5. Kelengahanku

691 42 2
                                    

"Kalian sedang apa?"

Teguran pelan dariku membuat Ivy dan Mas Restu seketika menghentikan tawa. Suamiku pun refleks menggeser posisi duduknya. Walau pun tidak saling menempel. Namun, cukup rapat bagi seorang yang tidak begitu kenal.

"Ayah!"

Si kecil Nara langsung meloncat dan duduk tepat di pangkuan sang ayah.

"Yah, hari ini aku naik ke iqro lima lho," lapor Nara terlihat bangga.

"Oh ya? Hebatnya anak ayah," puji Mas Restu seraya mengacak pucuk kepala Nara yang tertutup jilbab merah muda itu. 

"Aku malah naik ke Al Qur'an." Si sulung Kia tidak mau kalah. 

Bocah enam tahun itu menyeruak duduk di antara Mas Restu dan Ivy. Benar, Ivy tidak juga bangkit atau pergi biar pun aku sudah pulang. Dia terlihat santai saja dan ikut tersenyum semringah mendengar laporan kedua putriku.

"Kalo ini sih emang udah ketahuan anak pintar." 

Pujian itu tentu menerbitkan senyum di bibir Kia. Apalagi sang ayah menghujani pipinya dengan kecupan kecil.

"Kalo begitu mana hadiah buat kami, Yah?" Tangan Kia mulai tengadah.

"Lho-lho ... kok datang-datang malah menodong ayah," sahut Mas Restu pura-pura kaget. Pertanyaan yang aku lontarkan tidak dijawab. Bak oleh dia atau pun Ivy.

"Kan ayah udah janji."

"Iya, ayah sudah janji waktu itu." Kia menimpali omongan sang adik.

"Vy, Kesha mana?" tanyaku mengalihkan perhatian Ivy dari anak-anakku.

"Ah ... itu, Mbak, di kamarnya. Udah tidur dia." Tangan Ivy menunjuk kamarku. 

Berarti gadis itu memasuki kamar pribadiku. Tentunya, boks Kesha kan memang ada di sana. 

"Makasih ya, sudah mau jagain Kesha," ucapku tulus.

"Sama-sama, Mbak." Ivy baru bangkit, "besok-besok kalo butuh bantuan dan aku lagi nyantai, bilang aja," tawarnya terdengar manis.

"Makasih." Aku ikut tersenyum, "kan ada Ibu Umi."

"Tante udah tua, Mbak. Cepet lelah kalo dia gendong Kesha yang ndut."

Setelah berbasa-basi sebentar, Ivy pun pamit pulang. Aku sendiri pun tidak menaruh perasaan yang buruk. 

Semua berjalan seperti biasa. Tidak terjadi hal yang aneh. Mas Restu berangkat pagi dan pulang sore seperti biasa. Anak-anak juga tidak ada yang rewel. Jika pun butuh suatu bantuan, tentu aku lebih memilih untuk memintanya pada Ibu Umi.

Satu minggu kemudian, Kia dan Nara memaksa ayahnya pergi untuk jalan-jalan. Kedua anak gadisku menagih hadiah yang ayahnya janjikan. Karena hari itu tengah libur, Mas Restu pun memenuhi permintaan anak-anak.

Kebetulan kami sudah lama tidak mengajak anak-anak jalan. Alasannya tentu saja karena aku dan Mas Restu sama-sama sibuk. Dia dengan pekerjaannya. Sedangkan aku terpaku pada si kecil Kesha. Sayang sekali jalan-jalan kali ini aku tidak bisa menemani Kia dan Nara.

SUAMIKU TERPIKAT AYAM KAMPUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang