07. Keluarga Lama

605 83 1
                                    

Ada suatu tempat yang ingin dikunjungi Reyhan. Setelah acara wisuda selesai, sorenya Reyhan langsung bergegas untuk pergi. Ia ingin menemui seseorang. Seseorang yang berarti dalam hidupnya.

Bandung. Tempat yang menjadi tujuannya. Entah sudah berapa lama ia tak mengunjungi tempat itu. Rasanya benar-benar rindu.

Mobil Reyhan berhenti di depan pelataran rumah kayu. Reyhan keluar, dan berjalan memasuki rumah tersebut. Bangunan ini masih sama dengan yang terakhir kali dilihat. Dinding rumah ini terbuat dari kayu, sedangkan lantai sudah memakai keramik.

Reyhan mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati. "Assalamualaikum," salamnya.

"Wa'alaikumussalam. Sebentar." Terdengar suara dari dalam yang menjawab.

Pintu dibuka. Menampilkan seorang gadis dengan kerudung rumahannya. Ia menatap Reyhan dengan raut terkejut. Lalu setelah itu senyumnya mengembang. "Mas Azzam!" Gadis itu langsung memeluk tubuh Reyhan.

"Kangen. Mas Azzam kenapa baru pulang," rengek gadis itu yang sudah mulai menangis.

"Maafin, Mas, ya. Mas baru sempat ke sini." Reyhan berkata sambil mengelus punggung gadis di pelukannya.

"Mas, jahat," katanya dengan menyembunyikan wajahnya di dada Reyhan.

"Iya, maafin, Mas." Reyhan masih mengelus punggung gadisnya guna menenangkan.

"Siapa yang datang, Shil." Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka.

"Mas Azzam, Umi," jawab Shilla sambil melepaskan pelukannya.

"Azzam? Ya Allah, Nak. Kamu datang." Wanita yang dipanggil Umi mendekat.

"Gimana kabarnya, Umi?" Reyhan mencium tangan wanita paruh baya itu.

"Alhamdulillah sehat, Nak. Ya Allah, Azzam. Umi kangen," katanya yang langsung memeluk Reyhan.

"Azzam juga kangen, Umi," balas Reyhan.

"Kenapa nggak pernah ke sini, Nak. Kamu sudah lupa sama Umi?" Tanya Umi setelah melepaskan pelukannya.

"Maaf, Umi. Azzam sibuk ngurus kerjaan."

"Bener-bener kamu, ya. Pasti kamu nggak ngurusin dirimu sendiri. Lihat, badanmu jadi tambah kurus." Umi memukul lengan Reyhan.

"Nggak makan berapa hari kamu, Zam. Badanmu kurus begini." Reyhan hanya tersenyum menanggapi. Badannya bukannya kurus, tapi ini sudah sangat pas untuk ukuran Reyhan. Karena dulu tubuhnya cukup berisi.

"Abi ke mana, Mi?" Tanya Reyhan yang sudah duduk di ruang tamu.

"Masih di masjid. Bentar lagi paling pulang," jawab umi sambil melihat jam yang sudah pukul enam lebih.

Perjalanan Reyhan menghabiskan waktu hampir tiga jam. Karena tadi ia mampir untuk membeli buah tangan.

"Assalamualaikum." Sebuah suara terdengar memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka serempak.

"Abi, lihat. Ada Mas Azzam." Shilla dengan antusias memberitahu Abinya.

Reyhan beranjak untuk mencium punggung tangan pria paruh baya itu. Mereka berpelukan sebentar, lalu mengajak pria yang dipanggil Abi untuk duduk.

"Gimana kabarnya, Abi?" Tanya Reyhan yang duduk di sampingnya.

"Alhamdulillah baik. Awakmu dewe piye, Le? Apik, kan?" Tanya Abi dengan logat Jawa.

"Basane, Bah. Azzam mboten ngerti, to," tegur Umi saat melihat Reyhan agak bingung.

Abi tertawa sebentar. "Owalah, Abah lali, Mi. Azzam, kan, wes dadi wong kota."

"Gimana kabarmu, Le?" Tanya Abi lagi.

"Alhamdulillah baik, Bi." Reyhan menjawab sambil memasang senyum manis.

"Di sana aman, kan?"

"Aman, Bi."

"Azzam ke sini karena hari ini wisuda. Azzam mau minta doa kalian," lanjut Reyhan.

"Terakhir kali kamu di sini waktu masih SMA. Sekarang sudah wisuda aja." Umi berkata sambil menatap putranya haru.

"Mohon doanya, ya, Umi. Semoga Azzam bisa menjadi lebih baik lagi kedepannya." Reyhan menggenggam tangan uminya.

"Umi pasti selalu mendoakan kamu, Nak. Jadi anak yang sholeh, ya." Umi menepuk punggung tangan Reyhan.

"Aamiin. Doakan Umi." Reyhan mencium punggung tangan uminya dengan takzim.

"Mas Azzam sudah mandi?" Tanya Shilla.

"Belum, Dek," jawab Reyhan.

"Mandi dulu, Zam. Nanti Isya ke masjid bareng Abi," titah Abi.

"Iya, Bi." Reyhan beranjak untuk menuju kamar lamanya. Ia akan mandi sebelum azan Isya berkumandang.

***

Reyhan berada di kamar lamanya. Ia sedang memilah baju lamanya, karena ia ke sini tidak membawa pakaian ganti.

"Azzam," panggil Umi setelah mengetuk pintu.

"Iya, Umi. Sebentar." Reyhan memilih kaos putih polos yang terletak di bagian atas. Setelah memakai pakaian lengkap, ia membuka pintu kamarnya. Terlihat Umi yang berdiri sembari tersenyum kepadanya.

"Ada apa, Umi?" Tanya Reyhan langsung.

"Mas Azzam sudah makan?" Tanya Umi lembut.

"Belum, Umi," jawab Reyhan.

"Makan dulu, yuk. Masih ada waktu sebelum Isya," ajak Umi.

"Iya, Umi." Mereka berjalan bersama menuju ruang makan. Di sana sudah ada Abi dengan anak gadisnya.

"Umi nggak tahu kalau kamu mau datang, jadi Umi hanya masak ini," ucap Umi sembari duduk lesehan.

"Nggak apa-apa, Umi. Ini juga sudah enak, kok," jawab Reyhan sembari duduk menyilangkan kakinya.

Ruang makan ini sebenarnya dapur. Umi menggelar tikar untuk tempat duduknya. Mereka duduk mengelilingi makanan yang ada di tengah. Ada sayur asem, tempe, sambel, dengan lalapan timun.

"Makan apa adanya, ya, Zam. Namanya di kampung, ya, begini adanya," sahut Abi.

"Iya, Abi. Azzam malah rindu makanan begini. Soalnya di kota jarang ada yang jual," jawab Reyhan sambil tersenyum.

"Di kota makanannya, kan, sudah enak-enak. Mana ada yang jual beginian, kecuali di warteg, mungkin masih ada," ucap Umi menimpali.

"Mas Azzam mainnya, ya, di cafe lah, Mi. Masa CEO mainnya di warteg." Shilla berkata sambil mengisi piring Reyhan dengan nasi dan lauk yang ada.

"Ayo, di makan, Mas. Awas aja nggak dihabisin," kata Shilla sambil menyodorkan piring di depan Reyhan.

"Makasih, Dek," ucap Reyhan sambil tersenyum.

"Ya, sudah. Ayo, makan. Waktu Isya sebentar lagi," titah Abi yang langsung dituruti.

Setelah selesai makan, Reyhan berangkat ke masjid bersama Abinya. Sedangkan Umi dan Shilla shalat di rumah.

Bersamamu, Aku Bisa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang