3. Ivy Si Racun

981 57 3
                                    

"Dia siapa, Bu?" tanyaku pada Ibu Umi.

"Oh ... dia Ivy. Anaknya teman Ibu," jawab Ibu Umi dengan senyuman, "Vy, sini!" panggilnya kemudian.

Seorang gadis muda mendekat dengan enggan. Dia melangkah tetapi matanya terus terpaku pada gadgetnya.

"Ivy, kenalkan ... Ini Mbak Gita. Tetangga sebelah rumah kita," ujar Ibu Umi tampak semringah.

"Halo, Mbak." Gadis itu menyapa singkat dengan sedikit menipiskan bibir.

Seperti kebanyakan gadis lainnya, Ivy berpenampilan khas anak zaman itu. Kaos ketat dan celana hot pant. Paha putihnya yang mulus terlihat menggoda untuk kaum hawa. Rambutnya yang panjang ia cat agak kecokelatan. 

"Saya Gita. Rumahnya yang nomer tiada puluh enam itu," kenalku seraya menyodorkan tangan. 

"Ivy." Gadis itu balas menjabat tanganku secara singkat. 

"Ivy akan kuliah di sini. Ibunya menitipkan dia ke saya," ujar Ibu Umi lembut.

"Aku masuk dulu ya, Tan. Mau ada yang dikerjakan," pamit Ivy kemudian. 

Gadis itu seolah enggan berlama-lama dengan kami. Ivy berlalu begitu saja tanpa ada basa-basi.

  

Aku sendiri tidak terlalu memikirkannya hal itu. Karena ada hal penting yang harus segera dilakukan. Seperti biasa, sebelum dhuhur aku sudah tiba di sekolah Nara.

"Aku titip Kesha dulu ya, Bu," izinku pada Ibu Umi.

"Oh iya, sini-sini." Ibu Umi langsung mengambil bayi berumur dua bulan itu dari gendonganku.

Itulah perkenalkan pertamaku dengan Ivy. Perempuan yang tega menggoda dan merebut Mas Restu dariku dan anak-anak. Dari awal gadis itu memang sudah menunjukkan gelagat yang tidak menyenangkan.

Setiap kali aku datang untuk menitipkan Kesha, Ivy tidak pernah menyapaku terlebih dulu. Jika pun aku yang menyapa duluan dia hanya menanggapi dengan datar. Sama sekali tidak ada ketertarikan ingin mengenal keluargaku lebih jauh. 

Pernah suatu ketika tidak sengaja aku mendengar Ivy mengeluh saat Nara dan Kia main. Gadis itu merasa terganggu dengan kehadiran anak-anakku. Padahal sebelum kedatangannya, kedua putriku sudah dianggap layaknya cucu sendiri oleh Ibu Umi.

"Tante apa gak bosen tiap hari dititipi bayi terus?" protes Ivy terlihat bete. 

Aku sendiri berdiri tidak jauh dari mereka. Ada sebuah gebyok dari kayu jati yang menjadi dekat antara ruang keluarga dengan ruang tamu.

"Ya, enggak lah. Anak-anak Gita itu yang membuat rumah sepi ini jadi hangat, Vy," sanggah Ibu Umi tenang.

"Tapi kan sekarang udah ada aku, Tante."

Dari balik celah kulihat Ibu Umi hanya tersenyum saja.

"Harusnya itu sadar, Tante Umi udah tua. Tega-teganya nitipin anaknya tanpa kenal waktu." Ivy bersungut seolah dia yang kerepotan, "memang suaminya ke mana sih? Kok aku jarang lihat?"

"Suaminya Gita sibuk ngurus usaha baju dan laundrinya."

"Punya usaha, kenapa gak sewa baby sitter aja?"

Semenjak mendengar omongan ketus Ivy, aku kerap merasa tidak nyaman jika harus menitipkan bayi Kesha pada Ibu Umi. Mengesampingkan repot, aku terpaksa membawa bayi itu jika harus menjemput Nara. Sementara Kia sulungku akan pulang diantar oleh ojek langganan.

"Mas, kayaknya kita butuh satu mobil lagi buat antar jemput anak deh. Repot kalo harus naik motor bawa Kesha jemput Nara," rengekku suatu malam.

"Lho bukannya Kesha selalu kamu titipkan ke Ibu Umi?" tanggap Mas Restu santai. Matanya terus tertuju pada gadget.

"Gak enak kalo terus-terusan merepotkan Ibu Umi."

"Lho kenapa?"

"Pokoknya gak enak, Mas. Aku butuh sopir," tukasku bersikeras, "aku gak pernah minta apa-apa sama kamu. Semua tugas rumah aku handle sendiri tanpa pembantu pun aku diam. Tapi ini serius aku butuh sopir buat anter ke mana-mana."

Mas Restu diam tidak berkomentar. Bukannya mau menjelekkan, tetapi pria itu memang sangat perhitungan sekali terhadap uang. 

Dari awal melahirkan Nara, aku sudah meminta untuk dicarikan ART. Namun, tidak pernah ditanggapi oleh lelaki berkulit cokelat itu. Mas Restu selalu berdalih jika semua tabungannya akan ia gunakan untuk membesarkan bisnisnya. 

Aku dituntut untuk hidup hemat. Beruntung aku tipe orang yang sederhana. Sehingga tidak terlalu kaget menghadapi sikap kencangnya Mas Restu.

Namun, tidak disangka Mas Restu memenuhi permintaanku. Satu minggu sejak aku merengek minta seorang sopir, pria itu pulang dengan membawa sebuah mobil baru. Sebuah mobil tipe minibus yang cukup lega jika dipakai untuk membawa keluarga besar.

"Mulai besok Kia dan Nara akan berangkat ke sekolah dengan mobil baru ini," tutur Mas Restu sambil tersenyum. Dia menepuk bangga mobil barunya yang berwarna putih.

"Terus yang anter siapa?" tanyaku ikut antusias.

"Besok ada sopir yang akan mengantarkan mereka."

"Terima kasih banyak, Mas," ucapku bahagia. 

Untuk meluapkan rasa bahagia karena telah mampu membeli mobil yang lumayan bagus, aku membuat acara syukuran. Tentu saja Ibu Umi ikut membantu acara ini. Dan untuk pertama kalinya Ivy menginjakkan kakinya di rumahku. Pertama kali masuk, mata Ivy terpaku lama pada foto pernikahanku dengan Mas Restu.

"Ini suaminya Mbak Gita?" tanya Ivy terlihat meyakinkan.

"Iya, kenapa? Ganteng kan?" balasku sedikit meledek.

Ivy tersenyum miring. "Bagiku si B aja," sahutnya enteng.

"Husstt!" Ibu Umi langsung menyenggol lengan Ivy, "asal kamu tahu, di umurnya yang belum genap tiga puluh tahun, Restu itu sudah mempunyai usaha yang mapan lho. Jadi kamu harus sopan sama nyonya bos."

Aku dan Ivy sama-sama menipiskan bibir. Aku tersenyum merendah karena habis dipuji. Sedangkan Ivy, senyuman gadis itu kembali miring. Persisnya mencebik. Dari gayanya, aku merasa Ivy meremehkan omongan Ibu Umi. 

Namun, aku dibuat heran. Saat pertama kali berkenalan dengan Mas Restu, gadis itu yang terlebih dulu menjabat tangan pria itu. Cukup lama. Berbanding terbalik saat ogah-ogahan kenalan dengan aku dulu.

Next

Lari ke Fizzo, Gaes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lari ke Fizzo, Gaes. Udah bab 26. Gratis di sana sampai TAMAT.

SUAMIKU TERPIKAT AYAM KAMPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang