"Capek! Bisa gak kalau kita gak pergi makan malam?"
Lisa menatap Davin dengan penuh harap. Acara pernikahan sederhana yang di bicarakan kemarin hanya omong kosong, gak ada orang yang mengadakan acara sederhana dengan mengundang hampir delapan ratus orang tamu. Cuma orang gila yang percaya itu.
Dan sekarang dia lelah jiwa raga, namun masih ada satu acara lagi yang katanya mesti ia hadiri. Yaitu makan malam keluarga. Mengcapek sekali dirinya itu.
"Vin." rengek Lisa sedikit kesal.
"Gak enak kalau kita gak dateng." ucap Davin dengan nada bicara khasnya. Terdengar cuek, dingin, datar, dan itu menyebalkan menurut Lisa .
"Ck! Ya kalau gak enak tinggal kasih royco aja, beres."
Davin menghela napasnya. "Kita dateng, cuma nyapa terus balik lagi." putus Davin.
Lisa mendecak kesal mendengarnya. Dia tidak bisa membantah. Gio sudah memberinya wejangan untuk selalu mendengarkan dan menuruti apa kata suami, selagi hal itu masih di batas wajar Lisa di wajibkan untuk tidak membantah.
"Terserah!" pasrahnya.
Davin tidak menyauti lagi dan kembali sibuk dengan ponselnya. Harusnya saat ini mereka bisa istirahat, namun karena semua urusan pernikahannya Davin serahkan pada empat sahabatnya. Jadi mau tidak mau dia ikut saja setiap acara yang udah di susun para sahabatnya itu.
Tamu undangan yang mencapai delapan ratus orang itu pun juga kelakuan empat sahabatnya. Katanya ; 'Biar para janda di luar sana tau lo udah berpawang."
Alasan idiot! Padahal udah jelas-jelas mereka emang sengaja mengundang tamu sebanyak itu.
Saat ini keduanya sudah berada di tempat acara makan malam di adakan. Masih di hotel yang sama, dimana resepsi mereka di gelar siang tadi.
"Jangan jauh-jauh." ucap Davin penuh peringatan.
Lisa hanya mengedikan bahunya dengan acuh mendengar ucapan penuh peringatan suaminya itu. Namun ketika merasakan lengan laki-laki itu yang melingkar posesif di pinggangnya, Lisa mendecak pelan.
Cih! Posesif sekali brader.
Dengan ramah Lisa menyapa beberapa sodara yang memang memiliki hubungan sedikit dekat dengan Davin. Dekat dalam artian formalitas hubungan keluarga saja. Tidak lebih.
Setelah menjamu semua tamu keduanya kini ikut duduk di meja yang di isi oleh keempat sahabat Davin. Dikta, Bastian, Niek dan Rey, keempat laki-laki yang tak kalah tampannya dengan Davin.
Meskipun di mata Lisa suaminya itu tetap menduduki tahta tertinggi.
"Sa, gak ada temen atau kenalan lo yang dateng gitu?" tanya Bastian kepo.
Karena semua tamu undangan acara itu semuanya dari pihak Davin. Tidak ada satu orang pun nyempil dari pihak Lisa.
Lisa melirik Bastian sebelum kembali meminum jus jambu miliknya. "Temen gue cuma Kiki. Selain dia gak ada lagi."
"Sepupu atau siapa kek, gak ada gitu?"
"Ada. Mereka kalau jadi bentar lagi sampe." kata Lisa.
Siang tadi Gio dan Riel tidak jadi dateng, karena Riel yang mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju markasnya. Dan katanya mereka akan datang saat makan malam, itupun kalau jadi.
"Masih keluarga Abraham?"
Lisa menggeleng singkat. "Mereka lebih penting dari Abraham."
Bukan hanya Davin, namun Bastian, Dikta, Niek dan Rey menatap Lisa dengan pandangan tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Davin
Random| FOLLOW DULU SEBELUM BACA | Bagi Davin, Lisa adalah napasnya dan juga kebahagiaannya.