Kantin Fakultas Ekonomi
Hiruk pikuk di gedung fakultas ekonomi terdengar sangat memekakkan. Kursi dan meja persegi panjang banyak terisi oleh para penimba ilmu. Tawa riang serta obrolan ringan tumpang tindih satu sama lain. Udara di luar juga terasa sangat terik, membuat sejumlah mahasiswa mengipas wajah & mengeringkan peluh.
Hari Senin memang menjadi salah satu hari tersibuk di kampus. Membuat sesak lorong kelas dan kantin. Banyak yang mengeluh dengan padatnya hari Senin, tapi tidak dengan penjual makanan di area luas itu. Hari Senin justru membuat mereka senang. Karena jualan mereka laku, tentunya.
"Yang biasa, neng?" Suara dengan aksen betawi yang kental itu tetap dapat terdengar jelas walau dibelakang sangat ribut. Tangannya tidak berhenti bekerja. Dengan gesit ia menuang adonan di atas piringan hitam yang lebar dan panas, menabur topping, dan melipatnya.
"Iya, mang. Yang crispy ya.."
"Siap. Tunggu ya neng, antriannye banyak ni hari," jawab abang penjual crepes langganan Rabel. Memang di belakang perempuan itu berjejer kurang lebih 6 mahasiswa lainnya yang menunggu giliran untuk memesan. Crepes Mang Rudy ini memang juara, sih.
"Iya, nih mang uangnya. Pas, ya." Norabel menaruh selembar 20 ribu ke atas kotak uang Mang Rudy. Sangking sibuknya Mang Rudy, pembelinya disuruh bayar & ambil kembaliannya sendiri di kotak itu. "Iya, neng," jawabnya sambil masih terus bekerja.
Norabel melangkahkan kakinya menjauh dari gerobak itu. Matanya menelusuri jejeran mahasiswa yang berkeliaran di kantin, mencari tempat kosong. Setelah bergeming selama 2 menit, bola matanya menangkap salah satu satu kursi yang belum ditempati. Ia pun segera beranjak ke sana. Namun, langkahnya terhenti tatkala melihat sosok yang menempati kursi di seberangnya. "Out of all people, kenapa dia?" batin Rabel dalam hati. Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk tetap duduk di tempat tersebut. Apa boleh buat, daripada berdiri menunggu Mang Rudy yang mungkin akan selesai membuat pesanannya 20 menitan lagi.
"Hi, kak. Is this seat taken?" Manuel yang sedang membaca jurnal mengangkat kepalanya tatkala ada suara perempuan menyapanya. Terlihat Norabel yang menggunakan cardigan rajut berwarna cream, baggy jeans, dan sepatu converse hitam sedang berdiri canggung. Menunggu jawaban dari kakak tingkatnya. "Oh, ya. Duduk aja. Kosong kok," katanya sambil merapikan sedikit barangnya di atas meja supaya Rabel lebih leluasa untuk duduk. Yang dipersilakan pun menurunkan totebag dari pundak dan mendudukan dirinya.
Keheningan meliputi keduanya. Tidak ada yang memulai percakapan. Antara bingung harus memulai darimana, atau apa yang harus dikatakan. Keduanya memilih untuk bungkam dan mencari kesibukan masing-masing. Manuel kembali pada jurnalnya dan Rabel mengambil buku serta airpods dari dalam tasnya. "Daripada diem-dieman aneh gini mendingan gue baca buku aja dah," katanya dalam hati. Si Putih. Itu judul buku yang sedang Rabel baca.
"Suka Tere Liye?" Manuel membuka percakapan. Rabel melirik sekilas kakak tingkatnya. "Eh, iya kak. Lu juga?" Yang ditanya hanya mengedikkan bahu pelan. "So-so," jawabnya singkat lalu kembali kepada jurnal Business Case nya.
"What? So-so?" kata sang puan tidak terima. Pasalnya, ia sangat menyukai karya dari penulis tersebut. Bahkan, ia mengoleksi semua bukunya.
"Yeah, so-so."
"How so? Kasih gue alesan kenapa lu anggap Tere Liye so-so?" gencar Rabel.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMPRE AMORE [mark lee x oc]
Fanfic"Love is like a book with many possible endings. Banyak kemungkinan yang akan terjadi. Entah itu di tengah, di awal, atau bahkan saat lu siap untuk seal the deal. Tapi, lebih baik lu coba sekarang daripada nunggu lebih lama lagi. Besides, I can see...