vi.

22 4 2
                                    

Nᴀʀᴜ ᴍᴇᴍʙᴀꜱᴀʜɪ ʙɪʙɪʀɴʏᴀ dengan gugup---kebiasaan yang sering dia lakukan saat melewati beberapa murid yang hobi menggunjing sebelum bel memekik. Telapak tangannya selalu basah karena keringat, dan dia tak pernah sanggup memalingkan pandangan dari tanah. Namun, meskipun hari-hari yang dia lalui tak pernah lebih baik dari sebelumnya, Naru merasakan sesuatu yang berbeda---bukan, tetapi lebih tepatnya keanehan---karena tidak ada satu pun yang mau repot-repot menghinanya di pagi yang ganjil itu.

"Lo tahu cewek preman dari SMA Aksana Havika, nggak? Katanya dia ngehajar si Bagas sampai giginya patah cuma pakai satu tangan! Kuat banget! Padahal Bagas hobinya juga tawuran!"

"Gila! Dia nonjok Bagas sekeras apa, ya? Kalau nggak salah dengar ayahnya itu ketua gangster. Nggak heran, sih, kalau anaknya psikopat begitu. Tapi semalam gue dikasih tau Lili kalau katanya anaknya cantik banget. Lumayan tinggi juga. Spek model gitu, deh!"

Kira-kira begitulah percakapan yang menggema di sepanjang koridor itu.

Cewek preman? Kerutan tercetak di kening Naru. Lumayan tinggi?

Selagi melangkah pelan-pelan menuju kelasnya, kedua mata biru Naru kini berusaha menerawang penglihatannya pada malam---yang anehnya---hangat itu.

***

Naru kerap mengabaikan raungan perutnya bersamaan dengan piring-piring berminyak yang dia bilas dengan busa sabun cuci piring saat gelap telah merajai langit.

Tiga juru masak serta satu platter---yang Naru tahu dia tidak pernah bisa akrab dengan mereka----terlalu sibuk dengan berbagai macam hidangan yang harus disajikan untuk pembeli. Dari sudut matanya, dia bisa menyaksikan beberapa pelayan juga, bolak-balik menyerahkan pesanan dan sajian sambil mendesak para koki dan platter untuk bergegas mengoper makanan pelanggan, yang dibalas gerutuan tanpa akhir oleh mereka.

"Buruan, Farhan! Ini daritadi udah ditungguin!"

"Sabar, dong! Gue takut salah masukin bumbu, nih! Nanti gue yang repot kalau kena semprot customer!"

Pramusaji yang lain tiba-tiba menghampiri mereka.

"Sal! Sal! Lo dipanggil ibu-ibu di meja nomor delapan, tuh!"

"Sebentar, gue ke sana!"

Mereka terlihat hidup, terlalu hidup. Betapa kontrasnya hiruk-pikuk itu jika dibandingkan dengan Naru yang selalu pucat dan muram, seolah-olah dia lebih tampak seperti sosok yang keluar dari foto usang ketimbang manusia sungguhan. Dapur sempit itu, orang-orang itu, keributan kecil yang ditimbulkan si koki dengan si pramusaji itu, aroma hidangan yang diam-diam berdansa di udara itu, uap hangat yang mengepul seperti hendak melarikan diri itu, bermacam-macam peralatan masak yang menggantung itu, bahkan gelas dan sendok yang dijamah olehnya itu.

Dia selalu bertanya-tanya pada hari yang tidak pernah hangat lagi baginya, pada setiap derap kaki menuju tempat makan yang selalu ramai (hingga digosipkan pakai penglaris), dan pada setiap waktu yang terus bergulir, pada Tuhan, dipenuhi kebingungan mengapa dia bisa bertahan hidup sejauh ini. Rasanya Tuhan seperti menolak untuk mendengar kabar kematian Naru, di mana Naru, yang ironisnya, sering memikirkan soal kematiannya sendiri lebih dari apapun, terutama saat di tengah ingar-bingar kehidupan manusia.

Apa yang terjadi apabila kita mati?

Pertanyaan seperti itu kerap menyambar pikiran Naru. Apakah dia memang pantas membusuk di neraka seperti yang diucapkan semua orang? Apakah semuanya akan lebih baik kalau dia tidak ada? Seharusnya ketika ayah tirinya mencekiknya, ketika Bagas dan kawan-kawannya menghabisinya sampai babak belur, ketika perutnya terasa seperti dililit akar keras, dia tidak selamat.

If We were FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang