01

514 35 0
                                    


"Nona, mohon jaga sikap anda."

Lisa mendengus kecil ketika mendengar peringatan Kiki, bodyguard yang sengaja di perintahkan Gabriel untuk menjaganya.

Kalau bukan karena keharusan Lisa tidak mau berada di tempatnya sekarang. Bukan masalah tempatnya sih, melainkan suasananya. Dia sangat membenci situasi dimana dia harus bersikap sebagai putri Abraham, meskipun itu kenyataan yang ada, namun dia benar-benar membencinya.

"Gak bisa di gantiin sama Daddy, apa?!" dengus Lisa kesal.

Kiki menggeleng singkat melihat tingkah nona kecilnya itu yang menggerutu sejak tadi. Mereka saat ini memang sedang dalam pertemuan untuk membahas pernikahan Lisa, namun semenjak satu menit pertaman gadis itu sudah tidak bisa diam ditempatnya di tambah dengan bibirnya yang tidak berhenti mengomel.

Beruntung saja gadis itu masih mau menyaut saat di tanya atau di mintai pendapatnya, meskipun terlihat jelas dari sikapnya kalau dia benar-benar malas berada di sana.

"Sayang, kamu gak keberatan kan kalau acaranya di adakan sederhana saja?"

"Ya, terserah saja."

Seperti itulah, Lisa akan menjawab apapun yang di tanyakan padanya dengan malas dan terkesan sangat terpaksa.

Hingga sampai pertemuan itu berakhirpun, Lisa masih menekuk wajahnya dengan frustasi. Sebagai orang yang telah mengikuti gadis itu semenjak sekolah menengah pertama, Kiki tau seberapa frustasi dan putus asanya gadis kecil tuannya itu.

Bahkan saat kedua orangtuanya menghilang dari ruangan itupun, Lisa tidak menyadarinya karena terlalu larut dalam kekesalannya.

"Bisa kau tinggalkan kami berdua?"

Kiki mengangguk mengerti dan tanpa menunggu detik berganti dia pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dan kini tinggal menyisahkan Lisa dan si tuan rumah saja.

"Mereka udah pergi."

Sontak Lisa menatap sofa di samping kirinya saat mendengar pernyataan barusan, dia mendesah lega saat tidak mendapati kedua orangtuanya di sana. Namun kembali kesal ketika menyadari kalau Kiki pun juga ikut menghilang dari ruangan itu.

"Lo ngusir dia?" tanya Lisa sedikit ketus.

Laki-laki itu hanya mengedikan bahunya dengan acuh. "Lo ada masalah sama pernikahan ini?" tanya laki-laki itu balik.

Lisa diam karena bukannya menjawab laki-laki itu malah ikut bertanya balik. Dia menghela napasnya terlebih dulu sebelum menjawabnya.

"Biasa aja."

"Yakin? Tapi yang gue liat lo kek males gitu ada disini."

Lisa mencebik kesal. "Gak salah, sih! Tapi bukan karena itu gue males duduk di sini." katanya membenarkan.

Laki-laki di hadapannya tampak mengangguk paham. Lisa tidak terkejut kalau orang itu bisa mengerti maksudnya, melihat dari siapa orang yang akan menjadi suaminya memang bukan hal besar untuk mengetahui latar belakang dan kehidupan pribadinya.

"Jadi lo siap buat acara besok?"

"Memang saya di izinkan untuk merasa tidak siap, tuan Davindra Arsenio?" ucap Lisa sedikit sarkas, membuat laki-laki bernama Davin itu terkekeh pelan.

Memang tidak.

"Oke. Tapi sebelum itu gue mau kita buat kesepakatan terlebih dulu."

Lisa menaikan sebelah alisnya tidak mengerti. Apa hal itu perlu?

"Untuk apa?"

"Kita nikah bukan karena ingin, melainkan keharusan." Lisa menatap Davin sinis. Apa katanya barusan? Keharusan? Cih! Keharusan, pantatmu! "Gue cuma mau lo tetap merasa nyaman meski pernikahan kita itu terkesan tiba-tiba." katanya lagi.

Dunia DavinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang