membalas; seolah tindakan mereka bukan salah satu kesialan yang perlu dia beri pelajaran. Namun kali ini Ori juga mendapat tatapan mencemooh dari teman-temannya sendiri, dan dia tidak mau repot-repot mengurus perasaan mereka.
Sore itu cukup hangat. Sinar senja menyengat pipi Ori dengan lembut. Diam-diam dia merokok di belakang perpustakaan tanpa memikirkan apa-apa, saat Ayana menghampirinya seorang diri. Gadis itu kelihatan gusar, sementara seragamnya terlalu ketat untuk seorang pelajar (tentunya untuk memamerkan jenis keseksian yang usang).
Dan demi Tuhan, seseorang perlu menegurnya bahwa Askana Havika bukanlah perusahaan pakaian dalam wanita seperti Victoria's Secret. Sekilas dia mirip gadis antagonis klise yang sering kau jumpai di buku fiksi (dan sialnya bisa kau temukan di dunia nyata).
"Lo kenal Arshaka?" tanya Ayana langsung, dan Ori mendadak mual. Di mana-mana selalu ada Arshaka, Arshaka lagi, Arshaka terus, seolah-olah mereka bisa mati kalau satu hari tidak menyebutkan nama lelaki itu.
Ori meniup asap yang keluar dari belah bibirnya. Sejatinya dia memang bukan pendusta, dan tidak ada gunanya berbohong pada Ayana yang suka ngotot itu. "Nggak."
"Terus kenapa Arsha bisa tertarik sama cewek kayak lo?!" Ayana kini mencak-mencak seperti wanita tua yang menyebalkan dan pemarah, membuat Ori merasa sangat jengkel sekarang. "Pasti lo duluan, 'kan, yang ngegodain Arsha duluan? Dasar lonte tolol!"
Ya, bagus. Semua orang mulai menghancurkan hidupnya. Termasuk gadis sialan ini.
"Jadi, lo mau manggil gue lonte," Ori lalu menginjak putung rokoknya, "atau tolol?"
***
Mungkin kau bertanya-tanya apa yang menyebabkan Ayana sedongkol itu pada Ori, jadi mari kita menyusuri gedung asrama Askana Havika pada malam yang gerah, melayang bagai asap atau bayang-bayang, pada satu minggu yang lalu.
Sekarang kita menemukan Ori di kamarnya, terlalu jenuh setelah menelusuri setiap kalimat pada buku tebal SBMPTN di pangkuannya. Ruangan itu punya tiga tempat tidur tingkat yang masih kokoh, dan Ori menempati sisi bawah di dekat pintu.
Dia sedang tidur-tiduran di atas kasur, di tengah-tengah keheningan yang menenangkan (kebetulan semua teman sekamarnya lebih suka berada di luar, dan itu berita yang sangat bagus), saat tiba-tiba mendengar suara-suara bising para gadis dari luar. Ori mengetukkan ujung kuku pada bukunya, berdecak karena merasa terusik, tetapi langsung tertegun begitu mulai menguping tanpa usaha.
"Arshaka nanyain cewek kayak dia? Nggak sudi. Pokoknya nggak sudi!" Entah siapa yang berbicara begini, seakan-akan dia menolak kenyataan bahwa dia telah dicampakkan secara sepihak.
Salah satu temannya menyeletuk, "Gue juga nggak percaya, sih. Tapi Adis bilang kalo itu beneran Ori!"
"Duh, sumpah, ya. Masih banyak anak angkatan kita yang lebih cantik dari Ori! Arsha salah liat kali!"
My God.
Bahkan sepuluh menit telah berlalu dan Ori belum bisa menerima kenyataan bahwa gadis yang selama ini Luvi pertanyakan adalah dirinya sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/300247987-288-k787093.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
If We were Flowers
Teen FictionButuh tujuh belas tahun bagi Oriane untuk bertemu Naruna, punya cinta pertama, patah hati perdana, dan melihat dunia dengan bunga. WARNING: This work contains depictions of violent sexual assault, physical abuse, harsh words, and bullying. Reader di...