i.

71 8 7
                                    

"Eᴍᴘᴀᴛ ʙᴇʟᴀꜱ ᴍɪɴɢɢᴜ? Lama banget."

Semester lima sudah mulai sejak dua hari yang lalu, dan sekarang Ori berbaring malas-malasan di atas meja. Diayunkannya kedua kakinya itu selagi dia menghitung hari dengan kalender.

Siang ini harusnya jadwal pelajaran sosiologi, tetapi bu Salma dikabarkan demam. Dan harusnya lagi penghuni kelas IPS 2 merangkum dua belas halaman buku teks sosiologi alih-alih tidur siang atau menggosip di sudut ruangan.

Luvi, teman dekatnya, tiba-tiba menyahutnya. "Baru juga masuk sekolah. Santai aja. Nanti tau-tau liburan lagi."

"Tapi semester ini kita harus ngelewatin banyak tryout, baru bisa liburan," tukas Ori sambil mendesah, lalu meletakkan kalender ke atas perutnya. "Omong-omong, gue belum kepikiran mau kuliah di mana, Vi."

"Kalau gue jadi lo, gue sih bakal santai. Soalnya lo kan pinter." Luvi lalu menyeringai dan menaikkan kedua bahunya.

Ori yang mendengarnya hanya menarik salah satu sudut bibirnya. Pintar bukan berarti sebuah jaminan bahwa dia bakal diterima di perguruan tinggi unggulan. Dia juga perlu mengandalkan strategi, dan sedikit keberuntungan.

Ori mengedipkan matanya. Sekali. Dua kali. Sebelum dia lulus nanti, kenangan masa sekolah seperti apa yang ingin dia ciptakan? Mungkin dia bakal belajar terus-terusan, bersenang-senang dengan teman-temannya, atau mungkin dekat dengan lelaki seumurannya, meskipun kedengarannya mustahil.

Membayangkan dirinya bermesra-mesraan dengan seorang pria saja sudah membuat dirinya bergidik ngeri. Yah, mungkin kenangan saat SMA ini sama saja seperti waktu dia SMP, tanpa kekasih, dan Ori yakin sekali akan hal itu.

Masa remaja tanpa pacar, siapa takut? pikirnya, lalu tersenyum samar.

"Ri, balik ke kamar, yuk! Udah jam segini, nih!"

Ori bangkit. Senyuman masih bertengger di wajahnya.

"Yuk."

***

Semua orang tahu bahwa SMA Askana Havika adalah sebuah sekolah asrama khusus perempuan yang terletak di daerah perbukitan. Banyak masyarakat sekitar yang menjuluki SMA Askana Havika sebagai sekolah elit karena biaya pendaftaran yang cukup mencekik.

Namun alasan Ori sekolah di sini sebetulnya bukan karena reputasinya, melainkan karena tuntutan ayahnya yang khawatir kalau sisi feminin dalam diri putrinya memudar.

Masalahnya, Ori tumbuh tanpa asuhan ibu. Ayah bilang beliau sakit keras dan meninggal saat umurnya satu tahun, dan hanya itu yang Ori tahu. Ayahnya tak pernah bicara apa-apa lagi soal itu, tetapi dia tahu bahwa pria itu diam-diam suka menangis menjelang malam, di mana taburan bintang dan bulan bertotol membisu seolah-olah ikut berkabung.

Di sisi lain, Ori melewati fase-fase kehidupan dengan canggung-dia benci mengakuinya-dan apatis. Saat dia SMA pun juga tak ada yang berubah selain satu hal-dia mulai belajar bela diri. Itu kemajuan yang bagus, bukan?

Namun ayahnya menentang, dan lagi-lagi, karena alasan femininitas putrinya. Mengingat dalih tersebut selalu membuat Ori geram bukan main. Terlepas dari apa pun gendernya, bela diri merupakan hal yang penting.

Dan sekarang Ori sudah menjajahi tahun ketiga-tahun kejayaan para senior. Bersamaan dengan beberapa hak istimewa yang Ori dapatkan, dia tak pernah sekalipun dekat dengan adik-adik tingkat-takkan pernah-usai membongkar kasus penyelundupan kunci jawaban ujian semester lalu.

Mereka serta-merta muak padanya, tetapi Ori bukan jenis seseorang yang gampang simpatik. Dia tebal muka, asal tidak berkepala kosong seperti anak-anak bau kencur itu.

Hanya Luvi yang betah dekat-dekat dengannya. Tak ada yang suka berteman dengan Ori karena tak ada yang suka dibanding-bandingkan dengan orang lain.

Namun sekali lagi Ori masa bodoh. Yang perlu dia lakukan hanya menendang siapapun yang berniat merebut posisi rankingnya (karena dia dapat uang saku dari kepala sekolah), dan bertahan (secara harfiah).

Secara singkat, kata 'membosankan' lekat dengan Ori.

***

"Oh iya, Vi. Kenapa lo mau temenan sama gue?" tanya Ori tiba-tiba, tepat setelah pikirannya buyar.

Kini mereka berjalan menuju ruang makan. Beberapa anak kelas satu berlarian sambil memekik kegirangan di lorong demi hidangan siang ini-rolade daging yang empuk dan potongan semangka segar.

Luvi melipat bibirnya, merasa jengkel sebab bahunya nyaris bertabrakan dengan mereka. Dia kemudian menatap Ori begitu lorong kembali sepi. "Karena menurut gue lo itu keren, Ri. Lo bisa bikin orang-orang segan sama lo. Kalau lo sendiri? Kenapa lo mau temenan sama gue, Ri?"

Ingatan Ori melayang-layang seperti asap. Dia hanya ingat beberapa potong kenangan, selebihnya seburam jendela yang diselimuti bulir-bulir hujan. Namun gambaran itu masih ada, selalu singgah dalam kepalanya.

Ori ingat bagaimana Luvi mengajaknya makan siang bersama di hari pertama sekolah, tanpa keraguan. Hanya ketulusan yang dia temukan di mata gadis itu. Dan Ori memang terharu. Dia jujur soal itu.

"Karena lo baik, Vi," jawab Ori. Setelah itu dia tersenyum. "Makasih, ya, karena mau temenan sama gue."

Tawa Luvi menyusup ke telinga Ori-nyaring tetapi juga lembut. Gadis itu lalu merangkulnya, meskipun tubuh Ori sedikit lebih tinggi. "Kayak sama siapa aja lo, Ri!"

Senyuman Ori semakin lebar. Mereka menyusuri koridor yang kosong itu.

***

Ori dan Luvi memilih meja di ujung ruangan dengan alasan privasi-begitu kata Luvi saat mereka membawa nampan makan masing-masing-karena dia hendak berbagi cerita (itu pasti gosip) tentang para lelaki rupawan dari sekolah luar.

Menyimak desas-desus bukanlah kegemaran Ori, dan Luvi tahu benar akan hal itu. Namun Luvi tetaplah Luvi. Selalu ada hal yang dapat dikatakannya-apapun itu-dan Ori hanya mendengarnya, tanpa berbisik sepatah kata.

"Lo tau nggak sih, Ri. Jadi tuh ada cowok ganteng dari SMA Pramadana. Namanya Arshaka. Pas liburan, Arsha bilang ke Adis kalau dia suka sama salah satu anak angkatan kita, Ri! Cuma Arsha nggak mau kasih tau siapa orangnya. Kebayang nggak, sih, kira-kira siapa yang jadi gebetannya Arsha?

Menurut gue itu pasti Ayana. Soalnya dia cantik banget, sih. Tapi Arsha sempet kasih tau satu ciri-cirinya. Katanya cewek itu rambutnya sedada, sementara Ayana rambutnya selengan. Apa jangan-jangan Rania, ya? Soalnya dia juga cantik, terus rambutnya kira-kira sedada, lah! Duh, jadi penasaran banget gue! Kalau menurut lo siapa, Ri?"

"Yang pasti bukan gue," balas Ori. Dia membenamkan gigi-giginya pada sesendok rolade, dan mulai mengunyah.

Luvi pura-pura menggulingkan bola matanya. "Karena rambut lo sebahu, Ri. Lo kan sempet cerita kalau rambut lo suka rontok. Jadi lo selalu potong rambut pas liburan."

"That's it." Ori mengulum bibir. Dia mengangkat alis begitu memperhatikan panjang rambut gadis di hadapannya. "Bukannya rambut lo sedada, Vi?"

Luvi menunduk hanya untuk membuktikan ujaran Ori. Memang benar ujung rambutnya menggapai dadanya, tetapi rupanya tidak begitu dia menegakkan lehernya. "Lo liat sendiri, 'kan?"

"Iya, sih," timpal Ori singkat. Tiba-tiba rasa penasaran mengguyurnya. "Tapi, Vi, lo tau Arsha dari mana?"

"Gue tau dia dari kelas sebelas. Waktu itu Ayana sempet heboh soal si Arshaka karena dia ganteng banget! Tapi sejauh ini gue nggak pernah ketemu langsung sama orangnya, sih, cuma liat fotonya lewat sosmed. Gue pengen kasih liat fotonya ke lo, Ri, tapi kita kan nggak boleh pegang handphone." Luvi kemudian mendesah kecewa.

Ori kembali mengunyah makan siangnya sambil mengangguk-angguk pelan. Kepalanya dipenuhi dengan bayangan seorang lelaki yang berpenampilan penuh gaya. Mungkin dia sama seperti lelaki lain yang Luvi sukai: romantis, pencinta masalah, atau bisa jadi terlalu cuek.

Namanya Arshaka, ya, pikirnya.

Namanya manis. []

***

If We were FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang