Hujan yang tak bersahabat.

18 1 0
                                    

Hari sudah berganti. Matahari pun muncul dengan teriknya. Sedangkan, Renata duduk di ujung kasur dengan wajah yang masih mengantuk.

Semalaman ia duduk dengan hujan, membuat flu dan demam menyerang. Renata berjalan dengan sempoyongan, kaki rampingnya tak kuat menopang tubuh. Akhirnya, ia terjatuh di balkon rumah lantai dua. "Renata!" Teriak Sean dari sebrang, ia bergegas menghampiri rumah yang terkunci. Wajahnya panik, melihat gadis yang ia kenal jatuh tersungkur .

"Renata, buka." Sean berkali-kali berteriak dengan tangan menggedor pintu depan.

"Kak, kenapa?" Tanya Kayla dari ujung pagar rumah.

"Teman kakak, tuh di atas." Sean menunjuk tubuh Renata yang terbaring di lantai.

Sean tak berhenti menelfon no Renata, namun tak ada jawaban. Hanya ia mendengar dering dari balik pintu. Pertanda, handphone itu tak ada di dalam kamar.

"Rio, Lo dimana?" Tanya Sean dengan nada tergesa-gesa.

"Gue Dirumah, kenapa?" Rio menjawab pertanyaan Sean dengan santai.

"Renata, Lo punya kunci serep rumahnya?"

"Punya, gue kesana sekarang!" Rio bergegas pergi setelah menutup telfon dari Sean.

Wajah Sean gelisah, seakan tak ingin terjadi hal buruk menimpa Renata. Ia duduk di bangku rotan tepat depan pintu. Matanya tak berhenti melihat tubuh Renata yang masih tersungkur. Bibirnya tak berhenti memanggil Rena dengan suara lantang, berharap ia mendengar. Dan bangun.

Setelah menunggu cukup lama. Rio datang, dengan kunci di tangan.
"Kenapa Rena?" Tanya Rio gelisah

"Buka dulu, gue juga ngga tau!" Sentak Sean melihat tangan lambat Rio memilih kunci yang pas untuk membuka pintu rumah.

"Bentar, ini susah!"

"Lagian Lo juga lama amat datangnya," ucap Sean merebut kunci dari tangan Rio.

"Ya kali, cihampelas ngga macet jam segini."pelik Rio kesal dengan tangan terlipat di depan dada.

"Nah!" Pintu rumah terbuka, Sean bergegas masuk dan naik ke balkon atas. Setelah masuk ke dalam kamar Rena, ia melihat banyak nya puntung rokok dan sebotol minuman di sisi kursi.

Tanpa pikir panjang Sean langsung membopong tubuh Rena. Membawa menuruni tangga dengan hati-hati. "Ren, sadar!!"

"Dia kenapa, lu mau bawa kemana?" Tanya Rio membuntuti Sean dari belakang.

"Rumah sakit Tolol, emang mau kemana?" Sarkas Sean membuat bibir Rio mengerucut.

"Keles, kasar amat tuh moncong buaya!" Timpal Rio kesal

"Ya elu, nanya kagak pake otak." Sean menaruh tubuh Rena di bangku belakang mobil Rio, manik matanya memberi kode untuk menjalankan mobil putih itu.

"Gue yang nyetir?" Tanya Rio mengerutkan dahi.

"Lah, emang sapa lagi?"

"Lu lah, gue yang mangku Rena. Enak aja lu nyari kesempatan dalam kesulitan," ucap Rio menarik keluar tubuh Sean agar berpindah ke bangku sopir.

"Yaelah, gue ngga napsu sama tuh cewek!" Pelik Sean menjalankan mobil ke arah jalanan besar.

"Bohong, kalau lu ngga nafsu sama cewek. Berarti, lu. Juga bangsa gue dong."

"Gila, gue normal!"

Ramai jalanan kota, membuat mobil mereka terjebak lampu merah yang panjang. Panas terik dari luar membuat Rio terus menerus mengipaskan kertas ke arah wajah Rena yang berkeringat.

"Sial, naonn deui sih." Gumam Rio kesal

"Temen lu kali datang," ucap Sean dengan wajah masam di balik kemudi

"Temen aing saha?"

"Si kadal, biawak, buaya." Kekeh Sean membuat kertas yang Rio genggam melayang tepat di wajah Sean.

 
Renata masih saja diam ketika dua pria beradu dengan panas nya matahari.
Matanya masih tertutup dengan nafas yang sedikit terengah. Dengan sekejap saja, mobil putih itu berhenti di depan pintu UGD rumah sakit. Sean berlari memanggil perawat yang berjaga dengan membawa tempat tidur rumah sakit. Ia, membopong tubuh Rena ke atas bed itu. Sedangkan, Rio menepikan mobil di area parkiran rumah sakit.

"Dok, tolong teman saya!" Pinta Sean yang nampak khawatir.

"Baik, tunggu di luar ya mas," pinta dokter mempersilahkan Sean duduk di ruang tunggu UGD.

Lama waktu berjalan, Sean duduk dengan cemas. Namun, Rio tak seperti temannya itu, ia hanya duduk dengan memainkan game di handphonenya.

"Lu, ngga khawatir apa?!" Tanya Sean bingung melihat Rio yang hanya memainkan game di handphonenya.

"Gue? Kagak, gue mah udah biasa."

"Biasa?" Tanya Sean mengerut kan alis kanannya.

"Iya, dia udah berberapa kali mau metong gara-gara elu!" Jawab Rio dengan santai. Membuat wajah Sean berubah seketika.

"Gue?"

"Waktu elu nolak dia tahun itu, dia dicibir banyak orang, terus dia lari dari rumah. Saat itu ayahnya meninggal karena tertabrak truk saat ngejar Rena yang galau gara-gara elu!" Jelas Rio panjang lebar dengan manik mata masih berfokus di layar handphone nya.

"Separah itu?"

"Lu, ngga dapat dampaknya Sean. Tapi, Rena mencoba berdamai dengan dirinya, dia terus-terusan menyalahkan atas kematian ayahnya. Sehingga membuat nya seperti ini, dugem, minum. Cuma mau ngilangin kenangan buruk sama elu waktu SMA!"

Penjelasan Rio membuatnya terdiam, ia berdiri dan melihat tubuh Rena dengan iba.
Ia tak menyangka dampak yang begitu besar atas kehidupan Rena yang malang.

Dokter keluar dengan wajah terheran, melihat dua laki-laki yang berseteru. "Siapa walinya?" Tanya dokter menghentikan pertikaian mereka.

"Saya, " ucap Sean tegas.

"Elu?" Rio mengerutkan keningnya, antara percaya tak percaya. Akhirnya, dia terlepas dari beban rumah sakit yang selalu ia tanggung selama ini.

"Biar gue, ...." Wajahnya menunduk, memikirkan berberapa kata yang tertahan .

"Lu yang mau tanggung jawab, rumah sakit nya juga?"

"Iya, biar gue aja!" Seru Sean tampak tak yakin.

"Assaan teu ikhlas muka maneh,' ucap Rio melirik wajah Sean . Sedangkan, Sean hanya menggerutu. Dan mengikuti dokter menuju ruang administrasi.

" Rena kenapa dok?" Tanya Sean mengikuti langkah dokter yang semakin cepat .

"Bawa dia ke poli kejiwaan." Dokter hanya mengatakan berberapa kata. Lalu, meninggalkan Sean berdiri mematung di depan meja administrasi .

Tubuh Sean hanya berdiri melihat Renata yang terbaring. "Bukannya, harus membawa Renata ke dokter penyakit dalam. Kenapa, dokter itu menyuruhku ke poli kejiwaan?" Kerut keningnya Tak kunjung turun, memikirkan setiap seluk kata yang dokter ucapkan.

Sean masih saja mulai mencerna lagi, apa yang salah dengan Renata. Bukannya tubuh Rena yang sakit? Kenapa, ia dibawa ke dokter kejiwaan?. Apa yang salah dengan mental Renata, terus apa hubungannya dengan sakitnya kali ini. " Gerutu Sean, yang tak hentinya merasa heran dengan kondisi teman perempuan nya itu.

Rio sudah duduk di samping Rena, dengan buah apel di tangannya. Ia, menceritakan semua tentang Sean dan segala raut wajah khawatirnya.

"Udah bangun?" Tanya Sean datang dari pintu yang tertutup.

"Hmm," gumam Rena melihat laki-laki itu membawa sekresek roti manis kesukaannya.

"Kata dokter, istirahat. Jangan ngegosip!"

"Gue mau pulang aja." Renata, duduk memohon

"Satu hari, istirahat di sini. Lu, ngga tau khawatir nya gue kayak gimana!" Sean memasang wajah serius.

"Lu, bisa khawatir sama gue?" Kekkeh Renata, mendengar ucapan yang sangat mustahil keluar dari bibir seorang Sean. Sang raja cuek kepada semua perempuan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You Are My Desire ♥️♥️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang