vii.

11 4 0
                                    

Bᴇʟᴀᴋᴀɴɢᴀɴ ɪɴɪ, ada banyak hal yang dapat menganggu Ori, terutama kenyataan bahwa cowok sialan yang dia tonjok tempo hari terus meracau kalau dia tidak mengenal seseorang bernama Arshaka sebanyak apapun Ori menggertaknya. Dia berharap si bodoh itu tidak membual padanya, meskipun sulit bagi Ori untuk memercayai kemungkinan tersebut.

Tetapi rumor tentang Arshaka yang sering berseliweran di sela-sela percakapan anak-anak cewek di sekolah itu terlalu nyata untuk disebut imaji, kalau-kalau si berengsek itu menyemburkan kebenaran. Perlahan-lahan, desas-desus yang menyebar mengenai dirinya membentuk gambaran bagaimana sosok Arshaka diyakini: elok, memesona, serta memukau. Hal yang paling aneh, menurut Ori---saat dia memikirkan segala hal yang terjadi sambil mengerjakan hukuman memotong rumput (dan, ya, dia pada akhirnya kepergok wali asrama kabur dari lingkungan sekolah)---adalah bagaimana tampaknya semua orang membenarkan fantasi soal Arshaka tanpa mengenali lelaki itu secara absolut, terlepas dari seperti apa bentuk realitanya.

Namun, sekali lagi, manusia itu memang aneh, bukan?

Ori menyeringai ketika menggenggam seikat rumput kering dan memasukkannya ke kantung plastik. Bahkan dia sadar betul alasan orang-orang---termasuk Luvi---membencinya, dan bagaimana gosip soal dirinya menjalar seperti akar-akar kebohongan yang mutlak. Dua hari yang lalu, Hani, dengan perasaan cemas, memberi tahunya bahwa murid-murid di kelasnya membicarakan Ori dan menuding bahwa Ori-lah yang bersikap genit pada Arshaka ketika, di saat yang bersamaan, Ori hampir kehabisan akal dalam misi pencariannya menemukan lelaki itu. Hah, masa bodoh dengan penilaian orang-orang terhadap dirinya, tidak ada yang bisa menghentikan niat Ori untuk mencari tahu keberadaan Arshaka.

Pertama-tama, Ori rasa dia perlu menemui Ayana.

***

Biasanya Ayana bakal menendang kursi Ori atau melempar penghapus tepat ke kepalanya sebelum pelajaran pertama dimulai, tetapi pagi itu dia dapat terlelap hinggal bel berbunyi. Itu berita bagus, dan meskipun aneh, hal itu tidak begitu Ori hiraukan. Dia memindai suasana kelas yang sudah ramai dipenuhi murid kelas IPS 2, sudah menduga bahwa dia akan mendapati Luvi yang asik melontarkan sesuatu yang terlihat lucu dan menarik pada teman sebangkunya yang baru, karena setelahnya mereka sama-sama cekikikan. Melihat keakraban yang tidak biasa dan sangat tiba-tiba itu membuat Ori bergidik. Percakapannya dengan Luvi masih segar dalam ingatannya, khususnya pada bagian hinaan Luvi soal gaya berpakaian gadis malang itu.

Dan omong-omong, baguslah kalau Luvi sudah menggeser posisinya dengan orang baru. Ori tidak perlu merasa munafik di depannya (dia sejujurnya benci dengan semua gosip yang dibawakan Luvi). Dia sendiri sudah tidak tahan pada segala keanehan pertemanan wanita, seolah-olah dia disajikan pementasan drama yang buruk serta digelayuti kebohongan, seakan-akan hal itu lumrah dilakukan dan sepenuhnya bagian mutlak dalam kehidupan, seperti hidup, mati, dan berpura-pura menyukai teman kita. Atau mungkin itulah cara kita bertahan hidup, yaitu dengan bersandiwara.

Kali ini Ori menangkap bayangan Ayana di retinanya, yang sedang bercakap-cakap dengan Rania. Dia tidak terlihat banyak lagak, malah terlalu banyak kegelisahan yang bisa Ori tangkap dalam sekali kedipan. Itu sungguh aneh. Hampir semua orang tahu bahwa Ayana benci menampakkan emosi yang berkaitan dengan ketidakberdayaan, seperti rasa cemas dan kegundahan. Mungkin itulah kesamaan antara Ori dengan Ayana; mereka sama-sama benci bila diperbudak oleh rasa takut.

Bu Sintia, guru Bahasa Indonesia, mungkin terlambat---seperti biasa---entah karena alasan apa kali ini, jadi Ori memakai kesempatan itu untuk beranjak dari tempat duduknya, setengah terhuyung-huyung karena kepalanya mendadak pening akibat berdiri dengan tiba-tiba. Sambil menautkan alis menahan rasa nyeri, dia mendekati Ayana, lalu menukas, "Ayana, ada hal yang mau gue bahas sama lo."

If We were FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang