Lᴜᴠɪ ꜱᴇʟᴀʟᴜ ᴍᴇɴɢᴀᴛᴜᴘᴋᴀɴ bibir apabila eksistensi Ori merayap ke sudut matanya.
Mereka tidak pernah berbicara apa-apa lagi sejak pagi yang aneh itu. Tidak ada kata yang saling betukar atau lelucon yang terlontar. Alih-alih hanya ada lirikan yang canggung, terlalu asing, seolah-olah ingatan mereka tentang satu sama lain telah tercabut dari kepala mereka.
Luvi selalu menghindar serta mengabaikan Ori yang sangat memerlukan penjelasan masuk akal mengenai persoalan itu.
Namun Ori tidak bodoh. Dia benci bergantung pada prasangkanya sendiri yang terus menjelma seperti burung-burung aneh berparuh gemuk, mencacau dengan suara melengking yang ganjil dan tidak masuk akal. Ori mendapati burung-burung di kepalanya sering berceloteh kalau Luvi melempar kesalahan padanya mengenai rumor dirinya dan Arshaka, dan bahwa sebagus apapun Ori berdalih, semuanya tetaplah sia-sia. Tidak ada yang bisa mengusir sikap dingin yang merasuki Luvi, atau cara dia mendelik dengan gusar jika Ori berusaha menegur. Menahan luapan amarah, Ori nyaris memaki habis-habisan seharian itu. Wajahnya terus merengut, seolah-olah hidupnya hanyalah serangkaian peristiwa yang mengecewakan.
"Sialan," ucapnya mencemooh kepada siapapun, entah pada malam yang membekukan pikiran, Ayana yang tolol, Luvi yang konyol, atau mungkin Arsha yang-
Itu dia, pikirnya. Arsha, Arshaka, atau bagaimanapun namanya disebutkan, Ori bersumpah akan menemukan lelaki itu.
Tetapi untuk kali ini, di antara kegelapan malam yang membungkus kota itu, Ori bersandar pada dinding kotor dan berlumut di gang sempit yang bersebelahan dengan toko sepatu kulit, terlalu lelah juga sedih dalam beberapa hari terakhir. Namun setidaknya dia saat ini berada di kawasan satu, lingkungan kumuh yang paling dihindari teman-teman satu sekolahnya. Ori tidak munafik kalau berkata dia butuh ketenangan dari sebungkus rokok di genggamannya. Dihimpitnya ujung filter rokok ke bibirnya sembari merogoh pemantik api dari sakunya. Begitu nyala api berhasil menunjukkan dirinya, Ori mendekatkannya pada sudut rokoknya, dan dia mulai menghisapnya hingga menyala. Dengan lembut asap sigaret diserap olehnya, dan Ori menahannya sejenak, sebelum akhirnya melepasnya dengan sekali tiupan.
Seragamnya perlahan beraroma sigaret, dan bila wali asrama mengetahui Ori kelepasan merokok lagi, dia tahu betul ayahnya akan dipanggil, lalu dia akan diguyur dengan berbagai rentetan kalimat tentang "bahaya merokok bagi anak muda" atau "masa depan yang bisa lebih baik". Memikirkan gagasan itu membuat Ori terkikik jika membayangkan wajah ketakutan ayahnya, seolah-olah dia tidak pernah percaya putrinya bisa berteman baik dengan masalah.
Namun kemudian bayangan wajah ayahnya di benak Ori tersamarkan menjadi wajah Luvi, yang dipenuhi kemarahan dan rasa muak di setiap titik di mukanya, terutama pada kedua mata yang bulat dan gelap itu. Hal itu membuatnya nelangsa sehingga tawanya menjelma menjadi tangisan lirih yang berasal dari jiwanya yang lain, jiwa berupa dirinya yang lebih muda. Ori dan jiwa itu berbagi luka yang sama, luka berbau pengkhianatan, luka yang hanya bisa sigaret sembuhkan, setidaknya untuk sementara. Dia merasa luka itu akan membunuhnya, sebanyak apapun dia merokok, yang tidak lagi mempan untuk menyamarkan kesedihannya. Pada akhirnya air mata Ori lolos begitu saja.
Pada akhirnya ada seseorang menyaksikannya begitu rentan.
Sebuah bayangan memblokir penglihatan Ori dari lampu jalan yang suram dan terlalu banyak berkedip-kedip itu. Dengan tergesa-gesa dihapusnya sisa-sisa kepedihan yang terlihat menyedihkan itu. Sejenak perasaannya menjadi gusar. Dari sekian banyak wajah palsu yang dia ciptakan untuk mengelabui alam semesta, mengapa beberapa hari ke belakang selalu ada orang lain yang tidak tertipu? Apakah itu lelaki yang dia temui pada malam di mana dia mengutuk Ayana setengah mati karena menyebabkan rasa perih di pipinya, Ori menoleh untuk mencari tahu. Kali ini cahaya temaram lampu yang sekarat itu dapat menyapanya kembali, dan juga tubuh lelaki yang sekarang menuju ke hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If We were Flowers
Подростковая литератураButuh tujuh belas tahun bagi Oriane untuk bertemu Naruna, punya cinta pertama, patah hati perdana, dan melihat dunia dengan bunga. WARNING: This work contains depictions of violent sexual assault, physical abuse, harsh words, and bullying. Reader di...