06. Hari Wisuda

576 90 1
                                    

Pagi-pagi sekali, Farel sudah bertamu ke rumah Reyhan. Ia terlihat begitu rempong membawa perlengkapan untuk wisuda nanti. Bahkan, Farel belum sempat mandi karena buru-buru ke rumah Reyhan.

"Han, bantuin, kek. Bukannya lihatin doang," ucap Farel saat kesusahan membawa perlengkapan wisudanya.

Reyhan mengambil topi toga yang berada di posisi paling atas, lalu berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Farel yang menggerutu sepanjang jalan.

"Bawain kayak nggak ikhlas gitu, cuma ngambil topi toga." Farel mengutarakan kekesalannya saat meletakkan bawaannya ke sofa ruang tamu.

"Siapa yang suruh subuh-subuh ke sini." Reyhan mendengus. Saat ia sedang sibuk muraja'ah hafalannya, Farel menelepon dan mengatakan sudah di depan rumahnya. Siapa coba yang nggak kesal.

"Lo, ya, Han. Ini, kan, hari wisuda kita. Masa nggak dipersiapkan dari sekarang."

"Kan, kamu bisa berangkat dari rumahmu sendiri, Rel. Kenapa harus ke rumahku dulu."

"Ck. Gue ke sini, tuh, mau bangunin lo. Takut lo kesiangan," elak Farel. Karena sebenarnya dia ke rumah Reyhan pagi-pagi untuk meminjam pakaian batik. Bukan karena Farel tidak punya, ia punya, hanya saja batik punya Reyhan tuh beda. Nggak ada yang nyamain katanya.

"Terserah, lah. Aku mau mandi dulu." Reyhan yang masih kesal dengan tingkah random sahabatnya itu, langsung naik ke atas untuk kembali ke kamarnya.

"Gue pinjam kamar mandi bawah, ya, Han! Mau mandi juga!" Teriak Farel saat Reyhan sudah sampai atas.

"Terserah, Rel. Terserah!" Balas Reyhan berteriak juga. Dari pada meladeni sahabatnya yang entah kenapa ia mau bersahabat dengan Farel, ia langsung masuk kamar untuk bersiap.

***

Keluar dari kamar mandi, Reyhan sudah mendapati Farel yang tiduran di kasurnya. Bukannya bersiap, Farel malah berleha-leha. Mana koloran doang lagi.

"Lama amat lo mandi." Perkataan Farel tidak digubris Reyhan. Ia mengambil posisi duduk sambil menatap Reyhan yang berjalan ke arah lemari. "Gue pinjam batik, dong, Han."

Reyhan menghentikan aktivitasnya yang ingin mengambil baju. Melirik Farel yang bersila di atas kasurnya. "Udah jatuh miskin, Rel?" Tanyanya.

Farel berdecak. "Gue bukan miskin, cuma emang lagi miskin."

"Sekali-kali ngalah nggak apa kali, Rel. Dari pada semua fasilitasmu di ambil gini." Reyhan menutup kembali lemarinya dengan membawa dua setelan batik. Ia memberikan setelan baju batik berwarna cokelat muda kepada Farel, sedangkan dirinya memilih batik berwarna hitam.

Farel menerima dengan wajah murung. "Kalau ngomong, sih, gampang. Jalaninnya yang susah."

"Apa yang susah. Kamu juga cukup menguasai dunia bisnis," sahut Reyhan.

"Gue masih pengen hidup bebas. Kalau gue ambil alih perusahaan Bokap, yang ada tiap hari kayak lo. Mandangin kertas terus. Mana bisa keluar bebas." Farel sebenarnya anak seorang pengusaha, tapi memilih kabur dari rumah saat sang ayah menyuruhnya untuk mengurus kantor. Menurut Farel itu membosankan, ia akan kehilangan kebebasannya dengan memandangi layar komputer setiap hari.

"Sama halnya kamu memilih menjadi asistenku. Memandangi layar komputer, mengurus berkas, itu pekerjaanmu bukan? Lalu, apa bedanya?" Tanya Reyhan yang tidak mengerti jalan pikiran Farel.

"Itu beda. Kalau sama lo, gue ngerasa pekerjaan nggak terlalu berat. Beda nanti kalau gue ngurus kantor sendiri."

"Kamu masih bisa bebas. Mengurus kantor tidak harus kamu lakukan tiap hari. Hanya saja, harus pandai mengatur waktu. Lagi pula, kamu nggak akan mungkin terus-terusan kayak gini, Rel." Setelah mengucapkan itu, Reyhan kembali ke kamar mandi untuk ganti baju.

Farel merenungi ucapan Reyhan. Memang benar, ia tidak akan bisa terus-terusan seperti ini. Tapi ia juga belum siap. "Gue tau. Gue cuma butuh waktu," jawabnya sendiri.

***

Reyhan ditarik paksa Farel menuju taman kampus. Setelah acara wisuda selesai, teman sekelasnya ingin mengabadikan momen perpisahan ini. Mereka ingin mengambil kenangan dalam bentuk foto. Oleh karena itu, Farel menarik Reyhan untuk ikut serta meskipun terlihat ogah-ogahan.

"Diam di sini. Awas lo kabur lagi," ancam Farel. Sudah terhitung empat kali ia menarik paksa Reyhan.

"Lama," dengus Reyhan. Bukan tanpa alasan Reyhan pergi. Teman-temannya ini sangat lama hanya untuk berfoto. Dari tadi rusuh, entah mencari tempat, mengatur gaya, belum juga posisi yang pas. Reyhan mana betah di tengah keramaian seperti ini.

"Ayo, semua! Atur posisinya dulu!" Itu adalah suara ketua kelas yang sibuk mengatur posisi.

"Masih lama nggak, Kak! Kalau masih lama saya tinggal pulang, nih. Udah ditungguin." Suara orang yang diminta tolong mengambil foto juga sudah mulai terdengar.

"Jangan, dong, Dek! Ini udah siap, kok. Ayo, mulai fotonya." Sang ketua kelas pun segera mengambil posisi. Mereka mengambil foto dalam beberapa gaya. Setelah kurang lebih sepuluh menit, Reyhan akhirnya bisa mengembuskan napas lega karena sesi foto telah berakhir.

***

"Nongkrong, yuk, Han," ajak Farel yang sedang mengemudi.

"Nggak bisa," tolak Reyhan.

Farel berdecak. "Lo nggak berencana kerja di hari wisuda kita, kan?"

"Libur." Hari ini Reyhan dan Farel meliburkan diri dari pekerjaan. Sebenarnya Farel yang memaksa, untung saja Reyhan mau.

"Berarti bisa, kan? Ntar malam gue jemput." Farel masih berusaha memaksa Reyhan untuk ikut.

"Nggak bisa, Farel," tolaknya.

"Kenapa? Sekali-kali nongkrong nggak bikin lo bangkrut, Han."

"Aku mau pergi ke suatu tempat."

"Kemana?" Farel melirik Reyhan sekilas.

"Bandung."

Dahi Farel mengernyit. "Tumben?"

"Mau ketemu pujaan hati lo?" Lanjut Farel sambil melirik Reyhan dengan senyum usil.

"Bukan urusanmu." Reyhan mengalihkan pandangan menuju jendela mobil.

"Iya, deh. Yang mau ketemu pujaan hatinya. Udah berapa lama nggak ke sana. Pasti kangen, ya," ledek Farel.

Reyhan mendengus. Sepertinya ia menyesal memberitahu Farel.

Bersamamu, Aku Bisa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang