Enam tahun yang lalu
"Alhamdulillah bayi lahir dengan selamat, Bu," ucap seorang bidan yang membantu kelahiran putri ketigaku. "Silahkan kalo mau diazani."
Aku terima bayi mungil yang sudah terbungkus bedong itu. Wajah dan badannya masih merah. Tubuhnya terlihat sangat kecil. Hanya dua puluh satu ons. Karena anak itu lahir empat minggu lebih awal dari perkiraan lahir.
Dokter bilang aku terlalu stres pada kehamilan kali ini. Itu yang mendorong lahirnya bayiku dengan prematur. Bagaimana tidak stres, kehamilan ketiga ini, aku merasa seperti menjalaninya seorang diri. Mas Restu tampak cuek dan tidak peduli.
"Bu, apa Mas Restu belum datang?" tanyaku pada Ibu Umi.
Wanita itu bukan siapa-siapa aku. Hanya tetangga sebelah rumah. Ibu Umi yang berusia sekitar ibuku menganggap aku seperti anak kandungnya sendiri. Terlebih lagi Ibu Umi tidak berputra. Beliau sangat menyayangi aku dan anak-anakku.
"Tadi ibu keluar gak lihat ada Restu lho, Ta," jawab Ibu Umi dengan mimik iba. Pasalnya aku seharian berjuang melahirkan putri ketiga tanpa ada Mas Restu di samping.
"Ibu sudah hubungi nomer Mas Restu?" tanyaku penasaran.
"Sudah, tapi gak aktif, Ta."
Aku mendesah resah. Kemarin saat Mas Restu pamit, aku sudah memberi tahu jika perut ini kerap merasakan kontraksi. Aku takut jika melahirkan sewaktu-waktu.
"Kontraksi palsu itu, udah tenang aja," ujar Mas Restu kala itu, "dengar, aku cek lokasi gak akan lama kok. Paling besok juga pulang," janjinya berusaha menenangkan.
Mas Restu tetap pergi walau pun aku sudah memohon-mohon untuk tetap tinggal. Namun, justru pria itu lebih mengutamakan hobi dan teman-temannya dibandingkan aku dan anak-anak.
Memang semenjak usaha kami mengalami peningkatan, mendadak pria itu jadi mempunyai banyak hobi. Mulai dari senang bermain futsal, mengoleksi sepeda gunung yang harganya lumayan, hingga touring dengan motor besar.
Jujur, aku sebenarnya agak keberatan dengan hobi-hobi Mas Restu. Karena pria itu jadi lebih sering bepergian. Weekend yang sangat dinantikan anak-anak, justru ia habiskan dengan teman-teman sekomunitasnya. Sementara hari-hari biasa tentunya Mas Restu di dera sibuk kerja.
Pria itu mempunyai usaha beberapa gerai baju dan bisnis laundry. Itu sebab waktu longgarnya sangat jarang. Bahkan dengan anak-anak Mas Restu hanya bisa bertemu saat sedang sarapan. Karena setiap malam pria itu pulang di saat anak-anak sudah terlelap tidur.
Di ibu kota ini keluargaku hanya Mas Restu seorang. Kami sama-sama perantau tanpa saudara. Beruntung aku mempunyai tetangga sebaik Ibu Umi. Perempuan itu datang membantu tanpa perlu ditolong.
"Bu, coba sini aku yang telpon Mas Restu," ujarku kemudian. Karena buru-buru tadi pagi aku sampai terlupa untuk membawa ponsel saat pergi ke rumah sakit.
Ibu Umi lekas merogoh saku gamisnya. Sebuah ponsel android keluaran tiga tahun lalu ia keluarkan.
"Terima kasih," ucapku begitu menerima ponselnya Bu Umi.
Jempol ini lekas menggulir layar yang sudah tidak mulus itu. Nama kontak Mas Restu lekas kutekan. Aku mendesah kecewa saat mendapati nomor itu tidak aktif.
"Mas Restu gak bisa dihubungi, kalo begitu Ibu saja yang mengazani putriku," putusku dengan perasaan nelangsa.
Ibu Umi mengambil bayi mungil dari buaianku. Perlahan wanita itu mulai mengumandangkan azan di telinga kanan putriku dengan lembut. Lalu Iqamah di telinga kirinya.
Aku sendiri hanya bisa menunduk sedih. Ini pertama kalinya aku lahiran tanpa Mas Restu. Rasa sedihku kian bertambah karena semalam aku harus mengurus bayi itu seorang diri di saat tubuh ini masih cukup lemah.
Mas Restu datang keesokan siangnya. Saat melihat putriku kami di pangkuanku, ekspresinya datar. Kebetulan bayi kami baru disusui.
"Hmm ... cewek lagi."
Aku tercengang mendengar keluhannya. "Memangnya kenapa kalo anak kita perempuan lagi, Mas?" tanyaku sedikit kesal.
"Ya gak papa." Mas Restu menyahut dengan enteng, "aku sudah punya dua putri, jadi rasanya gak surprise aja kalo dapat cewek lagi."
"Yang minta aku hamil lagi siapa?" Aku menukas cepat, "Nara baru dua tahun dan kamu sudah nyuruh aku buat lepas KB. Terus saat kuajak untuk progam bayi cowok, kamu gak pernah mau."
"Iya-iya." Mas Restu menyergah, "udah ya, aku mesti balik kerja. Kamunya sehat-sehat aja kok," pamitnya kemudian.
"Mas kamu mau pergi lagi?" protesku mulai kesal.
"Pergi cari duit, Gita, buat beli susu dan bayar biaya rumah sakit."
"Tapi kamu belum menggendong bayi kita lho, Mas."
"Sudahlah gak usah lebay, Ta. Nanti juga kalo sudah di rumah pasti aku akan gendong dia terus kok," janji Mas Restu terkesan menyepelekan.
Kenyataannya janji Mas Restu tidak pernah terwujud. Pria itu asyik dengan dunianya sendiri. Dirinya benar-benar tidak peduli pada bayi kami.
Bahkan nama bayi kami pun Mas Restu serahkan sepenuhnya padaku. Tiap malam aku selalu bergadang seorang diri. Berdalih lelah Mas Restu tidak pernah mau diajak bekerja sama mengurus si bungsu. Jika merasa terganggu dengan suara tangis bayi kami yang diberi nama Kesha, Mas Restu akan memilih untuk tidur di kamar tamu.
Waktu terus berjalan. Aku mengasuh ketiga balita seorang diri. Hanya ada seorang pelayan yang bekerja sampai pada sore hari saja.
Ketika aku meminta tenaga seorang pengasuh Mas Restu menolak. Pria itu beralasan jika tidak baik menyerahkan pengurusan anak pada seorang pengasuh. Benar-benar waktu itu hidupku dilanda stres yang berkepanjangan.
Anehnya lagi jika diminta pertolongan mengasuh anak-anak, Mas Restu selalu beralasan capek. Namun, untuk kongkow-kongkow dengan temannya tidak pernah ada kata capek untuk Mas Restu. Dan aku dibuat kian heran melihat perubahan perilaku Mas Restu.
Pria yang dulu terkenal sederhana itu tiba-tiba menjadi rapi, wangi, dan necis. Koleksi bajunya kian bertambah. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan hal ini. Namun, setiap kali dia pergi dengan alasan kondangan, aku tidak pernah diajaknya.
"Kasihan Kesha kalo kamu tinggal. Lagian gak enak juga minta tolong terus sama Ibu Umi," kilahnya saat itu.
Tadinya aku menerima perlakuan Mas Restu yang semena-mena itu dengan pikiran positif. Namun, setelah mendapati ada DM rahasia dari seorang wanita di ponselnya, aku memberontak.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU TERPIKAT AYAM KAMPUS
Roman d'amourHanya karena ingin mempunyai anak laki-laki, Restu bermain di belakang Gita, sang istri. Dia menjalin hubungan dengan Ivy. Gadis yang sudah Gita anggap seperti adik kandungnya sendiri. Tidak tahunya Ivy adalah ayam kampus yang merupakan piala bergil...