Lᴇʟᴀᴋɪ ʏᴀɴɢ ꜱᴇʀɪɴɢ ᴅɪɢᴏꜱɪᴘᴋᴀɴ itu namanya Naru, dan orang-orang benci berada terlalu dekat dengannya.
"Warna matanya aneh. Tangannya juga banyak bekas luka. Jijik. Jangan-jangan sebadan kulitnya kayak gitu. Percuma muka cakep tapi burik! Nggak bakal ada cewek yang mau! Perawatan, dong! Emang susah banget, ya, ngerawat diri sendiri?"
"Jangan begitu. Naru itu 'kan miskin. Bayar SPP sekolah aja nggak mampu, makanya dibantuin kepala sekolah. Eh, tapi lo tau nggak, sih? Katanya Naru itu homo. Burik, miskin, homo lagi. Beneran sampah masyarakat."
"Jijik banget! Jangan deket-deket Naru! Dia bawa penyakit!"
Suara-suara itu lenyap. Naru membuka mata. Kamar itu gelap, dan sinar bulan menggantung seperti tirai di sudut kamar, nyaris redup. Dingin menusuk-nusuk kulit kakinya. Ditengoknya wajah Laila di sisinya, bersamaan dengan titik-titik keringat di dahinya.
Cahaya bulan membantunya untuk melihat lebih jelas-bahwa Laila mungkin kedapatan bermimpi buruk lagi. Sedikit-sedikit dia menghentakkan kaki sehingga seprai kasur itu jadi kusut dan menyebabkan selimut tipis itu tersingkap.
"Laila?" bisik Naru. Dia mengusap rambut gadis itu yang lembab karena keringat.
Napas Laila memburu. Dalam tidurnya dia kembali menangis-setiap malam-pada penderitaan tak berujung, luka tak terlihat, serta harapan yang mustahil. Dia masih enggan membuka mata, tetapi sedikit mendesiskan beberapa kata. "Jangan pukul. Sakit. Sakit."
Naru menggigit bibirnya sendiri, cukup keras hingga dia nyaris terluka. Dipeluknya tubuh Laila yang sama kurus dan rapuh seperti dirinya. Tangisan Laila semakin kencang, dan hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. Mungkin bulan juga turut hadir, mengintip di balik awan-awan malam, ikut menyaksikan tanpa menarik cahayanya kembali.
Beruntung malam itu Laila segera kembali tenang. Kerutan di dahinya mengendur. Sambil memeluk adiknya, Naru memandangi dinding. Warnanya sudah lama memudar, sedikit pucat seperti wajah bulan. Kemudian dia melihat bayangan dirinya yang lebih muda.
Naru mengedipkan mata lagi, dan bayangan itu menghilang. Apabila matanya menolak untuk terpejam, bayangan itu berdiri di sudut kamar, berwujud setipis kabut. Entah untuk apa dia di sana, Naru sendiri tidak yakin.
Naru lalu menghela napas. Malam ini pasti akan panjang. Dalam tidurnya, selalu hanya ada kehampaan juga ketiadaan, dan dia tidak tahu sudah berapa lama dia dilahap oleh keduanya. Ada juga sebuah luka yang menganga, melebar pada malam-malam berikutnya.
Kalau memang tak ada kebahagiaan yang tersisa untuknya, apakah ada setitik kebahagiaan untuk Laila?
Apakah bulan bersedia membantunya?
***
Pagi ini mendung. Anginnya agak kencang. Sinar matahari gagal menembus awan-awan tebal yang menggantung di langit, jadi rumah itu agak gelap.
Telur habis. Roti juga habis. Tak ada beras yang tersisa. Kulkas itu kosong melompong, sementara di meja makan hanya ada botol-botol alkohol bekas dan beberapa putung rokok yang penyok.
Naru beruntung karena ayah tirinya sedang tidak ada di rumah. Pria brengsek itu biasanya langsung melempar botol beling padanya kalau tidak ada makanan yang terhidang di atas meja, atau mungkin mencekiknya sampai lehernya memar-memar. Kalau sudah begitu, Naru terpaksa pakai jaket ke sekolah supaya tidak ada yang curiga.
"Lai, maaf ya hari ini kita nggak bisa sarapan," tukas Naru pada Laila yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tasnya. Gadis itu hanya mengangguk, lalu sedikit tersenyum. Mereka sama-sama tahu kalau gaji yang didapatkan Naru sebagai tukang cuci piring yang tidak seberapa itu seringkali dihabiskan oleh ayah mereka untuk judi serta lebih banyak bir-bir kaleng.
Kadang tidak ada uang yang tersisa untuk membeli kebutuhan pokok atau membayar tagihan listrik serta air, jadi Naru suka mencari pekerjaan sampingan lain yang cocok untuk anak SMA, walau dia selalu ditolak. Alasannya karena mereka tidak menerima pelamar yang masih sekolah.
Seperti biasa bu Putri berdiri di balik jemuran. Sorot matanya yang tajam mengamati Naru-seperti biasanya lagi-seolah-olah Naru telah membunuh kucingnya. Naru menoleh pada wanita tua itu, yang selalu terlihat menggerutu, lalu tersenyum kecil.
Yang Naru tahu bu Putri adalah seorang janda dan sudah bertahun-tahun tinggal sendirian. Rumah mereka bersebrangan, dan setiap pagi wanita itu selalu ada di halaman depan rumahnya, diam-diam mengawasinya dan Laila yang hendak pergi ke sekolah.
"Mari, bu." Naru tersenyum lagi saat dia berjalan bersama Laila di sisinya, dan bu Putri tak pernah membalas sapaan Naru sesering apa pun Naru bersikap ramah, tersenyum pun terlihat ogah. Dia hanya memalingkan wajah, berbalik, lalu membanting pintu begitu melengos dan kembali memasuki rumah.
Hal yang sama terjadi pada saat Naru dan Laila melewati sekumpulan wanita paruh baya di lapangan sempit (mungkin mereka sedang bersiap-siap untuk senam pagi, tetapi siapa juga yang mau senam di bawah langit mendung begitu?).
Ketika Naru melempar senyum, mereka pura-pura tak melihatnya. Namun begitu dia dan Laila berjalan mendahului mereka, punggungnya seolah-olah merasakan tatapan tajam yang menusuk. Kau memang tak melihatnya, tetapi kau akan selalu tahu apabila seseorang mengawasimu secara sembunyi-sembunyi.
"Kakak nggak bakal balik ke Italia, 'kan?" tanya Laila tiba-tiba. Dia masih menghadap ke depan tanpa sekalipun menoleh padanya.
Naru tertegun. Ini pertama kalinya Laila bertanya demikian. Gagasan tentang kembali ke Italia pun tak pernah singgah dalam kepalanya, dan sekarang Laila menyinggung soal itu. Dirangkulnya pundak gadis itu supaya mendekat padanya. Sejenak Laila terkejut, tetapi dia masih diam saja.
"Kakak, 'kan, sayang Laila, masa kakak pergi tinggalin Laila?" jawab Naru yang gagal menyembunyikan senyuman.
Itu benar. Italia adalah kampung halamannya, dan ibu kandungnya merupakan seorang wanita muda asal Italia. Inilah alasan mengapa matanya berwarna biru pucat, mata yang begitu asing bagi kebanyakan orang di kota kecil itu.
Laila melingkarkan salah satu tangannya di pinggang Naru. Dia terkekeh kecil. "Kak, ngomong bahasa Italia, dong. Nanti aku tebak artinya."
"Sarai per sempre mio angelo¹," kata Naru, "nah, artinya apa?"
Laila mengerucutkan bibirnya seperti bentuk hati. "Nggak jadi tebak, deh!"
Mereka kemudian tertawa dan terus berjalan sambil merangkul satu sama lain.
***
"Lai, hari ini kakak gajian, kamu mau apa?"
Mereka hampir tiba di depan gerbang sekolah Laila, SD Wijaya Kusuma. Beberapa murid sudah terlihat memasuki gerbang besi yang agak karatan itu. Jejeran mobil memenuhi lahan parkiran. Sayup-sayup, terdengar hiruk-pikuk anak-anak dari lapangan depan.
Laila mengerutkan kening. "Tas masih bagus. Sepatu juga. Kotak pensil juga. Hmm, apa, ya? Oh, sticky notes! Ya, ya, aku butuh itu buat belajar. Hari Minggu kakak libur, 'kan? Temenin aku ke toko sederhana, ya?"
Sebetulnya Naru mau-mau saja menemani Laila. Toh, dia sering dapat shift malam di kafe tempatnya bekerja. "Iya nanti kakak temenin. Oh, ya, Lai. Kakak masih ada uang tujuh ribu. Nanti kamu harus jajan, ya?"
Laila mengangguk girang saat Naru memberinya dua lembar uang yang agak kusut. "Beres, kak! Grazie²!"
Naru menyeringai. Dikecupnya adik tirinya itu berkali-kali. "Ti voglio bene³."
"Kak Naru, udah, ih! Malu!" ucap Laila sedikit mengerang, lalu mendorong wajah abangnya dan berpura-pura sebal. "Aku masuk dulu. Dah!"
Hangat merayapi hati Naru. Sekejam apa pun takdirnya, tak ada yang bisa menyangkal betapa dia menyayangi Laila, tak peduli dengan fakta bahwa mereka tak berbagi darah yang sama.
Dan sekarang dia harus pergi ke sekolah, ke SMA Pramadana. Naru mengulum bibirnya.
Hell, here I come. []
***
_____________________
¹Kamu akan selalu menjadi malaikatku.
²Terima kasih.
³Aku sayang kamu.

KAMU SEDANG MEMBACA
If We were Flowers
Roman pour AdolescentsButuh tujuh belas tahun bagi Oriane untuk bertemu Naruna, punya cinta pertama, patah hati perdana, dan melihat dunia dengan bunga. WARNING: This work contains depictions of violent sexual assault, physical abuse, harsh words, and bullying. Reader di...