Mark berteriak kencang, meluapkan kekesalannya setelah melihat Jeno yang tidak berdaya diangkat oleh beberapa temannya ke UKS.Pemuda kelahiran Agustus itu sengaja pergi ke rooftop setelah pertengkarannya dengan Jeno barusan.
Benar, dia yang membuat Jeno babak belur tapi dia juga yang khawatir pada keadaan Jeno.
Persetan dengan status, Mark benci sekali mengingat peran yang harus mereka lakoni. Tuntutan tradisi dari para seniornya membuat Mark harus memainkan peran menyebalkan ini setiap hari.
Menjadi musuh Jeno, kekasihnya sendiri.
Pun dengan Jeno yang juga sama terkekangnya. Sekolah selalu menjadi tempat tidak aman untuk mereka bertemu.
Mark benci setiap kali dia hanya bisa melihat Jeno tertawa bersama teman-temannya sementara dia bahkan tidak bisa mendekat. Mark benci setiap kali dia harus menatap Jeno dengan tatapan yang mestinya mengibarkan bendera peperangan.
Bukan ini yang dia inginkan. Tapi baik dia maupun Jeno, keduanya sama sama terlanjur jatuh dalam kontrak sialan.
Andai saat itu Mark menolak dirinya menjadi pengganti seniornya memimpin kaum mereka, mungkin dia tidak harus menjadi lawan kekasihnya sendiri di medan perang.
Ponsel yang berdering menyadarkan Mark akan realita bahwa dia baru saja melamun sambil menatap awan. Pemuda itu buru-buru mengangkat telefon melihat nama kekasihnya tertera di layar.
"Di mana?" Lirih terdengar, membuatnya tertegun sebab dia penyebab sakitnya.
"Halo? Denger gue gak ya?" Lagi, lirihnya terdengar begitu jelas. Jeno pasti kesakitan, dan itu lagi lagi adalah ulahnya.
Mark menghela nafas lelah. Menyandarkan punggung pada tembok tinggi di belakangnya.
Helaan nafas itu menjadi jawaban untuk Jeno bahwa kekasihnya ada di sana, mendengarkan.
"Gue udah diobatin nih tadi sama anak pmr, awalnya mau diobatin sama Jaemin tapi gue nolak soalnya gue tau lo gak suka gue terlalu deket sama dia. Jadi gue nyuruh mereka balik karena udah jam nya masuk juga sih" Jeno tersenyum tipis. Sadar Mark tidak akan melihat, dia akhirnya ikut menghela nafas lelah.
Lelah sekali.
Lelah dengan segala skenario ini.
Seharusnya, dua insan yang saling mencintai itu diizinkan bahagia. Bukan dituntut menjadi dua pemimpin arena.
Ya. Seharusnya. Tapi jangankan untuk saling mendekatkan diri, memproklamasikan perasaannya saja mereka tidak bisa. Itu hanya akan memperkeruh keadaan.
Karena katanya, dua pemimpin arena itu tidak boleh saling mencintai. Kecuali mereka berani mengkhianati kaumnya sendiri.
"Mark, gue gapapa ko. Lagian kan gue juga udah sering berantem sama lo. Udah ya, jangan menyendiri mulu mending balik ke temen-temen lo di kelas" kata Jeno yang kali ini terdengar lebih baik.
"Lo tau dari mana gue sendirian?"
Jeno terkekeh pelan, "Gue ini kenal lo dari jaman kapan. Setiap kali lo berantem sama gue, lo kan selalu diem sendirian di tempat manapun yang lo kira gak ada orang"
"Jen"
"Jangan minta maaf Mark, lo gak salah. Udah ya? Ke kelas gih"
"Lo di uks sama siapa?" Pertanyaan Mark dibalas Jeno dengan kebohongan.
"Ada dua anak pmr yang jaga. Tadi satunya lagi keluar bentar sih, lo tenang aja ya, sekarang balik ke kelas lagi lo nya"
Dan Mark percaya. Jeno berhasil menghentikan Mark dari skenario paling buruk jika mereka terlihat berduaan di UKS. Jeno hanya sendirian, dan dia tidak mau Mark menemuinya pada waktu yang sebenarnya sedang baik untuk bertemu. Sebab semua orang kini berada di kelasnya masing-masing.