Tɪᴅᴀᴋ ʙᴜᴛᴜʜ ᴡᴀᴋᴛᴜ yang lama bagi Naru untuk mengetahui bahwa gadis itulah yang pernah dia jumpai, dan beberapa menit sebelum itu, dia memintanya untuk ikut bersamanya (entah ke mana mereka akan pergi). Tetapi sekalipun itu dia sama sekali tidak menoleh untuk melihat apakah Naru melakukannya, seolah-olah dia memang tahu si lelaki akan mengekorinya, di saat Naru sendiri tidak tahu mengapa dia melakukan hal tersebut (bahkan dia emtah bagaimana tidak merasakan keraguan sama sekali).
Dia meraih sisi depan topinya dan menarik ke bawah supaya hanya separuh wajahnya saja yang bisa terlihat. Meski gadis itu terus berjalan di depannya dan tidak melihatnya, Naru sungguh merasa malu, dan jauh di dalam lubuk hatinya, dia ingin perasaan itu segera sirna. Rasanya dia ingin sekali berlari karena tidak sanggup menjaga kedekatan dengan orang lain, membela diri atas apa yang gadis itu lihat, atau hanya menangisi perasaan hina pada dirinya, meskipun si perempuan---yang masih mengunyah permen karet---belum menyinggung soal itu lagi.
Dia pasti melihat semuanya, pikir Naru, seketika dia kembali gelisah. Kepalanya diserbu pertanyaan-pertanyaan tak berujung. Kira-kira, apa yang dia pikirkan tentang kejadian tadi? Apakah dia merasa jijik? Apakah dia setuju bahwa betapa memalukannya eksistensi seorang lelaki yang hampir dilecehkan? Apakah dia akan mengatakan hal ini pada orang lain? Tetapi untuk apa dia berbicara seakan-akan mau menghentikan perbuatan para bedebah itu padanya? Lebih tepatnya, mengapa dia melakukannya? Apa---
"Apa kamu malaikat?" tanya Naru parau, yang sesudahnya disusul sentakan keras, seakan dia baru saja terbangun dari mimpi buruk dari yang terburuk.
Oh, dasar mulut keparat! Naru terus-terusan merutuk. Dia serta-merta menjadi kelesah. Kuku jempolnya menusuk-nusuk jahitan di jaketnya. Sikapnya tadi jelas betul-betul keterlaluan bagi sang gadis penyelamat. Semoga dia tidak dihukum atau dihina atas pertanyaan yang lancang itu! Kegelisahan datang lagi untuk meringkus dirinya, dan Naru kembali bertanya-tanya. Kira-kira tanggapannya bakal seperti apa? Kira-kira permohonan ampun jenis apa yang gadis itu inginkan? Oh, apa tepatnya yang harus dia lakukan? Perasaan bingung, gugup, kalut, segalanya, bercampur dan betul-betul membunuhnya perlahan, seperti cara kerja racun pada tikus yang sekarat.
"Bukan," jawabnya enteng. Suaranya disisipi tawa kecil. Pastilah dia menertawakan ketololannya!
Dia berhenti, lalu berpaling pada Naru yang tengah menunduk memandangi kakinya. "Nama gue Orianne, bukan malaikat. Nama lo siapa?"
"Naru," sahutnya buru-buru dan setengah berbisik.
Naru tidak mengucapkan apa-apa lagi sebagai balasan atas jawaban yang tiba-tiba itu, dia hanya tidak bisa. Lidahnya mendadak kelu, bahkan kedua sepatunya yang jelek terlihat lebih menarik dari pemandangan manapun---setidaknya untuk saat ini. Kepalanya yang biasanya menjadi sarang bagi suara-suara yang suka bergumul satu sama lain kini senyap, seolah-olah khawatir apabila salah satu dari mereka kembali terlontar dari bibir kering tersebut. Mungkin setelah ini dia bakal disumpahserapahi, dan dia sudah bersiap-siap untuk itu.
Namun Orianne---secara mengejutkan---melepas pegangan dari muatan plastik yang dia genggam, lantas menjepit ujung topi Naru dengan ibu jari dan jari telunjuk. Dengan pelan ditariknya topi itu, menciptakan wajah Naru yang tercengang. Mata birunya membesar selebar piring. Pandangan mereka dengan segera bertemu, dan pada saat itulah dia bisa melihat wajah Orianne. Ada pendar penuh keingintahuan di matanya yang indah, cemerlang, sekaligus tajam itu.
Kejadian tadi hanya berlangsung selama empat detik, tetapi cukup membuat Naru cepat-cepat menoleh untuk menghindari amatan yang intens itu. Mereka baru saja bertatapan! Naru mendadak pucat pasi. Tidak. Dia tidak bisa. Dia tidak pernah diperbolehkan. Dia ingat betul larangan tentang menatap mata Ibu panti asuhan dan ayah tirinya, atau dia bakal dihukum seperti yang sudah-sudah.
Dan lagi, Orianne pasti akan mencemooh matanya! Mata biru pudar itu jelas-jelas tampak ganjil, memalukan, serta terlalu menyeramkan seperti apa yang orang-orang katakan padanya, seperti apa yang dia percayai selama ini.
Mata yang kena kutuk Tuhan, demikian Naru menyebutnya.
Alih-alih mendengar bentakan atau cibiran, Naru mendapati sentuhan di dagunya, menariknya kembali ke dunia, ke wajah kuriositas dan terpukau Orianne, ke matanya yang gelap seperti semesta tak terhingga dan tampak tidak mengenali batasan. Napas Naru mendadak terputus ketika samar-samar Orianne berkata, yang lebih menyerupai gumaman, "Mata lo cantik. Jangan ditutupin lagi."
***
Orianne kembali dengan kola dingin, sebungkus roti gemuk, dan air minum di botol plastik. Mereka berdua saat ini sama-sama duduk di tepian pinggir jalan tanpa menghiraukan permukaan beton yang berdebu. Dia meraih sekaleng kola itu dan menyodorkan plastik yang terisi roti serta air minum dengan acuh. Bagian dalamnya lembab karena embun. "Buat lo, nih."
"T-Terima kasih banyak," balas Naru gugup. Tetapi perasaan groginya berumur pendek, digantikan rasa lapar yang menguasai dirinya hampir seharian itu. Insting bertahan hidupnya mengambil alih, nyaris merasuki akal sehatnya begitu melihat makanan layak disantap. Naru, yang sebelumnya bertanya-tanya seperti apa rasanya direngkuh cengkraman dingin kematian, sekarang melahap roti berbadan tebal itu terburu-buru layaknya hewan terlantar yang dibiarkan kelaparan.
Di sisi lain, Orianne yang berada di sebelahnya tidak mengucapkan apa-apa. Dia tidak sekalipun bersuara, bahkan hingga Naru meminum air mineral dalam beberapa kali tegukan. Menyadari bahwa selama itu dia diperhatikan lamat-lamat oleh seorang gadis (pengalaman seperti ini pertama kali baginya, jadi seharusnya wajar, kan?) membuat Naru sekali lagi dikuasai rasa malu dan canggung.
Orianne memiringkan kepala ke satu sisi. Dia tidak menampilkan ekspresi selain roman muka penasaran. Ditatapnya Naru begitu dalam, seolah-olah si pria adalah objek penelitian paling ganjil yang pernah ditemukannya, sehingga Naru menjadi salah tingkah. Tiba-tiba saja dia berkata, terdengar halus dan tidak menyudutkan, "Mata lo bagus banget. Gue suka."
Orianne telah memuji mata birunya secara terbuka, yang terdengar sangat tidak masuk akal bagi Naru. Hidupnya sudah lama dipenuhi ucapan-ucapan jahat yang kasar dan membentak, dan ketika dia mendapatkan sebuah kelembutan dalam suara seseorang selain Laila, otak Naru memberikan sinyal kebingungan, tetapi juga menurunkan tingkat kewaspadaannya. Mereka memang baru saja bercakap-cakap pertama kalinya malam itu (kalau yang barusan bisa disebut percakapan). Akan tetapi, sikap tenang Orianne, cara dia menatapnya, atau berbicara padanya, ajaibnya dapat meredakan histeria Naru sehingga pemuda itu dapat memegang kendali atas dirinya sendiri.
Naru, yang sebelumnya menggoyangkan kaki dengan gelisah, hanya membalas, "Terima kasih." Meski begitu dia masih terheran-heram dengan sanjungan dadakan Orianne dan perihal apa yang membuatnya menyenangi mata biru yang aneh itu.
Dan setelahnya kesunyian menyeruak di antara mereka seperti kabut tak terlihat. Segera saja Naru kembali cemas. Ujung jarinya menusuk kemasan air yang kosong, meloloskan suara krek dari tubuhnya. Ayo katakan sesuatu, bodoh, pikirnya pada dirinya sendiri.
Naru yang malang sesungguhnya tidak pernah benar-benar tahu bagaimana cara berkomunikasi yang tepat---terutama dengan seorang perempuan sebaya. Apa yang harus dia ucapkan sesudahnya? Haruskah dia melontarkan lelucon? Atau pujian? Atau pertanyaan-pertanyaan seperti ... oh, ayo pikir lebih cepat, lebih keras!
"Anu, Orianne-" Perkataan Naru segera disela oleh tawa musikal Orianne yang gemilang itu (Naru tahu itu terdengar berlebihan, tetapi dia serius jika mengatakan suara tawanya terdengar menyenangkan, kontras dengan roman wajahnya yang cukup ketus).
Setelah dia puas tertawa dan menyisakan rona malu di pipi Naru, Orianne berkata, "Orianne kepanjangan. Panggil Ori aja. Maaf tadi gue sela. Lo mau bilang apa?"
Naru berusaha tersenyum meski senyuman itu terlihat sedikit goyah. Dia menelan ludah. Mata birunya terus berkeliaran seperti itik yang lepas dari kandang. Dengan susah payah dicobanya untuk fokus pada satu titik, pada wajah Ori yang bertanya-tanya. Kejenakaan di parasnya mendadak hilang tak berbekas. Naru menarik napas, kemudian melanjutkan.
"Tolong jangan bilang ke siapa pun kalau saya hampir diperkosa, ya?"
Ori menyeringai. Deretan giginya membentur satu sama lain. "Oke. Tapi gue butuh bantuan lo." []
***
KAMU SEDANG MEMBACA
If We were Flowers
Genç KurguButuh tujuh belas tahun bagi Oriane untuk bertemu Naruna, punya cinta pertama, patah hati perdana, dan melihat dunia dengan bunga. WARNING: This work contains depictions of violent sexual assault, physical abuse, harsh words, and bullying. Reader di...