Renata sudah di atas mobil bersama Rio sahabatnya, ia terus memandangi kaca yang buram. sedangkan, dagu lancipnya bertumpu di atas tangan membuat manik matanya tak berhenti mengikuti setiap pohon yang ia lewati" kenapa lo Ren?" Tanya Rio heran.
"Jantung gua Rio, kagak aman kayaknya. Apa kita harus ke dokter jantung?"
"ngadi-ngadi lu ah!" Cecar Rio menggelengkan kepala.
"gua berusaha ngelupain Sean, kenapa tuhan malah deketin gua lagi sama tuh anak," ucap Renata kesal membuat nafasnya mendengus pelan ke arah jendela.
"mau lari kemana juga Ren, kalau tuhan udah berkehendak juga ga bisa apa-apa"
"Tapi, gua ga siap Rioooo. Luka gua masih terlalu basah buat dia." Bibir ranumnya mengerucut dengan helaan nafas berat.
Di lain tempat. Sean masih berjalan dengan tangan di saku. Kakinya seakan tak berhenti sebelum lagu yang ia dengar juga terhenti. "Gua gila kali ya, mikirin Renata. Ya tuhan, jangan kasih karma ini ke gua." Ia berhenti di sisi jalan beraspal, bola matanya mencari sesuatu. "Dimana ada warung," ucap Sean dengan bulir keringat keluar dari ssisi telinga.
Renata melihat sosok laki-laki membungkuk itu "Rio,Stop!" Teriak Renata membuat Rio menginjak pedal rem secara mendadak. "Why?" Bola mata nya hampir keluar karena geram dengan Renata.
"Sean!" seru Renata, kaki nya beranjak keluar dari mobil yang mendadak menepi.
"tuhan. Gua salah apa sih, kenapa perempuan itu lagi." Umpat Sean kesal
"kenapa, lo ngga suka ketemu sama gua?" Tanya Renata dengan nafas menderu
"iya. Kalau lo udah tau ngapain muncul terus sih!" telunjuknya menegang ke arah wajah gadis itu, membuat Renata hanya memandangnya dengan tangan menyilang ke belakang.
"Lagian lo Ren, udeh tau di tolak muluk. Masih aja lo ngejar Sean. Kagak punya urat malu apa?" Bahkan sahabatnya ikut mencibir gadis yang duduk di kap mobil BMW hitam.
"Iya, sayangnya urat gua udah di jadiin adonan Bakso. Mau lo!" Bentak Renata, kakinya terhentak kesal berulang kali. Ia mendengus keras lalu masuk ke dalam mobil
"maafin sahabat gua ya." Pamit Rio bergegas masuk ke dalam mobil dan menginjak gas secepatnya.
Siang sudah mulai berganti senja, angin masih saja berhembus menembus helai rambut Renata. Ia hanya memejamkan mata di balik kaca yang terbuka.
Tangannya mengenggam sebotol coca-cola dingin kesukaannya. "lo kenapa sih Ren?" Wajah Rio kental dengan tanda tanya. Membuat alisnya berkerut ke atas."Entahlah, gua tau kalau luka itu belum kering. gua tau kalau Sean bakalan nolak gua, tapi gua masih aja ngarep sama tuh anak," ucap Renata.
"Lo tau ngga, luka yang lo buat sendiri udah ngehancurin hidup lo?" Tatap Rio.
"nggak."
"Terus lo kayak gini gara-gara siapa?"
"Sean."
"terus, lo mau ngebuka luka lo lebih lebar lagi?"ucap Rio menghela nafas panjang, ia tak habis pikir dengan tingkah sahabatnya itu.
"Ngga tau gua. Udah ngga usah bahas Sean dulu, terus gua mau lo ajak kemana?"
"Udah,lo liat aja."
Setengah jam mobil melaju, tepat di tengah kota Bandung ada sebuah rumah tua. Terlihat dari bangunan yang sudah usang, daun yang memenuhi pagar depan dengan sedikit bunga ungu yang mulai mekar.
Renata berjalan pelan menuju altar rumah, kakinya menciptakan bunyi ranting patah yang ia pijak. Manik matanya mengawasi sekeliling rumah yang sepi. "Ini, rumah siapa?" Tanya Renata menatap Rio dengan alis berkerut.
"lo coba ketemu dulu orang yang ada di dalam."
Renata, ia perlahan membuka pintu kayu berwarna putih tulang yang tertutup.
"Permisi." Langkahnya perlahan, hingga tubuhnya sampai di ambang pintu tengah."Bundaaaaa..." tangisnya tak bisa ia bendung lagi. Tangan dan kaki nya bersautan untuk memeluk tubuh yang duduk di kursi goyang. "Bund, ini Renata." gadis itu mengguncang tubuh renta yang hanya tersenyum tipis ke arahnya.
"mba Renata?" Seorang gadis belia datang dari arah dapur, usianya mungkin lima tahun lebih muda dari Renata.
"Rani, Bunda?" Tatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"semenjak Mba pergi dari rumah tiga tahun lalu, Bunda sakit. " terang Rani, adik satu-satunya yang Renata miliki.
Rio mulai mendekat, ia hanya memeluk pundak Renata yang tak berhenti menangis. Rasa sesalnya mulai merasuki semua ruang paru-parunya, ia terisak memeluk tubuh wanita yang memandangi jendela dengan sebuah bunga mawar putih. Seperti ia merindukan seseorang yang sudah lama pergi.
"Mba, kenapa baru datang?" Tatap Rani
"maafkan Mba, mba masih menyimpan luka atas kepergian ayah." Renata tertunduk lesu, bibirnya terus bergetar karena menahan tangis.
"tapi, salah Bunda apa Mba?"
"maaf ....." Renata berlari keluar rumah, sedangkan Rio membiarkan gadis itu pergi.
ditengah hujan, gadis itu duduk di balik bilik telfon umum. Ia hanya memeluk kaki yang tertekuk sambil menangis sesenggukan. Jemarinya berkali-kali menyeka air mata yang tak berhenti. "Bun, Renata salah. Maafin Renata," ucap nya berulang kali.
dari luar terdengar suara ketukan, awalnya ia hanya mengabaikan. namun, lama ketukan itu masih saja terdengar, membuat Renata mengangkat kepalanya.
"Sean?" Tatapnya masih saja bingung, kelopak mata sudah melingkar hitam
"Hujan-hujan gini ngapain jongkok di telfon umum?" Tanya Sean dengan waja berkerut.
"gua...." kata-kata nya terputus, air matanya keluar lagi. Bahkan, semakin keras suara tangis seperti anak kecil yang kehilangan permen di tangannya.
"Ren, malu. Dikira gua mau nyulik bocah" umpat Sean melipat kedua tangannya di dada.
"pergi aja, kalau lo malu!" Bentak Renata kesal.
Sean, hanya mengangkat bahunya. Kakinya mulai menjauh dari tempat Renata duduk. Sedangkan, Renata hanya tertunduk.
Handphone berdering berulang kali namun ia mengabaikannya. Rio berusaha menelfon gadis itu. Rani juga mulai cemas menunggu di rumah, ia memutari sudut ruangan"mba Rena ga akan kenapa-kenapa kan kak?" Terlihat jelas raut wajah paniknya."tenang, gua percaya Renata ngga ngelakuin hal bodoh seperti tiga tahun lalu." Rio berusaha menenangkan Rani yang tak berhenti memutari ruangan.
"REN. LO NGGA AKAN NGELAKUIN HAL ANEH KAN!" ucap Rio melalu voicenote.
ia melihat layar hp nya, pesan Rio hanya terbaca tanpa ada balasan.
Langkah Renata lagi-lagi berusaha menjauh dari keramain. Hingga, ia mendapati tubuhnya berdiri di tempat sepi, tepat di atas gundukan tanah dengan tulisan "HANUNG PRIYADI" Nama yang tak asing. Lututnya mulai lemas dengan hujan yang masih mengguyur. "Pah, maafin Rena!" Wajah merahnya beradu dengan lumpur yang menempel di tanah, ia menangis dengan keras. Renata, gadis itu membuka kenangan tiga tahun lalu. Saat kejadian bodoh karena Sean ia harus pergi dari rumah. Membuat papa yang ia sayangi menyusulnya sambil berlari. Bunda, yang duduk di teras hanya menatapi tubuh suaminya yang tertabrak truk tepat di depan pagar rumah.hal itu, Renata tau jika ia adalah orang yang membuat ayahnya meninggal dan Bunda nya terdiam tanpa kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Desire ♥️♥️
RomanceRenata, Gadis manis dengan lesung pipi itu sudah berumur 20 tahun. ia datang dari balik pintu aula SMA Internasional School, sekolah dengan segudang makhluk starta kelas atas di dalamnya. "Hei, itu Renata. lu tau kan gosip tentang dia?" siswi dengan...